Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Monday, July 1, 2019

Entah Kenapa Saya Menuliskannya?

“Banyak hal-hal dan ide-ide baru yang kadang mengepak-ngepakkan sayap di benak saya, bagai burung-burung malam yang berterbangan, lalu lenyap menjadi bulu-bulu halus yang melayang-layang ketika saya berusaha menangkapnya...”
Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera; Hal 540

Entah kenapa, sejak setahun terakhir, menulis menjadi sesuatu yang sulit bagi saya. Entah apa sebabnya, saya tidak tahu. Semua ide-ide tulisan yang saya temukan dan saya simpan sepanjang hari, entah kenapa ketika ingin menuliskannya tiba-tiba semuanya lenyap begitu saja. Lenyap, nyaris tanpa sisa. Seolah ada lubang hitam di kepala saya, yang menghisap seluruhnya nyaris tanpa sisa. Hanya menyisakan kekosongan yang sedemikian kosongnya nyaris membuat saya terjebak dalam ruang hampa, tanpa ide, tanpa kata, nyaris tak ada-apa selain sebuah kalimat tanya.

Kemana?!

Kemana perginya semua ide-ide tulisan tadi? Kemana perginya semua kata-kata yang tadi berbaris rapi di dalam kepala? Kemana kamu sembunyikan itu semua, hai kepala? Kemana?!


It doesn’t really makes any sense!

Sungguh skandal yang memalukan. Bisa-bisanya segala sesuatu yang berhubungan dengan rancangan tulisan-tulisan baru, kata demi kata, kalimat beserta kalimat, semuanya lenyap nyaris tanpa sisa. Bagaimana bisa, semua itu terjadi pada saya?

Bagaimana bisa???

Sungguh tidak habis pikir, bagaimana bisa hal-hal yang dahulu tampak sederhana, kini menjadi sangat sulit dilakukannya? Menyerap kalimat per kalimat, kata tiap kata, aksara demi aksara, merekatkan semuanya, lalu membariskannya semuanya menjadi sebuah tulisan, menjadikannya sebuah cerita yang penuh makna, ya setidaknya jika tak bermakna bisa menghasilkan sesuatu yang bisa membuat isi rekening saya tertawa terbahak. Tapi kenyataannya sungguh tidak masuk akal. Semuanya hilang begitu saja. Bodohnya lagi, saya memakluminya, dan membiarkannya sedemikian lama. Sampai-sampai isi kepala lupa akan tugasnya untuk berpikir dan menyimpan segala suatu hal yang saya baca, saya tangkap, dan saya renungkan untuk saya rancang menjadi tulisan. Sungguh tuman! Dikasih kendor sedikit, langsung nyosor minta lebih. Dikasih hati, malah minta kepala. Tuman!

Tuman!!!

Ternyata memang benar adanya, jika memberi celah sedikit saja untuk alasan, maka yang terjadi kemudian adalah alasan-alasan yang lainnya. Alasan-alasan yang muncul seolah memaklumi dan menjadi alibi atas dasar segala hal-hal yang tidak bisa diwujudkan dalam kenyataan padahal saya memiliki kesempatan. Melewatkan kesempatan terkadang menumbuhkan rasa penyesalan di dalam hati, yang mana jika tidak ditangani segera akan merambat cepat ke kepala, mencemari semuanya, dan menjadikannya penghalang besar atau justru menjadi penyebab hilangnya elastisitas logika dalam melihat sesuatu? Menumpulkan logika, menyempitkan sudut pandang, menyuburkan seribu alasan, dan menyemaikan bibit-bibit pikiran negatif, dengan alibi-alibi sebagai hasilnya. Sungguh mengerikan.

Menuliskannya saja sudah membuat saya bergidik ngeri. Sungguh mengerikan akibatnya jika kehidupan dikuasai oleh alibi-alibi yang tidak bisa menerima kenyataan, dan mengkambinghitamkan orang lain, demi alasan-alasan yang tidak masuk akal. Sungguh betapa mengerikannya jika logika menjadi buta. Saya tidak berharap hal itu terjadi pada saya.

Amit-amit jabang bayi!

Saya suka membuka buku-buku baru, membacanya atau sekedar menghirup aroma kertasnya, itu sudah cukup membuat hari yang buruk menjadi sedikit lebih baik. Adapun dengan buku-buku lama yang sengaja saya tumpuk di pojokan rumah, seringkali saya jadikan sebagai tempat untuk bernostalgia perihal beberapa cerita yang terkadang tidak pernah diungkapkan lewat kata, namun seringkali muncul di kepala. Terkadang juga tumpukan-tumpukan buku baru menimbulkan aroma segar seperti aroma tanah setelah diguyur hujan semalaman. Aroma segar yang menguar ke udara dan tercampur oleh aroma apak buku-buku lama serta debu yang terkadang menyelimuti sampul luarnya.

Socrates pernah berkata bahwa Hidup ini tidak lagi menarik tanpa pertanyaan, monoton, terjebak dalam rutinitas. Lalu, pertanyaannya adalah pertanyaan seperti apa yang harus saya pilih untuk saya tanyakan? Jika yang muncul di kepala adalah ribuan pertanyaan yang datangnya entah dari mana. Saya tidak mengerti kenapa sampai bisa sebegitu banyak pertanyaan, namun jika harus memilih satu di antaranya, saya harus memilih yang mana? Sungguh pertanyaan yang pelik, namun pikiran saya terus menerus menyelidik, dan terusik oleh pertanyaan itu. Saya hanya ingin tahu saja, bagaimana bentuk pertanyaan yang pada akhirnya saya tanyakan.

Saya hanya ingin tahu saja.

Entah mengapa saya menjadi suka pagi, entah sejak kapan saya memulai untuk menyukainya, namun yang pasti saya mulai mengerti akan rasa yang ditimbulkan oleh suasana pagi hari. Dimulai dengan turunnya kabut pagi yang datang bersama angin gunung, bertiup sepoi-sepoi, begitu gemulai dan menyapu seluruh persawahan. Mengapungkan kabut ke segala arah, lalu teriris tipis-tipis oleh cahaya mentari pagi. Perlahan Sang Surya merekah di ujung timur dengan megahnya, tersenyum tipis dari ujung kabut pagi yang kian menipis. Cahayanya mampu menukar gelap dengan terangnya pagi, yang membuat seluruh makhluk jadi semangat, termasuk saya yang begitu semangat memacu motor melintasi jalanan yang membelah persawahan. Memacu sedemikian kencangnya, demi sebuah kewajiban, kewajiban pekerjaan. Kewajiban Lembur pagi.

Sesederhana itu saya menyukai pagi, karena dengan datangnya pagi selalu membawa berita baik, selalu membawa harapan baru. Banyak hal yang tidak saya ketahui terjadi di malam hari, dan banyak hal-hal lainnya yang tidak saya ketahui sudah ada sejak dahulu kala. Tercipta begitu saja, begitu adanya, namun seringkali tidak diperhatikan oleh manusia. Terlewat begitu saja oleh mata yang terlalu terpaku, terburu, dan tertampar oleh tangan yang tak tampak. Terburu oleh waktu. Tidak terkecuali saya.

Dan, entah kenapa saya menuliskannya?

Dalam satu waktu saya seringkali memikirkannya, memikirkan semuanya. Memikirkan sekaligus mempertanyakan banyak hal. Banyak hal yang telah terjadi, termasuk beberapa penyesalan yang sampai saat ini seringkali datang dan menyadarkan saya tentang hal-hal yang sudah terjadi, yang mana bisa dijadikan sebagai pembelajaran, dan pengalaman hidup. Pengalaman hidup terkadang menjadi guru yang kejam, ia memberi ujian terlebih dahulu, lalu setelah itu baru memberikan pelajaran. Pelajaran kehidupan.

Kehidupan penuh rahasia yang tidak mungkin berkembang tanpa mengundang salah paham. – Gabriel Garcia Marquez, Love In The Time of Cholera. (Hal 358-359)

Pada akhirnya setelah saya menuliskan banyak hal, hujan datang dengan penuh gemuruh, menyapu habis semuanya. Menyapu segalanya yang ada di kepala. Menyapu seluruhnya seolah-olah hujan tidak mengizinkan saya untuk lebih lama memikirkannya lagi.

Dan, akhirnya saya mengerti. Mengerti bahwa yang saya butuhkan hanyalah menuliskannya. Menuliskan semuanya, dan membiarkan hujan menyiapkan lahan baru untuk bersemainya benih-benih pemikiran baru di dalam kepala.


Karawang, 1 Juli 2019.

31 comments:

  1. Waduh, gue juga suka suasana pagi, tapi susah bangun paginya. *menangis di pelukan guling

    ReplyDelete
  2. Membaca ini rasanya membuatku tertampar, karena sedikit banyak aku juga merasakan hal yang sama. Buntu dengan ide menulis, tapi di lain pihak aku malah malas emmbaca buku. Pengakuan yg cukup berat sebenarnya karena seharusnya, penulis itu harus banyak membaca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya sebenarnya tidak hanya membaca buku, penulis juga bisa mendalami dan mengalami sebuah ide tulisan dari pengalaman hidup.

      Tapi memang benar, istilah bahwa penulis yang bagus adalah pembaca buku yang rakus.

      Delete
  3. Terkadang aku juga pernah berada disituasi seperti ini, rasanya tuh pengen banget rajin menulis tapi tiba-tiba ide yang bermunculan hilang entah kemana gitu :(((

    Bisa jadi terkadang mau nulis tapi kebanyakan mikir, padahal kalau mau nulis ya nulis aja. Tapi, sekarang kalau ada ide aku segerakan untuk mencatat dinote biar gak hilang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener banget, kadang memang harus langsung ditulis ide yang ada di kepala, biar tidak lupa dan tidak menghilang itu ide tema tulisan

      Delete
  4. Aku juga tengah berada di zona ini, Fan. Sepanjang tahun ini. Belajar menulis kembali pada beberapa sosok. Hingga akhirnya aku menikmati baca Free Writing. Ternyata, menulis mah menulis aja. Ga usah pakai berpikir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sekarang pun saya semakin free writing. Free writing dalam arti sebenarnya. Bebas menulis karena sudah jarang sekali menulis, kecuali ya tentu saja menulis di linimasa twitter.

      Delete
  5. Aku nih juga kadang yaaa udah nulis trus ga lanjut. Di draft-in truus nulis lainnya lg tapi ga selesai2. Haha. Duh bahaya. Btw mungkin rangkaian kata demi kata mu sedang lari ke twitter kali kaaak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kayaknya seperti itu nda, kata kata di dalam kepalaku seakan lenyap begitu saja, tanpa terkira, tanpa suara, begitu senyap, mereka hinggap hanya untuk berdiam sekejap. Memancing jejak untuk disadap. Lalu terlewat, semuaya jadi gelap.

      Delete
  6. Toss, 2 bulan terakhir mau nulis rasanya berat banget kecuali nggak kedesak karena suatu hal. Padahal menulis mah gampil apalagi dengan hati dan perasaan senang. Tapi susaghnya kalau sudah penuh alasan-alasan, jadi menulis hanya sekedar wacana *pundung di pojokan
    JAdi tertampar banget nih hehhee
    TFS yah kak
    Cheers

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ketika sudah datang masanya sulit menuliskannya lagi, sungguh berat sekali untuk memulai kembali

      Delete
  7. saya beruntung ga mengalami kendala yang sama, saya bisa manage diri supaya bisa nulis. Awal dari ide ada, langsung dituangkan dalam bentuk headline.

    Untuk lanjutannya menulis apa yang ada dikepala langsung dituangkan, 'masa bodo' dengan bagus atau ga. Yang pasti harus nulis sampe kelar.

    Nah, kalau udah kelar, baru deh dibaca ulang, diedit supaya lebih enak dibaca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dulu pun saya begitu, tapi entah kenapa kebiasaan itu kini telah berganti dengan rasa malas yang sebenarnya. Malas menulis.

      Delete
  8. Iya... Saya juga sering memberikan pemaklukan untuk beberapa hal yang seharusnya wajib saya lakukan. Kok akhirnya jadi kebiasaan buruk.
    Memang masalah konsistensi jadi hal penting namun dengannpekerjaan saya sekarang membuat sistem prioritaslah yang utama.
    Jadi ada hal yang ditinggalkan dan dikurangi dan beberapa dipacu dengan giat

    ReplyDelete
  9. Kadang ya kita butuh istirahat dari rutinitas, dari menulis. Tapi pas kelamaan libur, eh jadi lupa. Kaya aku nih yang lupa gimana caranya review buku setelah hiatus sekian lama

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha sepertinya saya sudah hiatus terlalu lama dari dunia perbloggeran

      Delete
  10. Mohon maaf, ini tuman itu artinya apa ya? Kok sebagai penutur bahasa sunda saya tidak menemukan kata tuman di atas sesuai pada tempatnya secara pragmatis dan konteks kadang enggak nyambung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha tuman itu saya kutip dari bahasa jawa yang memiliki arti "senang, sampai keterusan" semisal dalam melakukan kemalasan

      Delete
  11. Terlalu banyak berfikir memang bagus, tapi kalau terus-terusan difikir, semacam mencari ilmu filsafahnya ya. Memang kadang berfikir itu nikmat ya mas :)

    ReplyDelete
  12. Kalo udah nikah harusnya gampang buat nulis cerita. Haha

    ReplyDelete
  13. **tarik napas panjang---hembuskan.
    Kalau mau nulis, memang PAS momennya, langsung tulis...itu enak banget, Fan..

    Begitu uda di nantik-nantik...hilang deeh....feelingnya.

    Mungkin hidup memang fitrahnya begitu yaa...
    Datang dan menghilang...

    Agar tak terlalu bersedih jika kehilangan.

    ReplyDelete
  14. Pernah ada di masa seperti ini juga sih, bingung ngerangkainya karena yang dateng bukan detail-detail. Tapi kemudian banyakin baca lagi dan yaaa jadilah voilaa, tulisan baruuu

    ReplyDelete
  15. Betul sekali sering kali saya pun merasakan hal yang sama ketika ingin tulis eh malah setengah jakan terus untuk melanjutkannya lagi terasa malas dan tidak ada ide gitu.

    ReplyDelete
  16. Entah kenapa aku kepo bagaimana kehidupan dan perasaannya setelah menikah 😆

    ReplyDelete
  17. Aku pernah tu beberapa kali mengalami masa dimana kesusahan sekali bahakn menulis satu kata pembukaan. Huhuhu. Kalau sudah gtu biasanya aku gak maksain sih mas, aku akan lbh banyak melakukan hal lain. Baru pas hati udah baikan aku mulai menulis lg.

    ReplyDelete
  18. well, itulah namanya ide my friend. Datang sekali seperti rasa yang pernah ada namun takkan terulang dengan keadaan yang sama

    ReplyDelete
  19. Lagi kebingungan sempet-sempetnya selfie. Takjub aku.

    ReplyDelete