Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Tuesday, October 12, 2021

Sebuah Tulisan Sederhana

It took all the strength, I had just not to fall apart. I’m trying hard to mend the pieces of my broken heart. And, I spent so many nights just feeling sorry to myself. I used to cry, but now I hold my head up high.~~ (Cake – I Will Survive)

Sedari kecil, saya diajarkan untuk hidup sederhana, bukan ala kadarnya tapi sederhana. Sederhana dalam arti yang sebenarnya, Jika yang ada tersedia itu merk A, kenapa harus repot-repot dan memaksa mencari untuk merk B? Ya begitulah adanya. Sesederhana itu. Pelajaran yang diajarkan oleh orang tua, tetap saya ingat sampai kini. 

Bahkan beberapa keinginan yang saya punya, itu sebenarnya sangat biasa, dan sangat sederhana. Bagi sebagian orang, keinginan yang saya punya begitu biasa, begitu normal seperti orang yang lainnya. Hidup bahagia, tenang tentram, berkeluarga, dengan beberapa anak, dan memiliki pekerjaan tetap. Sungguh biasa sekali bukan? Ya memang begitulah adanya, sesederhana itu. Hanya saja terkadang semesta dan takdir membuat hal itu semua menjadi tidak sederhana. Terkadang ada saja bumbu-bumbu drama dan berbagai macam tambahan kejadian yang membuat hidup kian berwarna. Ya begitulah hidup.

Entah kenapa tangan terasa begitu kaku dalam meramu kata, tak seluwes dulu, tak segesit dahulu, semuanya jadi tampak begitu berbeda, sedangkan saya, sedari dulu tidak ada bedanya, hanya beda tempat kerja saja.

 

 

Tampak di seberang jalan, berderet rumah-rumah dinas perusahaan, tempat dimana saya pernah bermimpi untuk menjadi karyawan tetapnya. Setidaknya target saya gantungkan target menjadi karyawan tetap di tahun kelima. Tapi sayang seribu sayang, pandemi datang, menyapu semuanya, termasuk mimpi saya. Tidak hanya menyapu mimpi saya, sekaligus menenggelamkan karir yang telah berjalan lebih dari empat tahun, dan kini seharusnya sudah masuk tahun kelima. Namun begitulah kehidupan, selalu saja menawarkan kejutan.

Banyak orang yang beruntung dan memiliki kesempatan untuk menyiapkan diri terlebiih dahulu sebelum mengajukan pengunduran diri. Entah karena sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih menarik gajinya, atau jam kerjanya. Namun sayangnya, hal itu tidak berlaku kepada saya. Saya dan dia, tentu punya takdir dan rejeki yang berbeda, jika saya hanya berdiam, merutuki diri dan membanding-bandingkan nasib dengan orang lain, semua hanya buang-buang waktu saja. Tidak ada gunanya.

Kanan kiri, sana sini, berbagai perusahaan sudah saya kirimkan lamaran pekerjaan. Banyak yang merespon dengan penolakan, banyak juga yang tidak merespon. Brengseknya, sekalinya merespon, responnya datang di waktu saya sudah mendapatkan pekerjaan. Brengsek betul. Banyak hal yang tidak pasti di dunia ini, termasuk soal gaji. Untuk soal ini, entah kenapa saya tidak terlalu berani dalam berjudi. Bukan karena masalah besarnya gaji atau jam kerja yang menyiutkan nyali, tapi karena sebuah komitmen dalam diri, yang mana egala sesuatunya itu sudah ada yang mengatur semuanya. Sederhana sekali hidup saya. Tidak banyak neko-neko.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan, selain bangkit kembali setiap kali terjatuh. Tidak ada alasan untuk saya berdiam di pojokan, dan memaki-maki semua hal yang telah terjadi, sekaligus merutuki nasib buruk yang menimpa diri. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal yang tidak perlu, urusan orang lain itu sudah menjadi urusan mereka sendiri, buat apa pula saya mencampuri urusan mereka, meskipun terkadang bedebah juga, ketika melihat mereka mencoba mengurusi hidup saya. Merecoki kehidupan saya dengan berbagai macam drama, yang sudah saya anggap sebagai angin lalu saja, masuk kuping kiri, keluar kuping kanan, sesederhana itu, sesimpel itu.

It took all the strength, I had just not to fall apart. I’m trying hard to mend the pieces of my broken heart. And, I spent so many nights just feeling sorry to myself. I used to cry, but now I hold my head up high.

Jauh di dalam ingatan, berkelip berbagai macam peristiwa yang melintas begitu saja. Menciptakan jejak nostalgia, yang seringkali menerbangkan kupu-kupu di dalam dada, tapi seringkali pula menaburkan garam pada luka yang kembali menganga, tatkala berusaha kembali untuk mengingatnya. Untuk membiasakannya, membutuhkan waktu yang cukup lama. Saya hanya berusaha untuk tetap bertahan, tetap tabah menghadapi semuanya. Mencoba untuk tidak menginjak pecahan-pecahan remuknya mimpi, agar tidak lagi melukai diri. Seringkali, saya masih mengingat kembali, masa-masa di perusahaan lama, masa dimana segalanya tampak baik-baik saja, sampai semuanya musnah oleh wabah.

Saya ingin menangis, jujur saja, saya seringkali ingin menangis. Menangis dengan sederhana. Menangisi semuanya dengan segenap rasa. Tanpa malu akan kumis yang sudah menggurita. Tanpa malu kepada umur yang sebentar lagi berkepala tiga. Saya hanya ingin menangis dengan sederhana. Menangis yang bisa menciptakan kelegaan pada jiwa, membebaskan segala rasa, meluruhkan beban di pundak, sekaligus mengingatkan saya, bahwa saya juga manusia biasa.


Karawang, 12 Oktober 2021

Read More