Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Monday, April 24, 2017

Sebuah Cerita: Lautan, Senja, dan Aksara

Aku ingin bercerita tentang suatu masa, dimana ada seorang anak lelaki yang nekat pergi seorang diri, menuju rimba industri di sebuah kota kecil dekat ibu kota. Kota yang tak dikenalnya, kota yang tak pernah terlintas di kepalanya, kota yang berjarak delapan jam perjalanan dari kota asalnya, kota yang tak pernah disangka akan memberinya sebuah pengalaman langka, berlayar di bawah senja.


Berlayar di bawah senja, baginya adalah pengalaman yang langka. Dengan menikmati hiruk pikuknya deburan ombak, yang seolah saling bersahutan dengan deru mesin kapal, di tengah lautan, nikmat Tuhan mana yang dia dustakan? Sebagai orang asli pegunungan, lautan adalah khayalan yang sering dia impikan, selayaknya surga yang dirindukan, selayaknya kamu muara segala kerinduan, lautan adalah kemustahilan yang selalu dia usahakan. Sekiranya semesta sedang berbaik hati padanya, dia pun kembali bertemu lautan, tak hanya bertemu, dia pun berlayar di tengahnya, dengan tujuan pulau seberang, ditemani langit senja yang tak pernah bosan, dalam menawarkan keindahan.


Dia berlayar tak seorang diri, dia tergabung dalam rombongan tempatnya bekerja. Tiada yang tahu, bagaimana dirinya begitu sibuk menatap hamparan lautan biru di depannya. Desau angin laut, goncangan kapal tatkala membelah gelombang, bukanlah sebuah halangan, namun justru sebuah pintu gerbang pertama bagi dirinya untuk masuk ke dalam sebuah dunia, dunia aksara. Berlayar di waktu senja adalah sebuah kebahagiaan, karena baginya itu adalah momen dimana tiga kenikmatan bisa dinikmati dalam satu waktu, lautan, aksara dan senja. Ah bung, nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?


 Talk Less, Read More... Empat kata yang dia anggap sebagai pedomannya. Baginya membaca buku bisa dilakukan dimana saja, namun membaca buku di atas kapal yang berlayar, di tengah lautan, dengan langit senja yang menghampar di depan mata, adalah pengalaman yang langka. Berbahagialah mereka yang pernah merasakannya. Dahulu semua itu hanyalah imajinasi, khayalan masa kecilnya, namun siapa sangka hari itu dia berhasil mewujudkannya. Memang benar kata penasehat negara, selama kita mau dan mampu menjaga bara mimpi tetap menyala, maka kita masih memiliki kesempatan untuk mewujudkannya. Dan hari itu, dia berhasil mewujudkannya.

Dia banyak membaca buku karena dia tahu bahwa dirinya tak ahli dalam menampilkan kata. Dia berlagak acuh padahal sejatinya menyimak semuanya, dia hanya tak bisa berkata dan mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Karena ketika dia membuka mulutnya, orang-orang akan meninggalkannya, dan menyebutnya sok pintar, karena kerumitan dan ketidakjelasan akan makna dibalik kata-katanya. Ini yang seringkali membuatnya heran, Bagaimana mungkin dirinya merasa pintar, jika bodoh saja tak punya?*


Selain membaca buku, di atas kapal, dia pun lebih banyak diam. Dia lebih banyak melihat, lebih banyak menatap hamparan biru lautan, lebih banyak meratap dalam diamnya. Tak ada yang tahu, tak ada yang menyadari, meskipun mulutnya terkunci, namun pikirannya mengembara, terbang entah kemana. Pertama, dia singgah ke kampung halamannya, tempat dimana keluarga menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih menyenangkan daripada kampung halaman dan tidak ada komunitas yang lebih eksklusif daripada keluarga.**

Kedua, dirinya akan mengembara ke sebuah lubang, tempat dimana segala perasaan tercampur aduk dalam-dalam. Tentang perasaan cinta, asmara, rindu, harapan, ataupun sebuah penantian, yang masih saja belum ditemukan muaranya. Terkadang dia merasa layak untuk dicintai, dirindukan, dan berbahagia, tapi terkadang dia juga merasa bahwa segala sesuatu yang dilakukan ditujukan untuk siapa? Dan dirinya pun sadar, bahwa Hidup tidak bisa dijalani dengan pikiran semata karena ada bagian dari hidup yang harus dia lalui dengan menggunakan perasaan.** Tapi bagaimana dengan dirinya kini? Entahlah.


 Dan, tempat terakhir yang dia tuju lewat angannya adalah sosok di masa depan yang masih terlihat samar, sosok wanita yang layak dijadikan muara atas segala doa dan kerinduannya, Selayaknya seorang lelaki yang mengharapkan malaikat sebagai istrinya, tapi dia sadar wanita itu seperti dirinya... Penuh dosa, tidak bijak, dan penuh kekurangan, tapi juga seperti dirinya, penuh perjuangan untuk hal-hal yang lebih baik.*** Dan dia percaya, bahwa dirinya tidak perlu tergesa-gesa, karena Tuhan selalu punya jeda yang pas untuk setiap pertemuan, perpisahan, dan masa depan.

Lautan bagai sebuah cermin raksasa yang memantulkan cahaya senja, dengan aksara, dirinya dituntun untuk menikmati segala keindahannya. Siapa yang mengira, dengan menatap senja dirinya bisa mengembara ke berbagai tempat. Menyajikan berbagai macam cerita tersembunyi yang tidak banyak orang mengetahuinya. Sekiranya memang benar kata sebuah peribahasa, air tenang menghanyutkan. Dalamnya lautan bisa diukur, namun dalamnya hati seseorang, siapa yang mampu? Apakah kamu mampu? Apakah kamu tahu siapa dirinya?


Wat zeg je? Oh... Ik weet het niet! (Apa yang kamu katakan? Oh... saya tidak tahu!)

Sialan, ternyata sedari tadi aku bercerita pada Orang Belanda, pantas daritadi dia diam saja!

Karawang, 23 April 2017

(*) Dikutip dari judul buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Kisah Sufi dari Madura karya Rusdi Mathari.
(**) Dikutip dari buku Istana Negara Selalu Menghadap ke Timur karya Anak S-E-N.

(***) Dikutip dan dialih bahasa dari bagian tulisan Robert Louis Stevenson yang berjudul Virginibus Puerisque.

25 comments:

  1. waaaaaaaaaaaaaaaaah tulisannya kereeeeeeeeeen :')
    Aku pengen bisa nulis begini.

    Gimanalah bisa nulis lautan, senja, dan membaca dalam satu waktu dengan tulisan sepanjang ini tapi tanpa menggunakan kata 'saya'.
    Ah sukaaaa :D

    btw setuju sama quotes yang ini -> "tidak ada komunitas yang lebih eksklusif daripada keluarga."

    ReplyDelete
  2. Oh ini yang senja aku salam balik ya fan~

    ReplyDelete
  3. Untung yg baca ini ngerti bahasa sastra indonesia jd mengerti. Mengeti membacanya tp lum trntu paham makna tersirat dr tulisan nyastra ini.. yg penting enjoy mmebaca tulisan kontemplasi macam ini. Dahsyat.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. fandy aku gagal fokus ma fotomu apikkk jjadi pengen

    ReplyDelete
  6. Daku hanya bisa berkata, aku paham rasanya jadi kau mas Fan

    Salam anak rantau!!!
    Pantang pulang sebelum sukses!!!

    ReplyDelete
  7. Ha-ha-ha... Endingnya kocak banget mas.. padahal itu pasti dah ngarep bs ngobrol sama cewek cakep hehe..

    Baca buku di tengah lautan pasti rasanya seru banget mas. Apalagi di bawah senja yang sangat membahagiakan

    ReplyDelete
  8. melihat senjata di atas kapal seru juga ya apalagi feelsnya dapet buat yang berpasangan hihihi tp kalo jomblo beda lagi hihihi mencari kesibukan lain pastinya ajib

    ReplyDelete
  9. seneng banget bacanya. serasa beneran ada di atas kapal ditemani laut dan senja.

    btw... jadi ngebayangin raut muka orang belandanya -_-

    ReplyDelete
  10. Asyik nih bersantai di atas kapal, sambil membaca buku :)

    ReplyDelete
  11. Kupercaya bahwa senja memiliki berbagai makna yang berbeda bagi setiap orang. bahagia bisa menikmatinya sembari bercemin, diam, mematung dan bersyukur

    ReplyDelete
  12. Semuanya nyata.
    Tapi endingnya bikin greget.

    hahha....bikin chapter 2 nya, Fan.

    ReplyDelete
  13. Orang yang suka baca, pastilah lama-lama bisa nulis. Nih, buktinya tulisannya bagus kok.. :D
    Oke, layaklah masuk ke komunitas #HotDudeReading. :))))

    ReplyDelete
  14. kren bro, produktif bgt, sambil nunggu sampai tujuan. di kapal, nulis tulisan cakep kek gini. keren :D

    ReplyDelete
  15. Hehehe endingnya lucu banget :D

    Seru ya berlayar gtu, aku lupa kapan terakhir naik kapal, kyknya pas SMP saat nyebrang ke Bali hehe.

    Btw justru baca buku kan bisa bikin kaya kata, ya, kan? :D

    ReplyDelete
  16. Banyak kutipan, keliatan banget banyak baca, keren.. Keren!

    Aku kok jadi keinget diri sendiri ya baca postingan ini. Secara diirku juga anak kampung yang nekat hijrah ke kota untuk menuntut ilmu dan pengalaman hidup :)

    ReplyDelete
  17. Mas Fan, pelis deh.. Makin bagus aja ini rangkaian kata-katanya :(
    Aku amat terkesima. Ini ceritanya pake sudut pandang 2, yak? Padahal lagi nyeritain diri sendiri? Hihihiii

    ReplyDelete
  18. Aku sebenarnya bingung dan kadang mikir, kenapa orang sangat suka senja. Aku nanya beberapa orang jawabannya kurang memuaskan. Menurut kamu, kenapa kamu suka senja?

    ReplyDelete
  19. Wah, mulai Asyik nih, Fan. Ceritanya udah dapet banget. Keren. Kalau diksi, sih, ndak perlu ditanya, ya.

    Jadi keingetan, bukunya Rusdi belum gue baca --_-- "

    ReplyDelete
  20. Mantap banget lah mas fandhy ini. Di mana dan kapan pun, pasti menyempatkan untuk baca. Slogannya juga gak kalah keren. "Talk less, read more."

    Sukses selalu buat si anak lelaki yang lagi merantau ke kota industri :)

    ReplyDelete
  21. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  22. yg ada di pikiranku soal membaca buku di tengah lautan, terus kapalnya pasti goyang2... dijamin bukannya menikmati malah eneg pasti sayaa tida sangghupp toloonggg.. saya team pembaca dalam suasana damai dan tidak "tergoncang" wkwkw. asik ihh, parahh, cerita tntng diri sndiri pake sudut pandang ke tiga. coba ahh~ berasa baca fiksi banget ini diksinya man entabhh !

    ReplyDelete
  23. Aku mau kasih komentar pada tulisan ini dalam bentuk 3 poin.
    1. Tulisannya keren banget
    2. Aku suka tulisan pada paragraf ke 5
    3. Gagal fokus pada tulisan terakhir, haha kocak benar - benar gak kepikiran loh

    ReplyDelete