Banyak kehidupan yang sudah dia
lihat sebelum dia terbangun dan tersadar kembali. Setiap kali dia hilang
kesadaran, dia akan terbangun di tempat lainnya dengan sosok yang berbeda,
namun dengan jiwa yang sama, jiwa dirinya sendiri.
Ananta terbangun di atas ranjang rumah sakit dengan balutan perban menutupi sekujur badan. Hanya bagian wajah dan telapak tangan yang terbebas dari balutan perban. Tengah malam, dia tersadar, dengan kepala pengar, ingatan masih belum pulih benar. Tidak banyak yang dia lakukan selain mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
Ananta, masih mengingat dengan jelas, bahwa waktu itu dia sedang berjalan pulang sehabis bekerja seharian. Dia berjalan sendirian di waktu malam sepanjang jalan, menuju tempat pemberhentian bus yang akan mengantarnya pulang.
Semakin lama dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakit pula kepala berdenyut seolah memintanya untuk berhenti. Dalam kesadaran yang setipis tisu, dia masih sempat mencoba untuk merasakan seluruh tubuhnya yang terasa berbeda, dengan dua tonjolan di dadanya yang menandakan dirinya seorang Wanita.
Seketika dia berteriak membangunkan pasien lain di sebelahnya, dan memancing para suster berdatangan ke ranjangnya.
“Tenang nona, tenang nona Ravenna. Angela, lekas panggil dokter jaga. Angela!”
Sejak kapan namaku Ravena? Sejak kapan diriku jadi seorang Wanita? Benaknya menolak kenyataan itu semua. Suara itu kembali berdengung di dalam kepalanya.
“Sejak kapan!” Suaranya menghilang ketika Dokter yang dipanggil suster telah datang, dan kemudian menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Obat bius, sepertinya.
Dan di ujung kesadarannya, Ananta masih sempat bertanya kepada dokter dan suster yang tadi berteriak memanggil temannya.
“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa?!”
Lalu semuanya menjadi
gelap seketika.
Ketika Ananta terbangun
kembali, dia diherankan dengan kondisi kamar yang begitu berbeda dari kamarnya.
Terlihat kamarnya begitu mewah, dengan pencahayaan yang begitu terang, selimut
yang menyelimuti tubuhnya pun begitu hangat.
Dari ujung mata, dia
melihat ada ruangan yang lampunya menyala. Dari balik lampu yang menyala,
terdengar suara shower menyala, mungkin ada seseorang yang sedang mandi. Dia
terheran dengan kondisi badannya yang tidak memakai apa-apa, hanya berbalut
selimut saja.
Kesadarannya perlahan
pulih, ketika dia mencoba bangkit dari ranjang, kakinya bisa merasakan hawa
dingin lantai yang dipijaknya dan menemukan seluruh pakaiannya berceceran di
lantai.
“Dimanakah aku?”
Sayup-sayup suara shower
air berhenti dan terganti suara orang bersenandung, suara seorang Wanita, entah
siapa dia. Ananta masih saja terpaku di atas ranjang, dengan pengar yang masih
menguasai kepalanya. Matanya melirik sekilas ke atas meja, dan melihat ada foto
seorang wanita muda yang sedang merangkul seorang pria, yang juga entah siapa.
“Eh sayang, sudah
bangun.” Ananta terkaget dengan sensasi hangat yang tiba-tiba memeluk tubuhnya.
Masih berbalut handuk,
wanita itu tiba-tiba memeluknya. Begitu hangat, begitu rapat, terasa ada
sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya, yang entah bagaimana, memancing
sensasi terbakar lainnya, yang seketika begitu mendadak.
Aroma harum menguar dari
tubuh wanita yang memeluknya, yang dia yakini sebagai istrinya, atau sebagai
kekasihnya. Entah mengapa dia tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya, selain
ingatan di malam ketika sorot cahaya menerjangnya. Jangankan istri, dia bahkan seingatnya
saja dia belum memiliki kekasih. Lalu wanita itu siapa? Kenapa dia begitu mesra
memeluknya?
Lalu dia membalas menciumnya, dan melucuti handuk si wanita, sampai
kemudian dia tidak lagi ingat apa yang terjadi setelah dia meledakkan bagian
tubuhnya di dalam tubuh wanita yang sedari tadi mendesah dan memanggil-manggil
namanya.
“Oh, Marioku sayang, kamu begitu kuat. Begitu nikmat. Ayo sayang teruskan,
lebih kuat, ah!”
Hah? Mario?! Siapa lagi Mario?! Siapa Mario?!
Rasanya masih begitu
jelas bagaimana dia menghajar kekasih dan lelaki selingkuhannya. Betapa puasnya
dia melihat selingkuhan kekasihnya babak belur berlumuran darah di atas
ranjang. Tak jauh dari ranjang, di dekat pintu kamar mandi, tergeletak tubuh
kekasihnya yang tak juga sadarkan diri. Entah masih hidup atau sudah mati, dia
tidak peduli.
Terpenting, dia sudah
tahu bahwa kekasihnya selingkuh. Dan dia sudah puas melampiaskan rasa sakit
hatinya. Berbulan-bulan dia bekerja jauh di tengah laut demi meminang
kekasihnya, rela berhari-hari digoyang samudra, eh ternyata kekasihnya lagi
sibuk digoyang sama lelaki lainnya.
Terkadang kenyataan
memang sebrengsek itu, pikirnya. Apalagi si Ravenna itu, cantik-cantik bisanya banyak banget. Muka lugu kelakuan sungguh terlalu.
"Brengsek!"
Dan, dalam perjalanan
pulang, dia sempat mampir ke bar terdekat untuk meredakan pening kepalanya.
Tiga gelas, empat gelas, dua botol, tiga botol minuman keras tandas. Semuanya
berserak di atas meja. Hari masih belum terlalu malam, namun kepala rasanya
begitu pengar. Mungkin memejamkan mata barang sejam dua jam, cukup membuatnya
tenang.
Dalam kondisi yang
setengah sadar, dia memilih untuk berkendara pulang menuju rumahnya. Namun
sayang, di tengah jalan, dia sempat kehilangan kesadaran dan tertidur sebentar.
Tanpa sadar, dia memacu mobilnya dengan kecepatan berlebih. Dan di pertigaan
dekat pemberhentian bus, dia masih ingat ada sosok lelaki yang tidak mau
menghindar meskipun sudah diklakson berulang kali.
Dia melihat tubuh lelaki
itu tertabrak dan terpental cukup jauh, sebelum mobil yang dia kendarai menjadi
lepas kendali dan menabrak bus yang sedang berhenti.
Di ujung nafas terakhirnya, dia tersenyum melihat berbagai ingatan akan betapa banyak kehidupan yang sudah dia lihat sebelum dia terbangun dan tersadar kembali. Setiap kali dia hilang kesadaran, dia akan terbangun di tempat lainnya dengan sosok yang berbeda, namun dengan jiwa yang sama, jiwa dirinya sendiri.
Sebelum menyadari bagaimana bisa semuanya terjadi?