Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Saturday, March 11, 2017

Surat Dari Warsawa

Sejatinya hari ini adalah hari pernikahanku, sejatinya, jika aku tak memilih pergi, meninggalkan semuanya. Meninggalkan semuanya, termasuk kedua orang tuaku yang menangis terharu tatkala tahu, aku tak pernah datang ke pesta pernikahanku, pernikahan settingan mereka. Sekiranya, jika dikutuk menjadi batu adalah hukuman terberat bagi seorang anak durhaka, niscaya aku akan segera membeku, mematung jadi batu, tepat di depan pintu pesawat, yang akan membawaku terbang pergi, meninggalkan Indonesia.

Pulasan make up masih saja membekas di sekujur wajahku, terlihat jelas bekas aliran air mata yang membasahi kedua pipiku, tanpa peduli lagi menyekanya, tanpa peduli lagi untuk menghapusnya. Ku tatap lekat awan yang berjejer dari balik jendela, yang berbaris rapi dengan sesekali terganti lautan yang membiru. Entah datang darimana jiwa pemberontak ini. Seumur hidupku, aku selalu menurut pada orang tuaku, soal inilah soal itulah, pilihan pendidikan, pilihan tempat kerja, semua ditentukan oleh mereka. Namun ketika mereka mencampuri masalah hati, maaf aku tak bisa, sekali lagi maaf aku tak bisa, karena aku sudah punya pilihanku sendiri. Dan sialnya, mereka tak menyetujuinya, alasannya biasa, klasik, masalah kelas sosial, kata mereka dia itu tidak sebanding dengan keluarga kita. Sialan.


Di ufuk barat, perlahan, matahari pamit undur diri. Menyisakan sebaris cahaya merah yang kata orang disebut sebagai senja. Senja yang tertancap sementara di ujung langit, menghentikan waktu, memaksa kedua mataku menatapnya lekat, lalu memejam bersama tenggelamnya Sang Surya, dan aku menyukainya. Terasa begitu magis, seolah-olah perhatianku tersedot habis hanya untuk menatapnya, sampai cahaya merah hanya tersisa sebaris. Terasa begitu manis, entah dari mana rasa manis itu, aku tak tahu. Aku tak ingat lagi, entah sejak kapan aku mulai menyukai senja. Namun yang pasti, aku selalu ingat, pertama kali merasakan sensasi magis senja di pantai paling barat Pulau Jawa, bersama kamu, sosok lelaki yang dipilih hatiku, namun tidak bagi orang tuaku.

..............................

Teruntuk Sastra Ananta

Pertama kali aku kenal dirimu, ketika sedang menunggu hujan reda di Kafe Senja, waktu itu kau datang begitu saja membawakan daftar menu, menawariku untuk memesan sesuatu. Aku masih ingat, waktu itu kamu datang dengan celemek yang masih menggantung di lehermu, daftar menu di tangan kanan, dan pulpen di tangan kiri, menyiratkanmu sebagai salah satu pegawai Kafe Senja.

Dan aku tak tahu sampai suatu hari, temanku memberi tahu, bahwa kamulah sang pemilih Kafe Senja yang sebenarnya. Ah sialnya, aku tertipu, aku ditipu sekian lama, namun hatiku bergetar tersipu malu. Duh malunya aku, Merutuki galaknya aku dulu, waktu pertama kali kita bertemu, ku sodorkan muka judesku tatkala kau sodorkan daftar menu, tanpa terpengaruh kau tetap memasang senyuman lugu di wajahmu. Sejak saat itu, duniaku terbalik, kau menyadarkanku, bahwa jangan menilai seseorang hanya dengan tampilan luarnya saja. Meski kau tak pernah mengucapkan semuanya, aku sadar diri, bahwa selama ini hidupku salah, selama ini ajaran orang tuaku salah. Seketika aku merasa serba salah.

Sejak saat itu, aku jadi pelanggan setia Kafe Senja, tak peduli betapa lelahnya aku. Tak peduli cuaca panas gerah, hujan, ataupun badai, selalu ku sempatkan datang ke kafemu, meski hanya sekedar memesan secangkir kopi hitam tanpa gula yang sudah kau hafal di luar kepala. Aku rela, asalkan aku bisa berbincang barang sejenak denganmu, sekedar ingin menghapus rasa maluku, rasa bersalahku dulu, kepadamu, ketika kita pertama kali bertemu. Entah kenapa, sehari tanpa bertemu dan berbincang denganmu, membuat jam tidurku tak menentu. Entah sejak kapan, aku mulai menyadari bahwa kini hatiku telah memilihmu, menyadari bahwa ternyata aku jatuh cinta kepadamu.

Mungkin ini bukan kali pertama hatiku berdegup tak menentu, namun hanya dirimu yang mampu menerbangkan sejuta kupu-kupu yang bersarang di hatiku. Bersamamu, aku merasa seperti ada sejuta pasang kupu-kupu yang berterbangan dalam perutku, membuat perasaanku seketika jadi gegap gempita. Dan aku sering tersenyum tatkala mengingatnya. Mengingat hari dimana sekiranya aku pernah punya hari yang berbahagia.

Mengingat semuanya membikin hati semakin sunyi, seakan tak ada persinggungan mesra dengan lingkungan sekitarnya*, begitulah aku kini yang tak lagi peduli pada sekitarnya. Nampak di kaki langit, Matahari perlahan hilang tenggelam, senja perlahan hilang ditelan gelap malam, dan mengingatnya, membuatku terjebak semakin dalam. Sejenak kaca jendela menampilkan wajahmu, sejenak berganti wajah orang tuaku, sejenak ku lihat senyuman lugumu, sejenak terganti amarah murka ayahku, seketika semua kenangan terlintas jelas memantul dari bilik kaca jendela.

Sejenak masih ku ingat hari itu, tatkala kamu menyarankanku untuk menerima lelaki pilihan orang tuamu. Waktu itu, aku datang ke kafemu dengan seribu gundah yang telah bercabang dan berbuah menjadi dilema. Dilema yang nyata, tatkala hatiku bergulat dengan pikiranku, sekedar memutuskan mau cerita atau tidak kepadanya. Dan aku pilih opsi yang pertama. Aku ceritakan semuanya, jelas dari pangkal akar sampai pangkat kuadrat pokok masalahnya. Aku jelaskan semuanya mulai dari rencana orang tuaku, rencana perjodohanku, sampai tanggal pernikahan yang sudah ditentukan oleh mereka, Lusa. Dan tanpa reaksi kau tetap mendengarkannya tanpa pernah melepas senyuman lugu dari wajahmu.

Ketika aku akhiri ceritaku, seketika tatap matamu berubah jadi teduh sendu, seperti sedang terjadi pergolakan di dalam batinmu. Begitu rapi kau sembunyikan pergolakan itu, namun kau lupa bahwa matamu menjelaskan semuanya. Tanpa menjawab, dia beranjak pergi kembali ke bilik belakang meja. Kini aku merasa serba salah, lusa adalah hari ulang tahun dirinya, dan lusa adalah hari pernikahanku dengan lelaki pilihan orang tuaku. Orang macam apa yang begitu tega memberi hadiah ulang tahun dengan buah simalakama? Dan aku salah satu orangnya, dan semua terasa jadi serba salah.

Tak sampai lima menit dia kembali lagi, dengan muka dan rambut basah, dengan senyuman lugu seperti biasa, kau beralasan sehabis selesai ibadah, “maaf, tadi langsung pergi begitu saja” begitu kilahnya. Bukan bermaksud menabur syak wasangka, namun aku tahu kau samarkan tangismu dalam air wudhu, karena aku tahu seorang lelaki takkan mudah mengumbar air matanya di depan seorang wanita, di depanku.

Sejenak dia kembali duduk di tempat semula, diawali dengan senyuman getir, kau memberi saran, memberi sebuah jawaban. Sampai hari ini, masih aku ingat dengan jelas, setiap kata yang dia ucapkan kepadaku.

Dan beginilah jawaban dia: “Bagi seorang anak, restu orang tua adalah restu Sang Pencipta. Marahnya orang tua adalah marahnya Sang Pencipta. Akan jadi serba salah, jika sekiranya aku menyarankanmu menolak permintaan mereka, permintaan orang tuamu. Bukan bermaksud mendorongmu ke dalam neraka dunia, tapi sekiranya jika aku menyarankanmu untuk menolak permintaan mereka, itu sama menjerumuskan kita ke jurang walhala, neraka akherat, neraka yang abadi. Lebih dari itu, tak hanya kamu yang bersalah pada orang tuamu, aku pun akan bersalah karena telah merebut paksa dirimu dari tangan mereka. Aku tak begitu.

Sekiranya aku sudah pernah melamarmu dulu, tapi kau tahu sendiri apa jawaban mereka terhadap lamaranku? Mereka menolak lamaranku, menolak mentah-mentah tepat di pintu rumahmu, bahkan tanpa mengijinkanku masuk ke dalam rumahmu, sekedar mencicipi empuknya busa sofamu, mereka menolak lamaranku. Tiada asap jika tiada api. Dan itu menjadi semakin jelas, alasan kenapa mereka menolakku, karena mereka sudah menyiapkan calon lelaki (yang sekiranya tepat) untukmu.

Apakah aku mesti menghamilimu terlebih dahulu demi memaksa mereka untuk menerima lamaranku? Tidak, aku tidak sebejat itu, aku masih punya logika, dan masih sadar akan dosa dan hukum karma. Aku menyukaimu, tapi jika orang tuamu tak merestuiku, apalah arti semua itu? Bagiku dalam sebuah pernikahan, restu orang tua adalah segalanya, tanpa restu orang tua, pernikahan hanyalah sebuah bencana yang berganti muka.

Tolong jangan sakiti hati orang tuamu, apalagi hati ibumu. Apakah kamu tega, menyakiti hati orang yang telah bertaruh hidup dan mati demi kamu? Maafkan aku, aku tak sampai hati jika harus menyakiti hati seorang ibu. Cukup aku saja yang tersakiti, jangan biarkan air mata ibumu terjatuh karena menangisi ulahmu (yang memilihku), dan tak bisa kumaafkan diri ini, jika alasan utama ibumu menangis karena ulahku, karena telah merampas dengan paksa dirimu dari mereka, dari ibumu. Bagiku restu ibu adalah restu illahi, marahnya ibu adalah marahnya illahi. Maaf, aku tak sanggup jika harus menghadapi marahnya illahi. Aku lebih memilih menghadapi marahmu, daripada marah ibumu, marahnya illahi.

Pulanglah, orang tuamu berhak merasakan berbahagia untuk pernikahan anak gadis satu-satunya. Pulanglah, aku berdoa semoga kebahagiaan selalu bersamamu, selalu.

Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanyalah jarak, batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh, ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu abadi, di depan sana ufuk juga abadi. Tak ada romantika yang cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggam dalam tangan, jarak dan ufuk itu**. Seperti halnya kisah antara aku dan kamu, dalam versi yang lebih sederhana, yang jadi ufuk itu kamu, yang jadi jarak itu keluargaku, satu mendekat yang lain menjauh, yang tersisa hanyalah romantika yang penuh drama.

Dan kini, romantika hanyalah sebatas romantika belaka. Romantika kisah lama yang selalu  kubaca berulang kali, lagi dan lagi. Dan kini, aku memilih jawabanku sendiri, aku memilih pergi. Tak peduli lagi akan murkanya illahi, tak peduli lagi. Sebagaimana halnya dengan setiap benda dan hal, (pasti) mempunyai bayang-bayang. Begitu pula dengan cinta, dan bayang-bayang cinta itu bernama derita dan air mata. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri....**.

Di tepian Sungai Vistula, aku tuliskan surat ini. Dengan harapan akan sebuah kesadaran akan sebuah pemaknaan dari sebuah kebenaran yang hakiki. Sebagaimana penjelasanmu dulu, sekiranya kini aku mulai menyadari tentang pentingnya sebuah restu orang tua. Dalam pelarianku yang singkat ini, mungkin sejenak aku membuat marah ibuku, membuat marah illahi, tapi sekiranya illahi pun akan mengerti bahwa aku pun berhak mencari jawabanku sendiri. Dan aku sangat berterima kasih kepadamu, karena telah menyadarkanku.

Sekiranya kini aku mengerti, tiada kata terlambat bagi sebuah maaf dari kedua orang tua, sekiranya tiada kata terlambat untuk mencari kembali restu orang tua, restu seorang ibu, restu illahi. Terima kasih telah menyadarkanku. Sekiranya jika kau membaca suratku ini, mungkin saat ini aku telah melangsungkan pernikahan jilid kedua yang sebenarnya, setelah pernikahan jilid pertama kutinggalkan begitu saja.

Sebelum ku tutup surat ini, percayalah bahwa aku selalu mencintaimu seperti halnya kamu yang mencintai diriku dengan begitu tulus, begitu lugu. Selamat Ulang Tahun Sastra Ananta, semoga dirimu mendapatkan wanita pengganti yang lebih baik daripada aku, maafkan atas kelakuan orang tuaku dulu, maafkan segala salahku. Terima kasih telah menyadarkanku.
Aku mencintaimu, selalu.

Di Tepi Sungai Vistula, Warsawa, Polandia. 11 Maret 2017.
Starla Komalasari

(*) Dikutip dari buku Jejak Langkah hal 71, karya Pramudya Ananta Toer.

(**) Dikutip dari buku Anak Semua Bangsa hal 2, karya Pramudya Ananta Toer.

39 comments:

  1. :')

    minggu pagi udah baca yang seperti ini.
    hehe, semoga nggak bikin baper seharian deh.

    hmmm perjodohan..
    lagi-lagi masalahnya status sosial, atau tidak jarang juga suku.
    orang jawa nggak boleh sama orang sunda lah, atau orang batak harus sama orang batak juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya maapkan ya jika sudah merusak minggu pagi kamu dengan tulisan yang agak baper wkwk

      Delete
  2. aduh jadi galau minggu-minggu..

    ReplyDelete
  3. Nyasar di Blog ini jadi Baper deh. Syedih banget.

    ReplyDelete
  4. Eh ya Allah, pagi2 gini udah disuguhin novel sedih..

    ReplyDelete
  5. Baper bacanya. Membayangkan diri menjadi Starla tentu tak enak. Buah simalakama antara hati dan restu. Bagus cerpennya Mas Fandhy ☺

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih atas pujiannya, saya kira tak hanya starla saja yang tak enak, si sastra ananta juga pasti merasa tak enak, pas tahu si starla ngasih kejutan pernikahan di hari ulang tahunnya

      Delete
  6. Astaga, jadi kisah starla sama sastra ini nyata ga sih? Cinta yang ga diperjuangkan ya.

    Fan, tapi keganggu sama = > "Dan beginilah jawaban dia" mengubah kata ganti orang pertama dengan kata ganti orang ketiga padahal subjeknya masih sama, dia dia juga, si sastra ananta itu kan? :-D

    Jadi, alesan lu sampe sekarang masih sendiri, kayanya gue tahu. ahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. sebenarnya ini kisah nyata yang terfiksikan,
      bukan gak diperjuangkan bang, ini soal restu orang tua yang jadi penghalang. Dan si sastra tipikal orang yg begitu menghormati orang tua, dia udah pernah melamar starla dan ditolak, karena orang tua starla sudah punya calonnya sendiri. Semua alasannya tertulis jelas di bagian menjawab pertanyaan starla...

      hahaha oke bang , makasih sarannya.. iya kalo soal penokohan emang masih jadi kelemahanku bang, masih belum pasti dalam menentukan penokohan via sudut pandang..

      hehehehehe...

      Delete
  7. Setuju sama Mas Dika, keganggu dg kata dia. Tadinya kan aku dan kamu....

    Ribet ya jd org dlm ceritamu, tentang pilihan org tua vs pilihan sendiri. Semoga dpt pengganti yg lbh baik

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha iya makasih mbak sarannya, masih belajar dalam penokohan nih hehe

      haha ya beginilah mbak cerita dalam tulisan saya, kadang masih sukar utk dimengerti dan dipahami

      Delete
  8. Saya tahu rasanya gak direstuin ortu. Sakit....

    ReplyDelete
  9. kok jadi sedih bacanya ya van. hikz

    ReplyDelete
  10. Sedih banget mas.. ini kalau cewek yg baca bisa mewek, apalagi klo True story / untold story hehe..

    O ya ada koreksi di kalimat ini mas "bahwa kamulah sang PEMILIH Kafe Senja yang sebenarnya."

    Mungkin maksudnya pemilik ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaha iya mungkin ya..

      ah iya betul mas, saya terlewat koreksi pas bagian itu, makasih mas atas koreksinya

      Delete
  11. hmmm kisah yang menarik.. soal restu dan soal "budaya" surga dibawah telapak kaki ibu, walau kisah terjadi di Polandia.

    ReplyDelete
  12. Ini seperti kisah cinta kakak aku saat ini, mas.

    Sedih.
    Dan gak tau harus berbuat apa.

    Pasalnya yang gak setuju adalah keluarga dari pihak laki-laki. Beban berat berikutnya, ada pesan dari Bapak rahimahullah untuk jangan menikah dengan sembarang orang.


    *saat baca tulisan ini, saya pun jadi ikut menghela napas.
    Sesak dada ini rasanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah ternyata ada kisah nyatanya juga, kirain cuma tulisan ini doang.
      Ya emang mbak nyesek rasanya tuh jika tiada restu dari orang tua, makanya tuh si sastra lebih memilih dimarahi oleh starla dibanding oleh ibunya starla,..

      bedanya mungkin, dalam cerita ini tuhyg menolak lamaran sastra tuh orang tuanya starla..

      Delete
  13. Fan Fandhy. Saya sarankan kamu nonton Berkah Cinta di SCTV deh. Lebih perih lagi. Ada kaitannya sama perjodohan. Uniknya orangtua yang saling menjodohkan anaknya ini meninggal dalam kecelakaan padahal belum sempat mempertemukan kedua anak mereka. Maka sepanjang episod isinya dua tokoh ini saling mencari "mana sih jodohnya". Bayangkan Fan. Bagaimana kalau kamu harus menikah sama orang yang tidak kamu kenal bahkan belum sempat diperkenalkan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya bukannya itu justru mestakung bang? Semesta mendukung!
      Ya sekiranya jika jodoh, mau ditelikung elmaut pun tetap akan berjodoh, ya seperti nasib anak yg dijodohakn dan diperjodohkan dalam berkah cinta di sctv..
      Tapi sayangnya, saya tak punya tv, jadi ya tidak bisa nonton..

      btw terima kasih atas rekomendasinya haha

      Delete
  14. melihat tulisan ini kaya lagi nonton drama jepang romantis sekaligus sedih jadinya deh

    ReplyDelete
  15. Sedih bacanya siang2


    Btw, kisah starla dan sastra ini real ga sih?

    Kayaknya ada sedikit pengalaman pribadi ya, walaupun dibalut bumbu fiksi. :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaa kisah nyata yang terfiksikan, sepertinya sih begitu wkwkw :p

      Delete
  16. Wah ini sudah cocok buat disiapin jadi naskah film pendek nih. Aku siap jadi talent kalo nda ada ya mas. Kayanya bakalan seru nih ya hehehehe

    ReplyDelete
  17. Wah ini sudah cocok buat disiapin jadi naskah film pendek nih. Aku siap jadi talent kalo nda ada ya mas. Kayanya bakalan seru nih ya hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah ini nih haha emang ya kalo rejeki tuh gak kemana, haha

      Delete
  18. Restu org tua adalah segalanya, tapi #imho ya kalau soal pernikahan kan soal ibadah ya, kalau ada yg tdk berkenan menurutku tdk apa tdk dituruti. Apalagi kalau nikahannya settingan. Menikah harusnya krn niat ibadah. Tapi kain lari dgn pacar juga dosa. Ini knp au komen masalah nikahannya ya hehehe. Ya moga diberi yg terbaik ya buat Mbak Starla hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. inilah dilema simalakama nya mbak, disatu sisi si sastra cinta sama si starla, namun di sisi yang lainnya, lamarannya ditolak oleh orang tuanya starla. Lalu si starla pun sama cintanya pada si sastra, namun pada akhirnya si sastra yang mengalah dengan terbuka dan rela, dia lebih rela melepas si starla, dan menghormati orang tua (khususnya ibunya starla)..

      Ya mau gimana lagi ya, pernikahan tanpa restu orang tua, itu bagaikan bencana yang berganti muka saja

      Delete
  19. Bagusss.. Penasarann. Terus gimana endingnya? Di lompat dari tepi Sungai Vistula?

    ReplyDelete
  20. menutup hari dengan sesuatu yang penuh makna. Entah suka entah duka. Yang pasti terharu bacanya. suka karena membaca letupan alur cerita, duka karena baper sama isinya. Ah mungkin karena yang nulis lagi ulang tahun ya. Selamat ulang tahun mas Fandhy maaf ya terlambat.
    Bisa berlanjut jadi novel best seller ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahah terima kasih atas pujiannya mbak ira, sekiranya belum terpikirkan untuk menuliskan sebuah buku ataupun novel hehe
      Masih suka menuliskan cerita apa adanya

      Delete
  21. Wah, baru tahu itu ada yang dikutip dari novelnya Pramoedya. Bacaannya keren. Makanya tulisannya bisa sekelam dan bikin baper gini, ya. :))

    Diperjuangkan dan rela melawan orangtua, tapi malah gitu, ya. Huhuhu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo soal baper atau tidaknya tulisan ini, sih emang baper yog hahaha
      Ya tapi gimana lagi ya, cinta itu buta. Kadang bisa membutakan pelakunya, tak bisa bedakan mana cinta mana logika. Pantas saja Agnes Monica menciptakan lagu berjudul cinta tanpa logika...

      Delete
  22. konflik yang sebenernya udah umum sekali, masalah restu orang tua, tapi alasan dari si cowok yang meminta si cewek nerima lamaran cowok pilihan orang tuanya, itu dalem ya :'))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entah kenapa, gegara alasan si Sastra inilah membuat saya jadi adu diskusi dengan teman perempuan saya. Dia berpendapat bahwa si Sastra itu terlalu naif, karena tidak mau memperjuangkan lebih keras lagi akan cintanya kepada si Starla,..

      Tapi ya mau bagaimana lagi ya? terkadang menyediakan jalan untuk kebahagiaan orang itu bisa dinilai salah. karena mengorbankan kebahagiaan sendiri, dan rela berkorban inilah yang mana bisa disebut terlalu naif..

      Delete