MEMBINA HUBUNGAN DENGAN KONSTITUEN
Perkembangan
demokrasi di Indonesia memperlihatkan adanya dorongan pada pemerintahan rakyat.
Rakyat mempunyai kedaulatan yang tertinggi, dengan sistem politik yang
demokratis sehingga seluruh kebijakan dan aturan yang mengikat rakyat
dilaksanakan dengan persetujuan rakyat. Pengaturan kedaulatan rakyat tidak
dapat dibatasi oleh pemerintah tanpa persetujuan rakyat dan pemerintahan yang
konstitusional. Kedaulatan rakyat ini harus diartikan dan diterapkan sepanjang
waktu, bukan hanya ketika rakyat diperlukan, misalnya pada saat Pemilu.
DPRD merupakan
lembaga perwakilan rakyat di daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara,
dalam UU 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan UU 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, lebih jelas
diamanahkan tiga fungsi DPRD kabupaten/kota yaitu: Legislasi yaitu kewenangan pembuatan Peraturan Daerah (Perda), Anggaran yaitu kewenangan
menyetujui/menolak dan menetapkan RAPBD menjadi APBD, dan Pengawasan yaitu kewenangan Dewan
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan lainnya.
Peran DPRD di
Indonesia masuk dalam dua bentuk perwakilan, yaitu perwakilan politik dan
perwakilan fungsional. Perwakilan politik diemban melalui pemilihan umum
sedangkan perwakilan fungsional dilakukan melalui pengangkatan pada saat
terpilih. Sejak tahun 2004, rakyat Indonesia telah memilih secara langsung
calon anggota legislatifnya, yang memperlihatkan bahwa kewenangan dan kekuasaan
yang diperoleh anggota DPRD sebenarnya adalah kepercayaan dari rakyat yang
harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Mandat politik,
mengandung arti bahwa rakyat hanya memberikan sebagian hak-haknya untuk diwakili
oleh anggotaanggota DPRD yang terpilih dalam proses pengambilan keputusan.
Rakyat masih dapat menggunakan haknya secara langsung untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan. Dalam melaksanakan mandat rakyat, Dewan selayaknya dapat
menghasilkan keputusan-keputusan politik/kebijakan publik yang berdampak
positif melalui instrumen fungsi-fungsi DPRD, yaitu fungsi legislasi, anggaran
dan pengawasan.
Secara substansial,
pandangan dari banyak ahli dan praktisi politik, keputusan politik dapat
dikatakan positif apabila mewakili dua kepentingan dasar dari individu warga
negara dan kelompokkelompok dalam masyarakat, yaitu perlindungan hak dan
peningkatan kesejahteraan dalam berbagai aspek. Secara prosedural,
keputusan politik yang baik akan mengikuti prosedur hukum yang benar, dimana
badan legislatif dan eksekutif, yang memiliki otoritas formal untuk membuat
keputusan seluas mungkin, harus melibatkan masyarakat di dalam prosesnya.
Dalam konteks
pembuatan keputusan politik atau kebijakan publik yang baik itulah maka anggota
DPRD perlu mengembangkan komunikasi dan hubungan dengan pemilih atau
konstituennya. Disamping hubungan dengan pemilih, para wakil rakyat juga perlu
mengembangkan komunikasi dan hubungan dengan media serta kelompok-kelompok
kepentingan dalam masyarakat seperti serikat atau organisasi-organisasi rakyat,
organisasi massa (Ormas), LSM, perguruan tinggi dan lain-lain.
Konstituen
merupakan sebutan atau istilah yang sering diperdengarkan dan dijadikan dasar
landasan kerja banyak pihak. Seorang anggota DPRD akan selalu
mengidentifikasikan konstituennya dengan menggunakan identitas partai. Beragam
pemaknaan tentang konstituen berkisar pada konstituen sebagai rakyat biasa,
pemilih di daerah pemilihan, pendukung partai politik, pemberi mandat, pihak
yang harus diberi tanggung jawab, masyarakat yang diwakili, atau kelompok
sasaran yang dilayani oleh partai atau parlemen. Menurut Kaukus Parlemen Bersih
DIY (2006), konstituen bagi anggota Dewan adalah “seluruh warga di daerah pemilihan, darimana dia dipilih dalam proses
pemilihan umum, tanpa lagi mengidentifikasikan siapa pendukung dan penolaknya”.
Dalam proses
demokrasi, artikulasi dan agregasi kepentingan konstituen merupakan proses
politik yang paling mendasar. Artikulasi dapat dijadikan jembatan antara
warga/konstituen dengan sistem kerja-kerja DPRD dan pemerintah, sebagai pembuat
kebijakan publik. Pendekatan
artikulasi oleh DPRD dapat dilakukan berdasarkan teori partisipasi dan
demokrasi, terutama jika dilihat dari sisi aktor yang memainkan peranan
dominan.
Agregasi
aspirasi merupakan tahapan yang kompleks dan kritis, mengingat agregasi bukan
hanya menampung atau menyalurkan aspirasi, tetapi juga harus membuat pilahan
maupun mengelola konflik aspirasi yang kompleks dan saling bertentangan. Dalam
teori politik, terdapat proses konversi yang mengolah input (aspirasi)
menjadi output dalam bentuk kebijakan. Karena itu proses dan hasil
kebijakan sebenarnya merupakan tujuan utama bagi artikulasi dan agregasi
kepentingan. Oleh karena itu, proses kebijakan merupakan arena dari artikulasi
dan agregasi kebijakan.
Perlu diingat,
aspirasi warga sebaiknya diprioritaskan pada aspirasi berdampak langsung bagi
kebaikan bersama. Pada umumnya bentuk aspirasi ini mengenai masalah-masalah
bersama. Sebagai anggota DPRD, menghormati dan melindungi hak-hak dasar warga
negara merupakan syarat mutlak untuk dapat mempunyai hubungan harmonis dengan
konstituennya.
Praktik politik
yang terjadipun, seringkali menjebak Dewan pada wacana sulit untuk membedakan
antara artikulasi aspirasi rakyat (konstituen) versus opini publik dari
sekelompok elit warga atau pengamat politik. Pada kondisi ini anggota Dewan
akan dihadapkan pada aspirasi yang begitu banyak dan dari berbagai segmen dalam
wilayah utama atau focus area, terutama apabila pada masa kampanye
pemilihan sebelumnya, telah banyak janji-janji politik antara partai yang
menaunginya dengan pemilih. Disinilah agregasi aspirasi berperan sebagai
tahapan yang kompleks dan kritis, bukan hanya menampung atau menyalurkan
aspirasi, tetapi harus membuat pilihan maupun mengelola konflik yang
ditimbulkan akibat adanya pertentangan atau perbedaan antar segmen.
Teori sistem
politik memperlihatkan adanya konversi dari input (aspirasi) menjadi output
dalam bentuk kebijakan. Karena itu proses dan hasil kebijakan sebenarnya
merupakan tujuan utama bagi artikulasi dan agragasi kepentingan. Karena itu
proses kebijakan merupakan arena utama proses artikulasi dan agregasi
kepentingan.
Beberapa
persoalan yang sering timbul seputar hubungan DPRD dan konstituennya adalah
akibat langsung dari kegagalan berkomunikasi. Kegagalan dalam berkomunikasi
dapat disebabkan oleh banyak hal. Komunikasi adalah pertukaran dan aliran
informasi dan ide dari satu orang kepada yang lain. Komunikasi dalam prakteknya
melibatkan seorang yang mengirimkan pesan dan seorang penerima. Komunikasi yang
efektif terjadi hanya jika penerima mengerti informasi atau ide yang diterima
dengan pengertian yang sama dengan pengirim. Faktor-faktor dalam proses
berkomunikasi adalah pesan berupa informasi,
fakta atau kata-kata; Pengirim baik
individu, kelompok, organisasi atau masyarakat dan Penerima Sepanjang proses penyampaian pesan, dua proses akan
diterima oleh penerima yaitu isi dan konteks. Isi pesan adalah kata atau simbol
yang digunakan dalam pesan. Konteks adalah cara penyampaian atau bagaimana
pesan tersebut disampaikan seperti tekanan kata, pandangan, bahasa tubuh,
ekspresi perasaan.
Banyak anggota
DPRD berpikir bahwa mereka telah berkomunikasi dengan konstituennya ketika
melakukan kunjungan sesaat ke suatu daerah. Sangat umum konstituen yang
dikunjunginya tidak mengerti pesan yang disampaikan. Sebuah pesan belum
dikomunikasikan jika pesan tersebut tidak dimengerti oleh penerima. Biasanya Dewan
melakukan komunikasi satu arah dan lebih senang berbicara daripada mendengar.
Bagi seorang anggota DPRD, sangat penting untuk untuk menjadi pendengar yang
baik.
Mendengar dapat
dikategorikan menjadi dua bagian: Pertama, mendengar sebagai aktivitas
fisik Kedua, mendengar sebagai tindakan yang melibatkan penerimaan dan
interpretasi bunyi kedalam pengertian. Mendengar dapat menjadi kekuatan Dewan
dalam berkomunikasi dengan konstituen.
Konflik menurut
pandangan Kaum Strukturalis, merupakan suatu situasi proses interaksi antara
dua atau lebih orang atau kelompok dalam memperjuangkan kepentingannya atas
obyek atau tujuan yang sama. Konflik menurut Coser dibedakan atas : (1) konflik internal (seperti konflik
antara pemimpin dan dengan anak buah), (2) konflik eksternal ( seperti konflik antara kelompok itu sendiri
melawan kelompok lain, (3) konflik yang
realistik, yaitu konflik yang sulit diredam karena berhubungan dengan
material, (4) konflik yang non
realistik, merupakan konflik biasanya mudah (bisa) diredam karena
berkaitan dengan konflik nilai.
Menurut
pandangan kaum modernis, konflik lebih dipandang sebagai refleksi dari
perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota sebuah komunitas. Perbedaan dimaksud
bisa berupa perbedaan pendapat, kepentingan, minat, persepsi, keinginan, dan
kemauan. Konflik terjadi biasanya berkisar pada masalah perebutan sumbersumber,
baik itu sumber-sumber politik (kekuasaan), ekonomi, sosial maupun kebudayaan.
Biasanya juga dalam konteks satu pihak mempertahankan dan di pihak lain ada
yang berusaha merebut, maupun kedua belah pihak sama-sama sedang memperebutkan.
Timbul adanya
keyakinan bahwa seni menyelesaikan konflik adalah suatu ketrampilan yang dipelajari
dengan mengalami sendiri. Semakin banyak belajar dan mengalami, maka semakin
mudah mengatasi hal-hal yang berbau konflik. Yang jelas bahwa dalam kehidupan
berorganisasi, baik organisasi modern seperti Dewan, konflik senantiasa
terjadi. Hal-hal yang mempengaruhi konflik dalam kehidupan bernegara dan
hubungan antara warga negara, akan dihadapi oleh DPRD dalam menjalankan
fungsinya.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, konflik merupakan hal tidak mungkin dihindari. Konflik biasanya
terjadi disebabkan tidak terjembataninya harapan dan kenyataan. Harapan dan
kenyataan apabila terjembatani dengan baik, maka sesungguhnya merupakan suatu
tindakan yang seiring dengan konsep resolusi konflik. Menurut pemahaman
kebanyakan orang, konflik selalu dipandang sebagai sesuatu yang perlu dihindari
atau sebagai sesuatu yang bersifat destruktif.
Konflik dalam
kaitannya dengan status dan peranan DPRD, bisa berbentuk segi tiga yakni secara
internal dalam Dewan, dengan eksekutif, dan dengan masyarakat. Konflik yang
tercipta bisa berupa konflik pribadi atau konflik fungsional. Konflik pribadi
terjadi pada individu-individu dalam tim. Picunya seperti telah kita bahas di
atas. Alam semakin parah jika perasaan terlibat. Situasi konflik individu
sangat tidak efisien untuk kerja karena mereka cenderung tidak mau berhubungan
satu dengan yang lainnya. Ada juga konflik fungsional. Konflik ini bisa disebut
konflik antar bagian yang muncul lewat pembagian tugas dalam struktur DPRD.
Kedua jenis konflik tersebut masih bisa dinetralisir jika kedua belah pihak
menyadari adanya saling ketergantungan antara komisi yang satu dengan yang
lainnya dan melihatnya dengan dewasa. Taktik menyelesaikan konflik lagi-lagi
sangatlah unik dan pribadi. Semuanya tergantung kejelian dan pendekatan orang
per orang.
Sifat dan
perilaku individu atau kelompok yang cenderung kurang terbuka dan bahkan
cenderung tertutup terhadap individu atau kelompok lain menjadi sumber dampak
potensial terjadinya konflik antar individu atau kelompok. Bobot atau tingkatan
konflik biasanya berawal dari konflik dengan bobot yang ringan. Namun konflik
sebagai dampak ternyata memiliki sifat kumulatif sejalan dengan perjalanan
waktu. Artinya, suatu konflik dengan bobot kecil jika tidak segera diselesaikan
akan berkembang menjadi konflik dengan bobot yang lebih berat. Ditinjau dari
sifat kumulatif konflik, maka penyelesaiannya dapat dilakukan secara dini.
Konflik dengan bobot ringan masih lebih mudah untuk diselesaikan dibandingkan
dengan konflik berat.
Penyiapan
kunjungan lapangan dimaksudkan sebagai alat yang dapat digunakan Dewan dalam
melakukan kunjungan atau anjangsana ke konstituen. Pertanyaan-pertanyaan dasar
dalam bab ini diharapkan dapat membantu DPRD membuat catatan sendiri dalam
memfokuskan kunjungan yang akan dicapai di lapangan, serta untuk mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan kunci dalam diskusi dengan konstituen. Oleh karena itu
kunjungan Dewan sebaiknya dapat difokuskan pada topik dan aspek yang jelas.
Penggalian informasi dapat dilakukan melalui dialog, diperdalam dalam diskusi interaktif
yang spesifik, pengayaan tanya jawab dengan menggunakan perspektif ke depan dan
menumbuhkan pemahaman bersama dari sudut yang berbeda. Kunjungan juga akan
memperjelas apa yang terjadi dalam proses praktik-praktik kebijakan dengan
konstituen, pemahaman terhadap persoalan mereka dan tujuan akhir dari
praktik-praktik kebijakan tersebut, untuk mendapat inspirasi dan inisiatif
baru.
Penentuan waktu
kunjungan merupakan salah satu persiapan yang tidak mudah. Mensinkronkan waktu
Dewan dan waktu masyarakat yang akan dikunjungi sangat penting untuk
mendapatkan waktu yang ideal bagi kedua belah pihak. Kunjungan sebaiknya
menghindari sejauh mungkin hari libur dan hari besar agama, serta musim-musim
yang akan mengganggu jalannya kunjungan.
Analisis
situasi adalah langkah pertama dalam proses logis merancang sebuah kunjungan.
Ini merupakan analisis ‘gambar keseluruhan’ atau konteks bagi kunjungan yang
akan dilakukan, termasuk identifikasi penyebab timbulnya masalah yang ingin
diselesaikan melalui kunjungan Satu tujuan kunjungan kepada konstituen adalah
uraian mengenai suatu pencapaian–pemahaman, tindakan penyelesaian masalah,
perasaan, sikap/dukungan–yang Anda harap akan bisa dicapai di akhir pertemuan.
Tujuan agenda
kunjungan adalah untuk membuat satu ‘rencana utama’ atau master plan.
Agenda kunjungan adalah alat yang sangat praktis karena Anda akan memiliki
gambaran yang jelas, Agenda Dewan bisa dibuat sangat detail, dengan menyertakan
tujuan dari setiap topik isu dan waktu, dan hanya digunakan untuk anggota.
Salah satu tugas dalam menyusun agenda adalah mengurutkan acara. Proses
mengurutkan acara ini merupakan campuran dari berbagai komponen, dimana
sebagian adalah logika, sebagian pengalaman, sebagian intuisi dan sebagian akal
sehat yang baik. Ada banyak jalan untuk mengurutkan agenda pertemuan, yang
belum tentu terbaik bagi setiap anggota DPRD sebagai fasilitator. Setiap
individu mempunyai caranya sendiri-sendiri.
Fasilitasi bisa
digambarkan sebagai satu proses yang secara sadar dilakukan untuk membantu satu
kelompok agar sukses mencapai tujuan dan fungsinya sebagai satu kelompok.
Proses-proses yang perlu difasilitasi adalah : Proses saling belajar.,
Proses-proses partisipasi, sharing dan dinamika kelompok. Dalam suatu
pertemuan, biasanya banyak ide dan pengalaman yang dilontarkan atau
diceritakan. Namun, seringkali hanya beberapa yang mendapat perhatian sementara
yang lainnya hilang seolaholah tidak pernah dikatakan. Proses untuk menemukan
apa yang terjadi dalam satu kelompok disebut mendiagnosis. Itu adalah suatu
ketrampilan penting bagi seorang fasilitator. Seorang fasilitator hanya bisa
menghindari atau menghilangkan masalah jika dia bisa mendiagnosis apa yang
terjadi.
Seperti telah
disampaikan pada permasalahan dan tujuan buku ini disusun, terdapat ‘jarak’
antara rakyat (konstituen) yang berharap utusan mereka dapat mengusung aspirasi
mereka pada keputusankeputusan publik di sidang DPRD. Di pihak lain, masih
banyak anggota Dewan yang merasa bahwa mereka sudah berusaha dengan gigih,
namun tidak lagi mengerti bagaimana melakukannya dengan efektif.
0 comments:
Post a Comment