Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Wednesday, December 5, 2012

Otonomi Daerah ? Berhasilkah ?


Berhasilkah Praktek Otonomi Daerah di Indonesia ?
(Fandhy Achmad Romadhon : F1D010046)


            Otonomi secara harfiah diartikan sebagai kewenangan, kekuasaan atau hak untuk mengatur sendiri (the power or right of self-government). Sedangkan pengertian daerah merujuk kepada suatu wilayah (area). Dengan demikian pengertian Otonomi Daerah adalah kewenangan atau kekuasaan suatu wilayah untuk mengatur kepentingannya sendiri. Singkatnya pengertian Otonomi Daerah, berdasarkan (pasal 1 huruf (h) Undang-undang (UU) No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, adalah kewenangan kewenangan suatu daerah mengatur dan mengurus kepentingan di daerah sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.
            Penerapan otonomi daerah di Indonesia berbarengan dengan tantangan globalisasi yang sangat luas, dimana keduanya memerlukan bagi masyarakat untuk menyesuaikannya. Keduanya membawa dampak dan konsekuensi. Namun, hal-hal tersebut dalam penerapan otonomi daerah juga dikenali adanya beberapa kendala yang bisa menghambat, terutama secara kelembagaan. Diduga akan ada beberapa kendala kelembagaan di dalam pelaksanaan otonomi daerah (Anwar, 2000), misalnya :
a. Belum terdapat persepsi yang seragam tentang penerapan otonomi daerah, diantara instansi pusat maupun daerah.
b. Tingkat kemampuan daerah sebagian masih jauh dari yang diharapkan, yang terutama kemampuan keuangan daerah selama ini masih cenderung “tergantung” pada pemerintahan pusat.
c. Sumber daya aparat pemerintah daerah dan masyarakat yang masih rendah yang belum sepenuhnya menunjang terlaksananya otonomi daerah.

            Selain itu ada pula dampak-dampak akibat dari penerapan Otonomi Daerah (Ida, 2000) antara lain yakni :
• Eksistensi PEMDA tak mustahil akan berkembang menjadi raja-raja kecil, dengan berbagai kewenangannya, sementara masyarakat sendiri masih terbiasa dengan pola lama yang tak mau peduli dengan perilaku penyimpangan birokrasi.
• Potensi sumberdaya alam dari setiap daerah yang berbeda akan berimplikasikan pada masalah pembiayaan yang bersumber dari pendapatan daerah.
• Operasionalisasi program pembangunan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, karena masih lemahnya daerah akan memudahkan pemerintahan pusat untuk melakukan tekanan-tekanan psikologis, sehingga akan terus memungkinkan berlangsungnya praktek pola birokrasi lama seperti adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
            Ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan adanya Otonomi Daerah ini adalah tercapainya tujuan politik dan tujuan administrasi. Tujan politik dalam hal ini adalah meletakkan pemda sebagai poros utama dalam mendistribusikan pendidikan politik kepada masyarakat lokal serta berkontribusi dalam pembentukkan civil society di tingkat lokal. Selain itu, tujuan administrasi diadakannya Otonomi Daerah adalah dengan meletakkan pemda sebagai unit pemerintahan lokal yang memiliki fungsi dalam melayani masyarakat seperti dalam pembuatan KTP secara akuntabel, efektif, efisien, dan ekonomis. Namun dalam prakteknya masih banyak kasus dimana pemda seolah tidak mampu melayani masyarakat, seperti contoh kasus yang sedang merebak adalah banyaknya kesulitan masyarakat dalam proses pembuatan e-KTP (KTP Elektronik) dan juga masih lambannya kinerja pemda.
             Dengan semangat otonomi daerah dalam mengelola tata pemerintahan dan  memberikan pelayanan publik menjadi tuntutan utama. Untuk itu diperlukan parameter penilai yang terdiri dari :
1. Kehidupan Ekonomi,
2. Layanan Publik,
3. Performa Politik Lokal,
            Dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah mempunyai ruang yang cukup untuk mendesain kebijakan dan program yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat (citizen’s need) yang bermuara pada kemajuan daerah. Pencapaian keberhasilan ini diperlukan sebuah inovasi kreativitas daerah. Beberapa kategori tentang kondisi dan tantangan yang menyebabkan lahirnya inovasi yaitu :
- Inovasi lahir dari inisiatif daerah atas potensi wilayah yang dimiliki dan kekuatan social capital masyarakat.
- Inovasi berawal dari permasalahan daerah seperti tingginya angka kemiskinan, lemahnya akses modal usaha kecil, bencana alam, mahalnya biaya pendidikan dan kondisi lainnya.
- Inovasi di dorong oleh pelaksanaan kebijakan dan program pusat/provinsi.
Berdasarkan identifikasi inisiator utama, pengambil keputusan sekaligus implementator dari inovasi tersebut mengambarkan keadaan sebagai berikut :
- Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD) mendominasi inisiator inovasi kemudian diikuti oleh kepala daerah.
- Namun pengambilan keputusan utama dari inovasi berada di kepala daerah, artinya siapapun yang memberikan pemikiran inovasi, keputusan tetap berada ditangan kepala daerah.
- Sedangkan implementator inovasi utama di lapangan berada ditangan SKPD.
Melihat gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah jadi faktor dominan pembuat kebijakan inovasi dan berarti secara langsung berperan sebagai kunci sukses pelaksanaan otonomi daerah. Mengingat dominanya peran kepala daerah, maka sebuah jaminan akan kontinuitas implementasi begitu diperlukan. Alasanya karena pergantian kepala daerah sangat memungkinkan terjadinya perubahan strategi dan kebijakan pembangunan daerah.
            Salah satu yang paling kongkrit untuk menjaga keberlanjutan inovasi adalah melalui pelembagaan inovasi atau diwujudkan dalam pembuatan peraturan atau ketetapan hukum kepala daerah atas inovasi seperti Perda, SK Kepala Daerah/Camat dan peraturan kepala daerah. Namun dalam prakteknya muncul berbagai macam tantangan yang mengahadang, antara lain yaitu :
a.       Terciptanya Kesenjangan Fiskal; yaitu terserapnya potensi daerah ke pemerintah pusat, dimana daerah hanya mendapatkan sebagian kecil.
b.      Adanya Kesenjangan Moneter; yaitu terserapnya dana masyarakat melalui perbankan di daerah. Namun hanya sedikit dana tabungan masyarakat di daerah disalurkan kembali dalam bentuk kredit bagi masyarakat setempat.
c.       Adanya Kesenjangan Konsumerisme; yaitu tersingkirnya pelaku usaha daerah dan pasar tradisional akibat terserapnya perekonomian daerah melalui budaya belanja masyarakat kepada pasar modern.
d.      Kesenjangan kewenangan; yaitu tereduksinya kewenangan pemerintah daerah oleh regulasi perundangan lain
            Praktek Otonomi Daerah di Indonesia akan dikatakan berhasil apabila adanya kemajuan-kemajuan yang dapat diukur dengan parameter kehidupna politik, kehidupan ekonomi, dan pelayanan publik. Kemajuan daerah dapat diukur dari parameter kehidupan ekonomi, layanan publik dan performa politik. Namun untuk mencapai suatu kemajuan daerah diperlukan suatu inovasi yang berkelanjutan dan didukung oleh semua pihak. Selain itu juga dibutuhkan adanya suatu proses inovasi dari pencetus inisiator dan keputusan serta pelaksana sangat di dominasi oleh Kepala Daerah. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
            Suatu daerah akan dikatakan berhasil dalam praktek otonomi daerah dapat dilihat dari parameter berikut ini , antara lain :
1.      Ekonomi, Kemampuan Pemda untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
2.      Layanan Publik, Layanan publik yang baik (pendidikan, kesehatan, adm kependudukan)
3.      Performa Politik, Kesinambungan, sinkronisasi antar lembaga politik, keharmonisan demi kelancaran pemerintahan daerah

Referensi

            Ida, Laode. 2005. “Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia”, Media Indonesia, Jakarta, 22 Maret 2005.
            Ida, Laode, 2000. “Otonomi Daerah dan Demokrasi Lokal”. Lokakarya Membangun Otonomi Daerah. Klaten : Persepsi, 6 Mei 2000.
Budhiardjo, M. (1982). Dasar-dasar Ilmu Politk. Jakarta: Gramedia.
            Andrew, C. M. (1986). Central Government and Local Government in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
            `Maddick, H. (1983). Democracy, Decentralisation, and Development. Bombay: Asian Publishing House.

Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.25 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bandung Penerbit Kuraiko Pratama.
UU Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah.”
Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (www.indonesia.go.id)




0 comments:

Post a Comment