Tugas Mata Kuliah : Ilmu Politik
Politik Kekerabatan : Studi Kasus Politik Dinasti di Indonesia
( Fandhy Achmad Romadhon / F1D010046 )
Maraknya praktik politik dinasti menunjukan akar feodalisme dan tradisi monarki di tanah air yang belum banyak berubah. Saat ini, politik dinasti tengah menjadi tren di berbagai daerah di Indonesia. Praktik semacam ini harus segera dihentikan, bukan hanya bertentangan dengan semangat hakiki demokrasi, namun praktik politik dinasti berpotensi kuat menutup peluang masyarakat untuk menjadi pemimpin. Politik Dinasti telah ada dan telah berlangsung di Indonesia sejak Bung Karno berkuasa. Meskipun Politik Dinasti tidak melanggar peraturan berdemokrasi, dalam praktiknya Politik Dinasti menahan adanya mobilisasi sosial, sebab kekuasaan hanya diasosiasikan pada golongan masyarakat tertentu saja. Politik Dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Politik Dinasti yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turun-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi Politik Dinasti ini adalah kekuasaan.
Politik dinasti (dynasty politics) secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik kekuasaan dimana anggota keluarga (sanak famili) diberi dan/atau mendapat posisi dalam struktur kekuasaan, jadi kekuasaan hanya terbagi kepada dan terdistribusi di kalangan kerabat, keluarga sedarah. Secara umum, Politik Dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu Negara.
Politik Dinasti merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Terdapat pula pengertian positif dan negatif tentang Politik Dinasti. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan Politik Dinasti bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka Politik Dinasti dapat berarti positif. Akan tetapi, bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti Politik Dinasti juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik bersangkutan. Politik Dinasti yang terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka Politik Dinasti dapat berarti negatif
Di zaman modern ini, Politik dinasti itu sudah dikatakan basi. Apalagi di Indonesia yang menganut sistem demokrasi seharusnya sudah jauh-jauh ditinggalkan, karena prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat memegang kendali melalui hak pilih yang dimilikinya. UUD 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Jadi dinasti itu lawannya dari demokrasi. Namun di era demokrasi sekarang ini, dinasti juga masih tetap berlaku meskipun sudah ada partai politik ataupun pemilihan langsung. Dinasti dewasa ini melalui partai politik, sehingga disebut sebagai politik dinasti. Politik dinasti itu bahasa lainnya adalah nepotisme. Para pejabat politik di negeri ini sedang mempraktekkan kebiasaan para raja terdahulu. Bisa dilihat bagaimana penguasa baik di pusat maupun daerah berlomba-lomba untuk mengangkat sanak keluarga, saudara, kerabat dan orang-orang dekat mereka untuk mengisi jabatan-jabatan di wilayah kekuasaannya. Kalau seperti ini apa bedanya demokrasi dengan oligarki, sama-sama dipegang oleh elite tertentu.
Namun di era demokrasi sekarang ini, dinasti juga masih tetap berlaku meskipun sudah ada partai politik ataupun pemilihan langsung. Dinasti dewasa ini melalui partai politik, sehingga disebut sebagai politik dinasti. Politik dinasti itu bahasa lainnya adalah nepotisme. Para pejabat politik di negeri ini sedang mempraktekkan kebiasaan para raja terdahulu. Bisa dilihat bagaimana penguasa baik di pusat maupun daerah berlomba-lomba untuk mengangkat sanak keluarga, saudara, kerabat dan orang-orang dekat mereka untuk mengisi jabatan-jabatan di wilayah kekuasaannya. Kalau seperti ini apa bedanya demokrasi dengan oligarki, sama-sama dipegang oleh elite tertentu.
Politik dinasti di internal partai politik sangat terlihat menonjol. Para penguasa, pendiri dan elite partai berlomba-lomba mengkaderkan anak, kerabat dan sahabatnya sebagai penerusnya. PDIP merupakan partai yang bisa dikatakan sebagai salah satu yang mengadopsi dinasti politik. Megawati sebagai ketua umum partai mengkaderkan anaknya sebagai penerusnya, Puan Maharani. Di kubu Partai Demokrat juga tidak lepas dari dinasti ini. SBY sebagai pioneer PD dan memiliki otoritas yang sangat urgen mengkaderkan anaknya, Ibas sebagai penerusnya. Saat ini, Ibas sebagai Sekjen DPP Demokrat.
Politik Dinasti yang muncul di Indonesia menunjukkan beberapa asumsi bahwa dengan berkembangnya Politik Dinasti, maka kemungkinan besar, rakyat hanya akan disuguhkan aktor-aktor politik yang itu-itu saja yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, aktor-aktor tersebut menerapkan pola kelakuan politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama. Politik dinasti adalah akal-akalan paling kasar terhadap dan di dalam demokrasi karena tujuan utamanya adalah memonopoli kekuasaan. Selain melakukan penumbuhan politik melalui keturunannya, praktik politik dinasti biasanya membentengi dirinya dengan argumen-argumen sederhana dan tampak sesuai akal sehat. Argumen utamanya bersifat pembelaan diri, bahwa anggota keluarganya adalah warga negara yang juga memiliki hak dan sudah memiliki kesiapan diri jauh-jauh hari. Argumen ini dimaksudkan untuk memberi landasan ‘alamiah’ bagi kemunculan anak, istri, atau kerabat sehingga di mata orang banyak seolah-olah mereka sama sekali tidak memiliki keterhubungan dengan si biang. Sementara di dalam lingkungan yang sempit, para pengikut serta hulubalang si biang secara perlahan tapi pasti terus menerus saling meyakinkan akan peran-peran baru dari si turunan. Hipokrasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam politik dinasti: ke luar mereka hendak terlihat berjarak, alamiah dan demokratis tapi ke dalam mereka mempersiapkan diri secara tertutup, kasar bahkan mungkin dengan paksaan oleh turunan tubuh-politiknya.[1]
Politik dinasti adalah percobaan monopoli terhadap kedaulatan rakyat yang dilakukan secara terencana seringkali secara sangat modern dan ‘rasional’. Si turunan disekolahkan, dijamin karirnya di partai-partai tempat orang tua mereka berkiprah. Dalam konteks negara seperti Indonesia dan Amerika Latin, politik dinasti semakin mendapatkan kekuatannya karena tradisionalisme dan sifat-sifat patrimonial masih melekat kuat dalam struktur masyarakat.
Gejala Politik Dinasti juga marak terjadi di dalam partai-partai politik di Indonesia. Seperti Politik Dinasti di Partai Demokrat misalnya figur utamanya adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian menempelkan kerabatnya termasuk istri dan anaknya, dalam struktur Partai seperti Edhie Baskoro sekjen partai demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009 di Indonesia, tidak hanya sampai disitu SBY juga menempatkan dan mengangkat Letjen Erwin Sudjono (ipar) sebagai kepala Staf Umum TNI, kemudian menempatkan Mayjen Pramono Edhie Wibowo (Ipar) sebagai pangkostrad pada waktu itu, dan pada awal 2011 Pramono dipromosikan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Politik dinasti di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tokoh sentral partai tersebut adalah Megawati Soekarno Putri yang aliran atau trah Bung Karno yang menunjuk kerabatnya pada waktu itu untuk posisi penting di partai tersebut, saya melihat PDI-P trah akan berlanjut ke Puan Maharani anak kandung dari Megawati Soekarno Putri, ketua umum PDI-P paling lama.
Klan dan trah Soeharto juga nampak mengisi panggung politik Orde Baru. Kristianto (2011) menyebutkan bahwa Orde Baru dengan Politik Dinasti ekonomi bisnis baru, yakni kerabat dan kroni keluarga Cendana. Politik Dinasti pada rezim Orde Baru berkembang dalam dua arena sekaligus yakni arena bisnis dan arena politik, Politik Dinasti Soeharto melalui sejumlah kroni Cendana juga ikut berperan besar membuka peluang munculnya dinasti bisnis dan politik baru di sekelilingnya.
Tradisi politik dinasti di tubuh partai politik sampai saat ini semakin menggurita. Sebagian besar parpol termasuk partai politik besar memang tak mengharamkan berlakunya politik dinasti. Di internal kepengurusan partai politik, juga mendeskripsikan kentalnya politik dinasti, Itu karena penguasa di partai politik memang mengkondisikan seperti itu. Maka tak heran ketika parpol menelurkan calon legislatif maupun calon kepala daerah yang punya hubungan kekerabatan dengan kekuasaan di parpol.
Politik dinasti juga terjadi di sejumlah parpol ada yang sudah mengarah ke gaya kepemimpinan politik monarki. Malah itu justru berlangsung di partai politik yang namanya ada label demokrasi. Politik dinasti dalam tubuh partai akan diberlakukan pula jika partai tersebut berhasil memperoleh kekuasaan politik. Terlebih, politik dinasti akan coba dikekalkan dengan memperluas penguasaan posisi dan kedudukan dalam politik agar bisa berlangsung selama mungkin. Partai-partai lain juga menjalankan praktik yang sama, hanya tidak semenonjol PD dan PDIP dalam membangun dinasti politik. Jadi di dalam partai-partai tersebut, posisi-posisi strategis banyak didistribusikan atas dasar hubungan kekeluargaan. Pengaruh kekerabatan di dalam partai politik ini bukan hanya bisa dilihat dalam posisinya di tubuh partai politik, melainkan juga kedudukannya di DPR sebagai wakil partai. Sejumlah kerabat Megawati, Amien Rais, SBY, ataupun para petinggi partai lainnya masuk menjadi anggota DPR melalui jalur partai.
Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.
Kalau seseorang elit politik maju dengan mengandalkan politik dinastinya dan dengan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot. Rakyat akan menilai ternyata bangsa ini di zaman reformasi dibangun dengan sistem nepotisme. Pembentukan politik dinasti akan menciptakan tatanan politik yang tak sehat. Walaupun menurut undang-undang hal itu tak dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai dengan etika.
Menurut Zulkieflimansyah[2], apabila politik dinasti ini diteruskan, akan muncul banyak dampak negatif. Pertama, menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari Politik Dinasti yang paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan masih keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugasnya.
Politik dinasti bahaya atau tidak merusak demokrasi, dalam penyelenggaraan negara apakah boleh-boleh saja? Politik Dinasti tidak punya implikasi buruk terhadap pembangunan sistem demokrasi. Demokrasi menjunjung nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan, apakah Politik Dinasti membahayakan demokrasi? Politik dinasti bisa saja menjadi musuh bagi demokrasi karena peran publik dalam politik dinasti tidak dianggap penting, yang paling substansial dalam demokrasi adalah keterwakilan publik, untuk memilih pemimpinnya agar memperoleh pelayanan dan kesejahteraan. Politik Dinasti hanya akan menjadi bahaya bagi politisi “negarawan” sebab demokrasi mengajarkan kebebasan untuk memilih pemimpin, dinasti hanya fokus kepada keinginan pribadi dan golongan untuk memerintah.
Konsep demokrasi yang diterima banyak orang adalah demokrasi konsensus melalui legitimasi yang disetujui banyak orang. Politik Dinasti bisa saja menghilangkan akal sehat yang menghancurkan substansi politik dan demokrasi. Namun juga tidak salah pihak yang mengatakan bahwa politik dinasti sah saja, bahkan harus dipertahankan, sebab Politik Dinasti selama ini tidak merusak demokrasi. Politik Dinasti bukan gejala yang mengkhawatirkan seperti pengalaman India, Politik Dinasti harus tetap muncul dengan syarat tetap stabil dan berkualitas, sifat baik dan buruknya Politik Dinasti tergantung kepada landasan dan filsafat politik, bagi yang memegang liberal ekstrim berfikir bahwa politik adalah inti dari hak-hak individu, Politik Dinasti diperbolehkan bahkan dipertahankan.
Politik Dinasti perlu dibatasi karena pertimbangan berikut. Pertama, Politik Dinasti, terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik oligarki yang bernuansa negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh satu keluarga, maka mekanisme checks and balances tidak akan efektif. Akibatnya, rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarga.
Kedua, Politik Dinasti mengarah pada terbentuknya kekuasaan yang absolut. Bila jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga dekat yang berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun menjabat, kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian oleh anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan Soeharto ala orde baru. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula).
Ketiga, Politik Dinasti pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil. Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pemilukada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk memenangkan pertarungan seraya menyingkirkan para kompetitornya. Apalagi, bila keluarga pun turut berbisnis ikut dalam tender-tender dalam proyek pemerintah di daerah bersangkutan, maka dapat dibayangkan dana-dana pemerintah dalam bentuk proyek mudah menjadi bancakan dengan aneka warna KKN-nya. Dana pemerintah seolah milik uang keluarga.
Keempat, Politik Dinasti dapat menutup peluang warga negara lainnya di luar keluarga incumbent untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini, bila terjadi, akan mendegradasi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu diatur agar jabatan kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus menerus oleh satu keluarga inti secara berurutan.
Kelima, pembatasan Politik Dinasti diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilu maupun Pilkada.
Politik dinasti di dalam partai politik dimungkinkan tumbuh saat cuaca demokrasi bersifat semu. Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi seperti: partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa. Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki. Politik dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes lainnya. Di titik ini, cuaca demokrasi hanya bisa dicerahkan dengan membangun politik yang berintegritas. Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk membuka selubung kepalsuan demokrasi yang selama ini dipraktikkan sekaligus penghancuran oligarki.
Politik dinasti terjadi karena terhambatnya fungsi parpol oleh sifat kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih menganut sistem parokial yang mementingkan trah dan primordialisme. Sebagai contoh, pada masyarakat jawa yang masih kental terhadap tradisi kerajaan, pemindahan kekuasaan terjadi pada lingkup keluarga yang dipercaya memiliki kemampuan memimpin yang sama dengan pendahulunya. Hal ini kurang baik, karena secara tidak langsung akan menutup kesempatan terhadap calon pemimpin di luar lingkungan keluarga tersebut. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan keluarga tertentu, sehingga kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan semakin besar.
Politik dinasti yang telah dikenal di Indonesia sejak zaman pra-kolonial (kerajaan) masih menjadi tren pada masa demokrasi saat ini. Banyak kasus mengenai politik dinasti. Hal ini disebabkan salah satunya oleh kebudayaan politik masyarakat di Indonesia yang sebagian besar menganut sistem parokial. Sistem parokial menitikberatkan pada trah dan primordialisme (kedaerahan) yang tentunya menghambat sistem demokrasi pancasila di Indonesia.
Politik dinasti terwujud sebagai akibat dari hadirnya anggota-anggota keluarga dalam ranah politik (dinasti-dinasti politik). Keterlibatan anggota-anggota keluarga dalam politik memang tidak perlu dipersalahkan sepenuhnya. Namun, jika dinasti-dinasti politik ini masuk atau menjadi kader partai dan difasilitasi sebagai pemangku kebijakan dalam struktur kekuasaan-pemerintahan tanpa skil dan kemampuan yang mumpuni atau keilmuan yang sesuai dengan bidangnya, maka hal ini tidaklah dibenarkan. Bukankankah akan hancur suatu urusan (bangsa) jika urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya?
Politik dinasti yang mengambil ruang dalam euphoria reformasi lebih mementingkan kepentingan keluarga dan atau kelompok - anggota keluarga, besan, menantu, teman, kolega - kepentingan masyarakat dan bangsa dikesampingkan. Kondisi ini memang sangatlah memprihatinkan, betapa tidak beberapa praktik politik dinasti yang dijalankan oleh dinasti politik saat ini mengakibatkan pengangguran meningkat, perilaku KKN dan penyakit sosial kian marak, eksploitasi sumber daya alam tak terkendali, penyelewengan aset negara-daerah semakin marak, kepatuhan kepada hukum rendah, sendi-sendi demokrasi kurang dihargai, dan pudarnya etika kehidupan berbangsa.[3]
Dengan dikeluarkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota. Dengan adanya otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan keluasan kepada putra daerah untuk membangun daerahnya. Otonomi daerah, partisipasi masyarakat diharapkan lebih banyak dalam membantu pembangunan. Namun dalam prakteknya ternyata otonomi daerah ini bukan seperti itu. Malah otonomi daerah ini memberikan keluasan kepada elite untuk menguasai daerah. asih banyak lagi politik dinasti yang dipraktekkan di daerah-daerah. Baik itu sebagai pimpinan tertinggi (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, dan Wali Kota/Wawali) ataupun hanya ditempatkan sebagai pimpinan SKPD. Bisa dikatakan politik dinasti sudah menjamur di daerah-daerah otonom.[4]
Politik dinasti ini sebagai cambuk bagi berlangsungnya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah yang diberikan pusat bukannya untuk dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi lebih kepada elite masyarakat. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang tersandera oleh demokrasi modern, yang disebut politik dinasti. Politik dinasti ini meresahkan banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau politik dinasti ini dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di zaman dahulu. Dimana yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari kelangan, keturunan dan keluarganya saja.
Menguatnya lapisan dinasti politik yang menyebar ke beberapa daerah ini membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Pertama, dominasi dan belenggu dinasti politik pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan fungsi sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan publik. Dalam jangka panjang dapat dipastikan akan makin mengerdilkan sistem politik karena sirkulasi elite dan kepemimpinan yang mestinya bersifat terbuka dan kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik.
Kedua, dominasi dan belenggu dinasti politik menyeret sistem politik dan parpol ke arah ”personalisasi dan privatisasi kepentingan politik”. Dalam sistem demokrasi kesejahteraan, arena politik merupakan arena terbuka. Ada potensi besar di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan dikelola oleh parpol—yang mestinya untuk kepentingan publik—pada akhirnya diprivatisasi oleh keluarga masing-masing.
Ketiga, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik ini juga akan semakin membusukkan budaya politik dan etika publik. Adanya proses perekrutan elite yang cenderung tertutup, dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik yang terus dimonopoli keluarga, juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa fase generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang perebutan aset publik.
Keempat, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik merusak efektivitas kinerja sistem politik. Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh para elite dengan mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Padahal, arena politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik.
Kian maraknya politik dinasti, karena dikuasai oleh hanya beberapa elemen dan individu ini akan melahirkan pragmatisme politik. Ironisnya Politik Dinasti itu terlahir karena unsur uang. Untuk menguatkan sebuah dinasti politik pasti butuh dana besar guna sosialisasi, menjaga image, hingga mencari dukungan dari partai agar calon dari dinastinya lolos atau diterima. Bahayanya, bibit nepotisme dari politik dinasti sangat rentan terjadi. Banyak sekali kasus di daerah, misalnya seperti kasus contoh Dinasti Politik Ratu Atut Chosiyah. Kakak kandung Atut, Ratu Tatu Chasanah menjabat Wakil Bupati Serang. Kakak tiri Atut, Tb Haerul Jaman menjabat Walikota Serang. Kakak Ipar Atut, Airin Rachmi Diany menjabat Walikota Tangerang Selatan. Kemudian, Anak tiri Atut Heryani menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang. Sementara anak kandung Atut yakni Andika Hazrumy anggota DPD RI saat ini dan nanti akan jadi caleg DPR. Adapun Hikmat Tomet merupakan suami dari Ratu Atut juga mencalonkan anggota DPR RI.
Politik dinasti itu berbahaya sebab menggunakan uang dan alat negara. Adanya otonom baru juga untuk mendorong untuk mengembangkan politik dinasti. Dan bahaya politik dinasti sekarang ialah cenderung menutup kesempatan (kader lain memimpin), kalaupun terbuka kemungkinannya kecil. Belum lagi, bahaya kekuasaan yang berlangsung dalam lingkaran dinasti ini akan melahirkan kekuasaan tanpa koreksi. Menguatnya politik dinasti di sejumlah daerah ini juga diwarnai maraknya potensi korupsi yang dilakukan para anggota keluarga dinasti yang berkuasa. Benar bahwa dinasti politik bukanlah satu-satunya faktor maraknya korupsi di daerah. Namun, makin rapatnya kuasa para dinasti di sejumlah daerah, korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN kian tak terhindarkan.
Politik dinasti harus dilawan oleh semua kalangan. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk memutus politik dinasti ini. Masyarakat harus lebih aktif untuk memastikan bahwa dimanapun negeri ini tidak terjadi monopoli, tidak terjadi konsentrasi kekuasaan. Masyarakat tidak boleh terlalu bergantung pada sekelompok orang yang ada di daerah itu. Seorang kepala daerah ataupun jabatan penting yang ada di daerah harus diisi oleh orang yang memiliki akuntabilitas, kapabilitas dan integritas. Bukan oleh mereka yang memiliki uang. Prinsip keadilan harus tetap ditegakkan.
Daftar Pustaka
Andrew, C. M. (1986). Central Government and Local Government in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
Budiardjo, M. (1998). Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiardjo, P. M. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kompas, T. L. (2004). Partai-partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program. Jakarta: Kompas.
Maddick, H. (1983). Democracy, Decentralisation, and Development. Bombay: Asian Publishing House.
Sanit, D. A. (1984). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Sastroatmodjo, S. (1995). Partisipasi Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
http://riantiarno.blogspot.com/2010/11/politik-dinasti-pemerintahan-indonesia.html diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pada pukul 09.11 WIB
Zulkieflimansyah. “Dari Politik Dinasti, Nepotisme Kekuasaan ke Budaya Partisipan”. http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=1386&page=1 diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pada pukul 09.22 WIB
http://saif85.blogspot.com/2012/10/dinasti-politik-di-indonesia.html diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pada pukul 10.00 WIB
http://dedetzelth.blogspot.com/2013/03/politik-dinasti-mewarnai-otonomi-daerah_23.html diakses pada tanggal 19 Oktober 2013 pada pukul 20:22 WIB
[1] http://www.p2d.org/index.php/kon/51-30-maret-2011/264-akal-bulus-otoritarianisme-dalam-demokrasi.html diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pada pukul 12.09 WIB.
[2] Zulkieflimansyah. “Dari Politik Dinasti, Nepotisme Kekuasaan ke Budaya Partisipan”
[3] http://sabirlaluhu.blogspot.com/2011/10/menggugat-politik-dinasti.html diakses pada tanggal 20 Oktober 2013
[4] Dedet Zelthauzallam. Politik Dinasti Mewarnai Otonomi Daerah