Berhasilkah Praktek Otonomi Daerah di
Indonesia ?
(Fandhy
Achmad Romadhon : F1D010046)
Otonomi secara harfiah diartikan sebagai kewenangan,
kekuasaan atau hak untuk mengatur sendiri (the power or right of
self-government). Sedangkan pengertian daerah merujuk kepada suatu wilayah
(area). Dengan demikian pengertian Otonomi Daerah adalah kewenangan atau kekuasaan suatu wilayah
untuk mengatur kepentingannya sendiri. Singkatnya pengertian Otonomi Daerah, berdasarkan (pasal 1 huruf (h)
Undang-undang (UU) No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, adalah
kewenangan kewenangan suatu daerah mengatur dan mengurus kepentingan di daerah
sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.
Penerapan otonomi daerah di
Indonesia berbarengan dengan tantangan globalisasi yang sangat luas, dimana
keduanya memerlukan bagi masyarakat untuk menyesuaikannya. Keduanya membawa
dampak dan konsekuensi. Namun, hal-hal tersebut dalam penerapan otonomi daerah
juga dikenali adanya beberapa kendala yang bisa menghambat, terutama secara
kelembagaan. Diduga akan ada beberapa kendala kelembagaan di dalam pelaksanaan
otonomi daerah (Anwar, 2000), misalnya :
a.
Belum terdapat persepsi yang seragam tentang penerapan otonomi daerah, diantara
instansi pusat maupun daerah.
b.
Tingkat kemampuan daerah sebagian masih jauh dari yang diharapkan, yang
terutama kemampuan keuangan daerah selama ini masih cenderung “tergantung” pada
pemerintahan pusat.
c.
Sumber daya aparat pemerintah daerah dan masyarakat yang masih rendah yang
belum sepenuhnya menunjang terlaksananya otonomi daerah.
Selain itu ada pula dampak-dampak
akibat dari penerapan Otonomi Daerah (Ida, 2000) antara lain yakni :
•
Eksistensi PEMDA tak mustahil akan berkembang menjadi raja-raja kecil, dengan berbagai
kewenangannya, sementara masyarakat sendiri masih terbiasa dengan pola lama
yang tak mau peduli dengan perilaku penyimpangan birokrasi.
•
Potensi sumberdaya alam dari setiap daerah yang berbeda akan berimplikasikan
pada masalah pembiayaan yang bersumber dari pendapatan daerah.
•
Operasionalisasi program pembangunan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,
karena masih lemahnya daerah akan memudahkan pemerintahan pusat untuk melakukan
tekanan-tekanan psikologis, sehingga akan terus memungkinkan berlangsungnya
praktek pola birokrasi lama seperti adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan
adanya Otonomi Daerah ini adalah tercapainya tujuan politik dan tujuan
administrasi. Tujan politik dalam hal ini adalah meletakkan pemda sebagai poros
utama dalam mendistribusikan pendidikan politik kepada masyarakat lokal serta
berkontribusi dalam pembentukkan civil
society di tingkat lokal. Selain itu, tujuan administrasi diadakannya
Otonomi Daerah adalah dengan meletakkan pemda sebagai unit pemerintahan lokal
yang memiliki fungsi dalam melayani masyarakat seperti dalam pembuatan KTP
secara akuntabel, efektif, efisien, dan ekonomis. Namun dalam prakteknya masih
banyak kasus dimana pemda seolah tidak mampu melayani masyarakat, seperti
contoh kasus yang sedang merebak adalah banyaknya kesulitan masyarakat dalam
proses pembuatan e-KTP (KTP
Elektronik) dan juga masih lambannya kinerja pemda.
Dengan semangat otonomi daerah dalam mengelola
tata pemerintahan dan memberikan
pelayanan publik menjadi tuntutan utama. Untuk itu diperlukan parameter penilai
yang terdiri dari :
1.
Kehidupan Ekonomi,
2.
Layanan Publik,
3.
Performa Politik Lokal,
Dengan adanya otonomi daerah, setiap
daerah mempunyai ruang yang cukup untuk mendesain kebijakan dan program yang
sejalan dengan kebutuhan masyarakat (citizen’s
need) yang bermuara pada kemajuan daerah. Pencapaian keberhasilan ini
diperlukan sebuah inovasi kreativitas daerah. Beberapa kategori tentang kondisi
dan tantangan yang menyebabkan lahirnya inovasi yaitu :
-
Inovasi lahir dari inisiatif daerah atas potensi wilayah yang dimiliki dan
kekuatan social capital masyarakat.
-
Inovasi berawal dari permasalahan daerah seperti tingginya angka kemiskinan,
lemahnya akses modal usaha kecil, bencana alam, mahalnya biaya pendidikan dan
kondisi lainnya.
-
Inovasi di dorong oleh pelaksanaan kebijakan dan program pusat/provinsi.
Berdasarkan
identifikasi inisiator utama, pengambil keputusan sekaligus implementator dari inovasi
tersebut mengambarkan keadaan sebagai berikut :
-
Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD) mendominasi inisiator inovasi kemudian
diikuti oleh kepala daerah.
-
Namun pengambilan keputusan utama dari inovasi berada di kepala daerah, artinya
siapapun yang memberikan pemikiran inovasi, keputusan tetap berada ditangan
kepala daerah.
-
Sedangkan implementator inovasi utama di lapangan berada ditangan SKPD.
Melihat
gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah jadi faktor dominan pembuat
kebijakan inovasi dan berarti secara langsung berperan sebagai kunci sukses pelaksanaan
otonomi daerah. Mengingat dominanya peran kepala daerah, maka sebuah jaminan
akan kontinuitas implementasi begitu diperlukan. Alasanya karena pergantian kepala
daerah sangat memungkinkan terjadinya perubahan strategi dan kebijakan pembangunan
daerah.
Salah satu yang paling kongkrit
untuk menjaga keberlanjutan inovasi adalah melalui pelembagaan inovasi atau
diwujudkan dalam pembuatan peraturan atau ketetapan hukum kepala daerah atas
inovasi seperti Perda, SK Kepala Daerah/Camat dan peraturan kepala daerah.
Namun dalam prakteknya muncul berbagai macam tantangan yang mengahadang, antara
lain yaitu :
a.
Terciptanya Kesenjangan Fiskal; yaitu
terserapnya potensi daerah ke pemerintah pusat, dimana daerah hanya mendapatkan
sebagian kecil.
b.
Adanya Kesenjangan Moneter; yaitu
terserapnya dana masyarakat melalui perbankan di daerah. Namun hanya sedikit
dana tabungan masyarakat di daerah disalurkan kembali dalam bentuk kredit bagi
masyarakat setempat.
c.
Adanya Kesenjangan Konsumerisme; yaitu
tersingkirnya pelaku usaha daerah dan pasar tradisional akibat terserapnya
perekonomian daerah melalui budaya belanja masyarakat kepada pasar modern.
d.
Kesenjangan kewenangan; yaitu
tereduksinya kewenangan pemerintah daerah oleh regulasi perundangan lain
Praktek Otonomi Daerah di Indonesia
akan dikatakan berhasil apabila adanya kemajuan-kemajuan yang dapat diukur
dengan parameter kehidupna politik, kehidupan ekonomi, dan pelayanan publik. Kemajuan
daerah dapat diukur dari parameter kehidupan ekonomi, layanan publik dan performa
politik. Namun untuk mencapai suatu kemajuan daerah diperlukan suatu inovasi
yang berkelanjutan dan didukung oleh semua pihak. Selain itu juga dibutuhkan
adanya suatu proses inovasi dari pencetus inisiator dan keputusan serta
pelaksana sangat di dominasi oleh Kepala Daerah. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah
benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap
lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara
terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak
disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi
dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
Suatu daerah akan dikatakan berhasil dalam praktek otonomi daerah dapat
dilihat dari parameter berikut ini , antara lain :
1.
Ekonomi, Kemampuan
Pemda untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
2.
Layanan Publik,
Layanan
publik yang baik (pendidikan, kesehatan, adm kependudukan)
3. Performa Politik, Kesinambungan,
sinkronisasi antar lembaga politik, keharmonisan demi kelancaran pemerintahan
daerah
Referensi
Ida, Laode. 2005. “Permasalahan
Pemekaran Daerah di Indonesia”, Media Indonesia, Jakarta, 22 Maret 2005.
Ida, Laode, 2000. “Otonomi Daerah dan Demokrasi Lokal”.
Lokakarya Membangun Otonomi Daerah. Klaten : Persepsi, 6 Mei 2000.
Budhiardjo, M. (1982). Dasar-dasar Ilmu Politk.
Jakarta: Gramedia.
Andrew, C. M. (1986). Central Government and Local
Government in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
`Maddick, H. (1983). Democracy, Decentralisation,
and Development. Bombay: Asian Publishing House.
Undang-Undang
Dasar 1945.
Undang-Undang
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No.25 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bandung
Penerbit Kuraiko Pratama.
UU Republik Indonesia No. 22 tahun 1999
tentang “Pemerintahan Daerah.”
Undang-Undang No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah (www.indonesia.go.id)
0 comments:
Post a Comment