Rembulan tak bertepi, alam semesta kelabu, halilintar, badai, bumi bergetar. Saat-saat penuh damai yang begitu langka; dengan dahi bertumpu di lutut, lengan melingkari kepala, aku merenung, menyimak, ingin rasanya aku tak usah ada. Namun kehidupan itu nyata, mutiara bening, bintang yang berkelip, dan angin yang berputar. Aku buta. Mataku menatap dunia lain, kehidupan lain yang semakain hari semakin mengecil. Warnanya memudar, citranya mengabur. Aku masih terbenam dalam tangis kebingungan dan terisak lemah. Aku tak berdaya menghadapi ketidakmampuanku mengingat segala yang samar itu, terbakar kenestapaan, terkurung dalam diorama. Terjebak dalam Enigma. Enigma kehidupan yang semakin aku tak mengerti. Siapakah aku? Kutanyakan pada maut yang meringkuk lelah di kakiku. Maut hanya mengerang, tak memberiku jawaban dan balik bertanya "Di manakah aku?".
Di manakah aku? Aku bisa mendengar tawa, suara-suara yang mengatakan "Pasti laki-laki, Tuan. Ia bergerak-gerak. Penuh semangat hidup". Entah itu apa, siapa dan maksudnya apa? Yang pasti aku bisa mendengar suara tawa. Suara tawa yang tersamar dalam tangisan penuh luka. Katanya Penuh semangat hidup? Hmmm.. tapi kenapa tersamar oleh tangisan penuh luka? Ah mungkin begitulah hidup, terkadang kita melihat sesuatu hanya dari apa yang kita dengar, tak mau menelisik lebih jauh apa yang ada dibaliknya. Begitu pula suara tawa dan tangis yang ku dengar.