Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Thursday, September 17, 2015

Sastra Ananta

Seorang anak muda tak sengaja terjebak dalam guyuran hujan sore hari. Hujan sore hari yang mendadak datang mengguyur segala badan, tanpa sempat berkelit, dan basah seketika. Hanya bisa mengumpat, “Persetan keparat!” begitu teriaknya. Sumpah serapah begitu saja tercelat keluar dari mulutnya. Tak peduli pada langit, tak peduli pada bumi, baginya hari ini adalah hari yang berat. Setelah tercelat dari pekerjaannya, terpegat dari kekasihnya, dan kini digapyak dengan hujan deras yang menambah derita. Ah konspirasi semesta, begitulah dalihnya. Ah persetan tak peduli, kapan lagi menikmati hujan dua ruangan. Ruang hati dan ruang semesta. Baginya itu terasa seperti menebar mimpi di antara tidurnya. Gratis tak perlu malu pada gadis manis yang pernah jadi kenangan termanis. Menangis dalam gerimis, ah nikmatnya.


Namanya Sastra Ananta, tampan parasnya, santun sikapnya, baik budinya, namun sial nasibnya. Selalu saja jadi bahan guyonan Dewi Fortuna, selalu diberi harapan keberuntungan namun nyatanya selalu saja hasil buruk jadi akhirnya. Entah kenapa selalu saja begitu, ah mungkin sudah jadi garis takdirnya. Kelengkapan dan kelebihan jasmani seolah tak ada gunanya, rupanya yang tampan menawan selalu saja jadi bahan gunjingan orang. Sikap yang kelewat santun kadang jadi bumerang di lingkungannya. Kebaikan budinya selalu saja jadi bancakan kawan-kawan palsunya, meminjam uangnya, menyedot hartanya, lalu meninggalkannya. Begitu pula soal asmara, kisahnya selalu berakhir tragis layaknya cerita klasik yang ironis. Selalu saja diputuskan, dijadikan nomor tiga, korban nomor dua, dan selalu ditikam dari belakang oleh temannya, sampai ditinggal kawin pun pernah dirasakannya. Ah malang nian nasibmu nak.

Namanya Sastra Ananta, begitulah kawan lama memanggilnya. Kawan terakhir yang tersisa, kawan utama yang jelas keasliannya. Punya banyak teman tak sama dengan punya banyak kawan. Teman dan kawan rasanya sama, berarti sama, namun punya sisi makna yang berbeda. Hanya akan tahu keasliannya tatkala semesta menunjukkannya, tinggal hitung saja berapa banyak kawan yang tersisa tatkala sedang menderita. Jika dia tetap ada di sisi kita tatkala keadaan penuh derita dan susah gulana, jangan pernah lepaskan dia. Karena orang seperti itu adalah sesuatu barang langka yang tak ternilai oleh harta seluruh dunia.

Namanya Sastra Ananta, banyak orang menyebutnya gila, kurang harta, tak punya pekerjaan, namun penuh cinta dan rasa setia. Namun apa daya, mata mereka suka tertipu melihat setiap sisi sampulnya. Dia gila karena dia menanggap dunia akan membosankan ketika tampil biasa. Kurang harta, dia kurang harta bukan karena tak punya harta tapi untuk apa hidup jika hanya diperbudak harta? Di depan dunia, mungkin dia terlihat kurang, tak punya pekerjaan. Namun nyatanya dia mungkin satu-satunya orang merdeka yang tersisa. Seperti kata Pramudya Ananta Toer, “Orang merdeka adalah orang yang memilih pekerjaan yang disukainya”. Tak peduli dia disebut gila, kekurangan harta, tak punya pekerjaan yang nyata, namun bagi dia berbagi cinta, berbagi tawa, berbagi senyum bahagia pada dunia nyatanya sudah cukup berharga. Ah idealis sekali dia.

Namanya Sastra Ananta, seorang lelaki penyuka sastra, pembaca setia setiap karya-karya Pramudya Ananta. Baginya lebih baik puasa makan sehari daripada puasa membaca walau sekejap saja. Tiada hari tanpa membaca, tiada hari tanpa mengulam kata. Bait demi bait dia santap, dia kelumat dengan segala rasa, mengolahnya dan menjadikannya sajian karya yang tak ternilai hebatnya. Tapi begitulah dia, setiap karya yang dia cipta selalu saja terlempar begitu saja ke alam dunia. Tanpa bukti karya, tanpa peninggalan nama, hanya berbentuk karya tanpa nama. Ah rasanya menjelaskannya pun tak ada gunanya, setiap kali dijelaskan soal hak cipta karya dia hanya tertawa sambil berkata “Ah biarkan saja, toh semesta tahu siapa penulisnya”.

Ya sudah, aku bisa apa? Biarkan semua jadi urusan dia dan semesta. Semesta Kata.

Tertanda Kata, Kawan Lamamu.

Mahmud Arabika

38 comments:

  1. Replies
    1. haha iya sama, tapi ini versi orangnya. Kalo ini blog versi nama tulisannya

      Delete
  2. Ah malang benar nasib anak itu :-) Tapi perlu diingat, hidup penuh dengan perjuangan :-D

    ReplyDelete
  3. Sebagai pembaca aku cuma mau bilang: "Hallo, Sastra Ananta! Semangat ya!" :D

    ReplyDelete
  4. buset pemilihan katanya ngeri... makin jago aja, mantab bro :)

    ReplyDelete
  5. segala bentuk perjuangan sekecil apapun demi sebuah cita-cita patutlah dan pasti akan mendapatkan balasannya...bukan begitu ya kak?

    ReplyDelete
  6. berarti sis atra itu menantu idaman. tampan, santun, enggila sastra pula..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harusnya sih begitu, tapi sayangnya belum rejekinya wkwk

      Delete
  7. mungkin krn dia terlalu baik dan tampan, makanya ce2 itu ga bisa setia ;p.. terkadang, ce itu suka ama co yg sedikit nakal loh ;p ..biar ga bosenin hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apa iya harus begitu? Pantesan saja banyak alasan pas putus "kamu terlalu baik buat aku" -___- ternyata begitu toh

      Delete
  8. Eh .. Sastra Ananta itu Fandhy, kan? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha ya semacam begitu, anggap saja sebagai nama pena XD

      Delete
  9. Wow, diksinya makin keceh nih. Gue suka yang "Gratis tak perlu malu pada gadis manis yang pernah jadi kenangan termanis. Menangis dalam gerimis, ah nikmatnya."
    Itu Sastra Ananta si Mahmud Arabika apa elu, Fan? :/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha makasih yog,
      Bukan bukan, itu cuma fiksi kok.. kalo sastra ananta bisa disebut sbg nama pena-ku hehe

      Delete
  10. Namanya Sastra, ya. Makanya pilihan katanya juga sastra banget.
    Itu harus banget ya yang nulis Arabika -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha itu sahabatnya, namanya mahmud arabika.. kisah cintanya ada di postingan sebelumnya

      Delete
  11. ini ceritanya lagi menceritakan diri sendirii pake sudut pandang ke-3 ya? awkwkwk...
    Mas, kuliah jurusan apa, sih? Kok bisa banget merangkai katanya? Bisa merangkai masa depan juga gak? wkwkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Husss bukan bukan Haha lagi kepengin aja bikin cerita lewat orang ketiga X)
      Mantan jurusan ilmu politik, Haha insyaalloh bisa kok

      Delete
  12. Keren, seandainya bisa seperti Sastra Ananta :D

    ReplyDelete
  13. Salam buat si Mahmud Arabika dari Torabika #eh :D

    ReplyDelete
  14. Ini kayaanya certanya pengalamaan bangeeet daaah :-D pengalaman yg nulis wkwkk :-p yaaa berarti belum jodohnya dan sie gadis itu bukan yg terbaik , kalau selalu ada ajaa halangan untuk mendapatkannya gadis itu bukan yg terbaik
    Duuh kakak yg satu ini makin jagoo ajaa, bukaan efeek dari menyendiri kan hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pengalaman yg nulis? Pffff -_-
      Haha makasih makasih, ah bisa aja .. kagak kok, cuma banyak latihan dan baca X)

      Delete
    2. Seriously ? Bilang ajaa iyaaa gtu laah , biaar bombong hahahahaa
      Iyaaa iyaaw , yang rajin bacaa samaa nulis bagus baguuus kataa katanyaa :-) ajarin dong wkwkk

      Delete
    3. Ini cuma tulisan biasa kok mit, bukan pengalaman pribadi Hahaha
      Haha mau diajarin nulis? Berlatih nulis dulu, nulis di buku atau kertas haha

      Delete
  15. Sastra Ananta, kamu itu suami-able banget lho! Sayang ngenes banget ya tuh idup, :(

    Btw, tulisan kamu emang kayak anak sastra, Fan! Sukak deh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha makasih deh mbak endang.. haha iya nasibnya kasian, ngenes banget :(

      Delete
  16. dan semesta akan mengingatmu... keren :)

    ReplyDelete
  17. wah keren tulisan fiksinya, bukan pengalaman pribadi kan? :D

    ReplyDelete