Sejatinya hari ini adalah hari pernikahanku, sejatinya,
jika aku tak memilih pergi, meninggalkan semuanya. Meninggalkan semuanya,
termasuk kedua orang tuaku yang menangis terharu tatkala tahu, aku tak pernah
datang ke pesta pernikahanku, pernikahan settingan
mereka. Sekiranya, jika dikutuk menjadi batu adalah hukuman terberat bagi
seorang anak durhaka, niscaya aku akan segera membeku, mematung jadi batu,
tepat di depan pintu pesawat, yang akan membawaku terbang pergi, meninggalkan
Indonesia.
Pulasan make up masih saja membekas di sekujur
wajahku, terlihat jelas bekas aliran air mata yang membasahi kedua pipiku, tanpa
peduli lagi menyekanya, tanpa peduli lagi untuk menghapusnya. Ku tatap lekat
awan yang berjejer dari balik jendela, yang berbaris rapi dengan sesekali
terganti lautan yang membiru. Entah datang darimana jiwa pemberontak ini. Seumur
hidupku, aku selalu menurut pada orang tuaku, soal inilah soal itulah, pilihan
pendidikan, pilihan tempat kerja, semua ditentukan oleh mereka. Namun ketika mereka
mencampuri masalah hati, maaf aku tak bisa, sekali lagi maaf aku tak bisa,
karena aku sudah punya pilihanku sendiri. Dan sialnya, mereka tak
menyetujuinya, alasannya biasa, klasik, masalah kelas sosial, kata mereka dia
itu tidak sebanding dengan keluarga kita. Sialan.
Read More