Lantas apa lagi yang mesti kutulis, jika segalanya
hilang dan tak terbaca
Kenangan lamat-lamat memudar, harapan hari esok
hanya mimpi-mimpi mencekam
Sekali waktu, besok, lusa atau hari yang tak
mengenal musim
Aku mungkin hanya bisa mengenangmu, hanya bisa
mengenangmu.
(Nissa Rengganis, Tentang Mata dan Sebuah Kota Tak
Bernama)
Lantas
apa yang harus aku tulis? Jika rasa dan kata perlahan memudar, lalu lenyap
dalam ketiadaan. Tiada lagi yang tersisa, selain abu dan remahan kalimat yang
berserakan di dalam kepala. Hujan tidak mengenal musim, di dalam kepalaku, ia
bisa menciptakan banjir bandang yang menghanyutkan segalanya, termasuk aku
beserta kata demi kata, yang tidak sempat dituliskan oleh aku, dan
menjadikannya niscaya lalu lenyap dalam ketiadaan yang nyata.
Sepanjang malam, aku dan pikiranku
saling berdialog, berdiskusi perihal segalanya, perihal semua kata-kata yang
sudah dibebaskan, dan berbagai macam upaya yang akan dilakukan untuk menjemput
lagi semuanya. Mengantarnya kembali kepada aku yang kini sedang berusaha
mengingat lagi perihal caranya merangkai kata demi kata, kalimat tiap kalimat.
Dan, semuanya dimulai tanpa aku sadari...