Nama : Fandhy
Achmad Romadhon
NIM : F1D010046
1. Review Buku Banyumas
: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Karya Budiono Herusutoto
Penelitian terhadap masa lalu
Banyumas merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh para peneliti sebagai
bentuk ketertarikan para Sejarawan Kontemporer Banyumas terhadap sejarah
Banyumas sebagai bentuk konstruksi sebuah model historiografi Banyumas yang didorong
oleh pesatnya perkembangan pemikiran postmodernisme yang membawa wacana baru
dalam penulisan kembali sejarah. Historiografi baru ini dikembangkan oleh
posmodernisme sebagai bentuk kritik terhadap pemikiran-pemikiran modernisme
yang dianggap terlalu mendominasi dan mereduksi sejarah. Menurut Stephen
Greenbalt, historisme lama dianggap bersifat monologis, hanya tertarik untuk
menemukan visi politik tunggal, percaya bahwa sejarah bukan hasil interpretasi
sejarawan, dan juga dianggap sebagai rekayasa kepentingan kelompok tertentu.
Dengan munculnya Historisme baru
telah mendorong munculnya sebuah tradisi historiografi yang demokratis, yang
member kebebasan kepada sejarawan untuk merekonstruksi fakta masa lalu melalui
imajinasi metodologisnya untuk menghasilkan beragam narasi sejarah sekaligus
merekonstruksinya dengan cara menafsirkan kembali secara sistematis dan
imajinatif dari data-data tersimpan yang berupa manuskrip-manuskrip yang banyak
tersimpan di perpustakaan, museum-museum, dan koleksi silsilah para elit banyumas serta karya sastra rakyat baik berupa
cerita babad, legenda, maupun dongeng-dongeng yang ditemukan di wilayah
banyumas hingga saat ini.
Historiografi Perjuangan elit
banyumas disajikan dari hasil analisis dan abstraksi dari bahan yang dihimpun
baik dari pustaka maupun melalui observasi lapangan. Penelitian pustaka
bertitik pola pada data-data pustaka yang diperoleh. Penelitian observasi
lapangan lebih bertitik tolak terhadap pengamatan dan observasi yang sistematis
dan penghayatan langsung terhadap wilayah bekas keresidenan Banyumas dan
sekitarnya.
Wong banyumas atau lebih tepatnya
dikatakan sebagai komunitas jawa banyumasan memang dikenal berbeda dengan
komunitas jawa yang lainnya, seperti komunitas solo, wong yogya, wong semarang,
dan sebagainya. Perbedaan yang utama dari komunitas yang lainnya adalah dalam
hal logat atau dialek bahasa jawa-nya, yang oleh komunitas jawa lainnya sering
disebut dengan istilah bahasa jawa ngapak.
Disebut ngapak karena dalam
pengucapan vokal a dan o, konsonan b, d, k, g, h, y, l dan w sangat mantap, tegas,
lugas, dan tidak mengambang seperti bahasa jawa baku yang diajarkan. Bahasa
jawa baku itu sendiri merupakan perkembangan tahap terakhir dari bahasa jawa
dan konon bahasa ngapak merupakan
bahasa jawa murni dan menjadi tahap awal atau sering disebut tahap bahasa jawadwipa.
Bahasa jawa telah membentuk
kebudayaan jawa dimana dalam kebudayaan itu didefinisikan sebagai ukuran dalam
hal hidup dan tingkah laku manusia yang ada di dalamnya mencakup tentang
hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya, lingkungannya, dan
masyarakatnya. Wong banyumas yang kini tetap menggunakan logat bahasa jawadwipa
sudah dapat ditebak akan kebudayaan yang mereka miliki. Karena lugunya bahasa
jawa ngapak maka karakter wong banyumasan sendiri pun juga lugu. Karakter suatu
komunitas berfungsi untuk membedakan kepribadian dan sifat yang dimiliki antara
yang satu dengan yang lainnya. Menurut Ki Sarino Mangunpranoto, keluhuran
sifat-sifat hidup melahirkan adanya rasa
budaya manusia.
Adanya perubahan paradigma pemikiran
di kalangan oemikiran posmodernisme barat sesungguhnya bukanlah hal yang
mengejutkan bagi para ilmuwan jawa yang telah memahami filsafat jawa dengan
kearifan lokalnya, aja kagetan, aja
gumunan, lan aja dumeh (jangan mudah terkejut, jangan mudah heran, dan
jangan mentang-mentang bisa). Apa yang dikemukakan kalangan pemikir
posmodernisme itu dengan mudah dapat dipahami karena mereka seolah menyusun
berdasarkan apa yang mereka miliki secara tradisional oleh pemikir timur yang
imajinatif, namun tidak terstruktur dalam metodologi, apalagi sampai masyarakat
jawa biasa memakai adilogika yang menggunakan lambang-lambang bahasa lokal.
Dalam pemikiran kontemporer filsuf Spanyol, Ortega Y Gasset mengembangkan
pemikiran tentang personal dengan keterlibatannya dalam hidup dan konsep
generasi sebagai metode sejarah, mengemukakan bahwa manusia mau tidak mau harus
mempersoalkan dirinya, mempersoalkan apa itu menjadi manusia dan juga
lingkungan yang mengitarinya. Hakikat hidupnya adalah berada dalam waktu
tertentu dimana manusia menemukan dirinya ada. Beruntunglah masyarakat banyumas
yang kini memiliki sejarawan-sejarawan kontemporer yang menyadari akan adanya
pikiran zaman, semangat zaman, dan kekuatan zaman yang telah berkembang sejak zaman
nenek moyangnya dulu. Dengan sekian naskah babad, silsilah dan karya sastra
yang telah diwariska secara turun temurun dengan disertai ketajaman penafsiran
mereka maka sejarah banyumas sejak abad
ke-15 dapat ditulis kembali menjadi sebuah buku sejarah baru yang bisa
dibaca oleh generasi-generasi muda banyumas masa kini.
Untuk mempermudah dan memahami
bagaimana sejarah banyumas disusun maka dalam penyusunan sejarah banyumas yang
telah ditulis disajikan dalam beberapa penyajian dan dikelompokan dalam bentuk
yang lebih sistematis dibagi menjadi empat tahap antara lain :
1.
Tahap Pertama : Zaman Hindu,
kaitannya dengan sejarah Kerajaan Pajajaran, Kadipaten Pasirluhur, dan Kerajaan
Majapahit.
2.
Tahap Kedua : Zaman Islam,
kaitannya dengan Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang.
3.
Tahap Ketiga : Zaman
Penjajahan Kompeni, kaitannya dengan Kerajaan Mataram, Surakarta, sampai
Yogyakarta.
4.
Tahap Keempat : Zaman
Pemerintahan Penjajahan Kolonial Belanda, kaitannya dengan perkembangan status
pemerintahan di wilayah banyumas.
Potret
Wong Banyumas : Bahasa, Wayak, Seni, dan Budaya
Bahasa
Ngapak itu Bahasa Jawa Asli
Bahasa
Ngapak adalah istilah untuk bahasa jawa yang digunakan oleh masyarakat banyumas
atau komunitas wong banyumasan yang konon merupakan bahasa jawa asli (jawadwipa). Hal ini diperkuat dengan
pendapat S. Padmosoekotjo dalam bukunya yang berjudul Memetri Basa Jawi Jilid I berpendapat bahwa bahasa jawa asli (Jawadwipa) sudah ada jauh sebelum Aji
Saka menciptakan aksara jawa. Saat itu, bahasa lisan yang digunakan masih
berbentuk ngoko lugu, seperti bahasa
banyumasan sekarang ini.
Penegasan
ini menunjukkan bahwa walaupun Aji Saka berhasil melaksanakan reformasi
kebudayaan di kerajaan Jawa Medangkamulan, reformasi yang dilaksanakan hanya
mencakup : 1) melengserkan raja Jawa asli Prabu Dewatacengkar, 2)
memperkenalkan tata cara adat kraton, 3) menyebarkan agama hindu, 4)
menciptakan aksara jawa, 5) merevisi kalender asli jawa, 6) memperkenalkan
bahasa sansekerta. Meskipun demikian, Aji Saka belum berhasil menghindukan
bahasa jawa asli (Jawadwipa) menjadi
bahasa sansekerta yang ditulis dengan huruf palawa.
Sebutan
bahasa ngoko itu sendiri berasal dari pemakaian jenis kata ganti orang kedua,
yaitu kata “Ko-Kowe-Koe” (kamu/engkau). Kata “Ko” dalam bahasa jawa baku yang
kini diajarkan dalam pendidikan formal hanya digunakan dalam pembicaraan antar
orang yang berusia sebaya, teman akrab, atau orang yang lebih tua kepada orang
yang lebih muda. Secara etimologis kata “ngoko” sendiri (negesi tembung) berasal dari “wod” (akar kata) “ko” yang kemudian
dirangkap menjadi “koko” dengan awalan “ang” dan pengucapan menjadi “angoko”
dan akhirnya menjadi “ngoko”. Pemberian awalan “ang” tersebut dimaksudkan untuk
membentuknya menjadi tembung lingga (kata
dasar/asal kata), dan bukan untuk merubahnya membentuk kata kerja. Kata dasar
lain dalam bahasa jawa seperti ‘ki’, ‘ka’ dan ‘ku’ kini bisa diubah menjadi
kata dasar dengan cara menambahkan ‘e’
di belakangnya, ‘ki+e=kie’ dan sebagainya.
Komuitas
Banyumasan menyatakan bahwa bahasanya itu (Bahasa Ngapak) (Ngoko Lugu) adalah Luged,
buket (kental), dan mbleketaket (sedap diucapkan dan
didengar). Sebaliknya, mereka menganggap bahwa mendengar bahasa bandhek itu ampang (kurang bobot,
ringan, encer, dan cair).
Asal-usul Bahasa Jawa Dialek
Bandhekan
Kata asal
“bandhek” adalah “gandhek”. Gandhek adalah nama pangkat bentara (pendamping raja) yang setiap saat bertugas mendampingi
raja. Seperti dalam kisah Sejarah
Terbentuknya Aksara Jawa yang bercerita tentang sepasang abdi setia Dora dan Sembada yang pada akhir hayatnya justru mengilhami Aji Saka untuk
menuliskan aksara jawa dalam bentuk seloka: hana
caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga (ada dua abdi setia,
terjadi peristiwa pertengkaran, sama-sama sakti sehingga keduanya pun mati).
Bahasa bandhek atau gandhek dalam gaya pengucapan bunyi atau lagu bicaranya (intonasi)
hampir-hampir bibirnya tidak terbuka karena harus dibicarakan dengan suara
perlahan dan berbisik kepada raja maupun kepada sesama gandhek. Tidak hanya dalam pengucapan vokal ‘a’ saja,
tetapi hampir juga seluruh huruf pun lalu didengarkan dengan suara yang lebih
ringan dan lemah, seperti dalam pengucapan huruf-huruf yang mestinya diucapkan
mantap, seperti d, g, h, j, k, o, dan w. kenyataan ini terus berlangsung
sebagai peristiwa keseharian karena tugas gandhek yang selalu mendampingi raja.
Dan rupanya penggunaan bahasa jawa dialek bandhek itu justru semakin menarik
minat Sultan Hadiwijaya, yang semasa mudanya terkenal dengan nama Jaka Tingkir,
sampai akhirnya dia member penilaian bahwa logat bahasa para gandhek itu jauh
lebih halus, lebih sopan, dan lebih dapat menahan diri walaupun situasi dan
perasaan sedang emosional. Dan kemudian bahasa bandhek atau gandhek menjadi
bahsa resmi Kerajaan Pajang.
Ditafsirkan
kemudian penggunaan bahasa bandhek ini terus berlanjut sampai jaman Kerajaan
Demak saat dipimpin Sultan Trenggono. Penggunaan bahasa bandhek ini telah
terekam dan menarik perhatian para walisanga ketika mendampingi para raja
demak, termasuk dalam rangka menyusun bahasa wayang baru yang digunakan sebagai
alat untuk berdakwah dan menyebarkan agama islam.
Watak Wong Banyumasan
1. Apakah Watak itu?
Kawruh
jawa telah membicarakan masalah watak manusia sejak dulu, yang menjelaskan
bahwa watak manusia adalah kebiasaan atau apa pun umumnya harus dilakukan oleh
seseorang; dan suatu sikap harus berasal orang itu sendiri ketika dihadapkan
oada suatu pilihan yang menuntut keputusan dalam waktu yang relative singkat.
2. Watak Wong Banyumasan
Pada umumnya watak wong banyumasan
adalah :
a.
Cowag
(berbicara
dengan suara keras)
b.
Mbloak
(suka
ngomong bergaya serius, cablaka, dan humoris)
c.
Dablongan
atau
Ndablong (seenaknya sendiri kalau
mengkritik orang atau dengan kelakar yang berlebihan)
d.
Ajiban,
wong
banyumas utara (pemalang, tegal, dan brebes) sering mengucapkan ajii..ibb!
dengan spontanitas bila memperoleh suatu kenikmatan.
e.
Ndabos
yang
khas Gombongan, yaitu saling berebut bicara/mengeluarkan ide.
f.
Mbanyol
(memba-memba sing konyol) suka meniru-nirukan perbuatan
konyol atau suka bercanda ria, dan saling menyindir lewat gurauan.
g.
Kluyuran
atau
Ngluyur (suka melancong dan sekedar
mengamati situasi dan pandangan lain di luar rumah untuk menghilangkan rasa
bosan).
h.
Ndopok
(suak
ngomong-ngomong/ngobrol/mengeluarkan pendapat dan menyampaikan gagasan yang
jika hanya dipendam di hati hanya akan menimbulkan rasa stress).
Bawor, Simbol Karakter Wong Banyumas
1. Siapakah Bawor itu?
Bawor adalah nama salah satu tokoh
punakawan dalam wayang purwa daya pendalangan banyumasan dan gaya pendalangan
pasundan. Dalam pakem pendalangan Layang
Purwacarita diceritakan bahwa tokoh bawor ini asal-usulnya bukan anak dari
keturunan Semar, melainkan hasil ciptaan dari baying-bayang Semar. Bawor
diciptakan dari baying-bayang semar oleh Sang Hyang Tunggal untuk menjadi teman
seperjalanan menuju tempat tugas Semar di ngarcapada.
Semar dan Togog diusir dari ngarcapada oleh
Sang Hyang Tunggal karena keduanya telah bertingkah laku cidra (tercela) dimana mereka sebagai anak para dewa berkelahi
saling adu kesaktian hanya untuk menuruti nafsu angkara yang mendahului
kehendak jaman. Hal ini melanggar wewalering
jawata atau tatanan alam kedewaan sehingga mereka berdua harus hidup di
alam manusia sebagai manusia biasa.
Sintren:
Seni Pertunjukan Rakyat Perbatasan Jawa-Sunda
1. Apa itu Sintren ?
Sintren adalah
sebuah bentuk seni pertunjukan rakyat di wilyah Jawa Tengah bagian barat
(Cilacap dan Brebes) dan Jawa Barat bagian timur (Cirebon dan Ciamis). Kata
Sintren sendiri dalam Bausastra
Jawa-Indonesia karya S. Prawiroatmojo (1957), dimaknai sebagai “sejenis
sulapan, nama pertunjukan” pemaknaan itu bahkan memumbuhkan pertanyaan di
kalangan para penonton. Pemaknaan kata “Sintren” yang menyesatkan orang itu
harus diganti dengan pemaknaan yang benar. Sintren adalah seni pertunjukan
rakyat Jawa-Sunda, seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis
tradisional tertentu yang mencengangkan.
a.
Pertunjukan
Sintren
Pertunjukan
sintren biasanya dilaksanakan pada malam hari, saat bulan purnama di musim
kemarau. Sampai tahun 1970, ketika listrik belum masuk desa, alat penerangannya
adalah lampu ting (lentera) dan obor
bambu. Pertunjukan digelar di atas tanah bertikar mendhong (batang rumput rawa), dan dikelilingi lima buah obor bambu
setinggi satu setengah meter yang ditancapkan di atas tanah di tengah arena
pertunjukan, dipasang sebuah kurungan ayam jago yang terbuat dari bambu. Lokasi
penontonnya disiapkan untuk mengitari arena pertunjukan. Goyangan nyala obor
yang tertiup angin menjadikan cahaya di arena pentas terlihat berbinar-binar,
bergelombang-gelombang, berubah-ubah arah sesuai mata angin. Lentera dipasang
mengelilingi tempat duduk penonton yang lesehan, penonton datang secara
bergelombang, dan menempatkan diri mengelilingi arena, disambut dengan nyanyian
lagu daerah yang dinyanyikan oleh anak-anak SD yang ada di sekitar arena
pertunjukan.
Tarian sintren
sendiri terdiri dari empat babak/tahap. Diantara masing-masing babak, sang pawing
sintren beristirahat untuk minum air putih, makan kembang telon, merokok siong (rokok khas jaman dahulu yang
memiliki gambar penari srimpi di bungkusnya) yang disulut sendiri dengan
pemantik api buka-tutup model kuno. Semuanya dilakukan dengan
berlenggak-lenggok sambil duduk bersimpuh. Tegesan
(sisa) dua per tiga rokok Siong
juga berpindah ke bibir sang bodor, yang kemudian bergaya menghisap dengan
nikmatnya bekas bibir sang sintren. Pertunjukan sintren sendiri berakhir pada
pukul sebelas malam.
Selain
pertunjukan sintren sendiri ada banyak macam seni pertunjukan asli wilayah
perbatasan, khususnya yang ada di wilayah banyumas dan sekitarnya, antara lain
: Lengger, Jemblung Banyumasan, Begalan, dan tembang-tembang dolanan anak-anak
daerah.
Referensi
Herusatoto, B. (2008). Banyumas: Sejarah, Budaya,
Bahasa, dan Watak. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.
0 comments:
Post a Comment