Tumpukan buku semakin berdebu seiring berjalannya
waktu. Di pojokan sebuah toko buku, terselip sebuah cerita masa lalu. Cerita
tentang sepasang kekasih yang saling merindu. Merindu ingin bertemu, merindu
ingin bertatap muka, tersenyum lalu tersipu malu. Sepasang kekasih yang hanya
bisa merindu tanpa bisa bersatu. Cinta lama
kadang begitu indah ketika mengenangnya, begitulah kalimat penutup dalam
sebuah cerpen di majalah edisi hari minggu.
*Lanjutan dari tulisan lalu yang berjudul Senja di Bulan Juni*
Seorang lelaki muda masih saja berdiam diri menatap
satu persatu buku yang menumpuk. Bukan karena bingung memilih buku mana yang
harus dia beli, atau memilih buku mana yang dia harus baca, tetapi karena
bingung entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Dia hanya menatap, menatap
dan menatap tumpukan buku satu persatu. Melihat sampulnya, membaca judulnya,
tanpa pernah berniat untuk membelinya.
Kosong, bingung, ragu, dan butuh sesuatu, hanya itu
yang dia ingat sebelum terdengar suara yang menyadarkannya. “Permisi Mas, tolong ambilkan buku yang itu
tuh.” Sembari tangan mungilnya menunjuk salah satu bukunya Jostein Gaarder,
Dunia Sophie. Secara spontan,
tangannya langsung mengambil buku itu, dengan tubuh jangkungnya, mengambil buku
teratas bukan hal sulit bagi dirinya. Hmmm...
Dunia Sophie, buku tebal yang aku pun belum selesai membacanya, begitu
pikirnya. “Terima kasih, mas.”
Balasnya setelah dia menerima bukunya. Tanpa jawab, dia hanya tersenyum, ketika
dia menoleh dan mendapati sosok wanita yang tersenyum simpul kepadanya. Begitu
cantik, begitu menawan. Dan dia pun berlalu begitu saja bagai pesawat tempur.
Ah sial, kenapa mesti speechless! Senyumannya
mengalihkan semuanya. Eh tunggu rasanya wajah dia terasa familiar? Ah iya, dia wanita yang di Kafe Senja! Rima Dunarsih!
Ketika dia sadar, wanita itu sudah beranjak pergi
dan duduk di satu kursi baca tak jauh dari tempatnya berdiam diri. Ya, keunikan
toko buku itu adalah disediakannya kursi dan meja tempat pengunjung membaca
buku-buku yang ingin dibelinya. Terasa seperti perpustakaan. Seperti halnya
perpustakaan, tak banyak pengunjung yang datang. Terasa begitu lengang.
Kamu berpegang
pada sesuatu yang penting di sini. Aku dapat menceritakan padamu tentang suatu
kisah mengenai hal yang sama. (Hal
363) Maukah kamu mendengarnya? Hanya itu
yang aku ucapkan ketika duduk di sebelahnya. Dia menoleh, bukannya menjawab
pertanyaanku dia malah berkata “Bukan
pertanyaan bodoh jika kamu tak dapat menjawabnya. (hal 325) Tapi bagaimana kau akan mulai bertanya,
jika hati dan mulut ragu untuk bertanya “Siapakah kamu sebenarnya?”. Lalu aku
membalasnya, Kita bertemu (lagi) satu sama
lain di sini, saling menyapa, dan berkelana (mengulang waktu) bersama untuk
sejenak. (Hal 306) Mengingat waktu,
dimana kita saling berebut kursi di Kafe Senja. Dia tak menjawab, sejenak
kemudian tatapan tajamnya berubah melembut seperti ketika meminta tolong untuk
mengambilkannya buku.
Ah iya, kamu
Mahmud kan? Mahmud Arabika , lelaki perebut kursi orang?! haha Apa kabar mud? Dia tertawa ketika mengingat kembali tragedi
rebutan kursi di Kafe Senja. Sembari melanjutkan tawanya, dia memukul pundakku
berulang kali. Seperti ketemu teman lama, gunung es di antara kita seakan
mencair begitu saja.
“Syukurlah kamu
masih ingat aku, rim. Kamu makan apa sih? Tanganmu mungil, tapi kok pukulanmu
kenceng bener?” Sembari mengelus pundakku yang seakan rontok dipukul
berulang kali. Dia tak menjawab, hanya nada tertawa yang semakin keras saja.
Seketika, pengunjung yang ada menoleh ke arah meja kita. Dengan menatap sinis, mereka
seolah berkata “Tolong panggilkan Rumah
Sakit Jiwa terdekat. Ada pasiennya yang kabur!” Dia tersadar, dengan muka
merah merona dia tersenyum malu-malu, hehe
maaf maaf.
Berjam-jam kami habiskan saling bercakap kata,
saling bertukar cerita, dan terkadang saling melempar kutipan kata-kata penulis
idola. Dia bercerita tentang tugas kuliah yang semakin lama semakin tiada
habisnya. Tugas kuliah itu seperti kasih sayang seorang ibu, tiada habisnya,
begitulah katanya. Dia pun tak mengira bahwa aku tahu banyak tentang buku Dunia
Sophie-nya Jostein Gaarder (Padahal sih
aku baru baca sebagian saja) dan memiliki hobi membaca juga. Dia tetap
tertawa, sembari sesekali memukul pundakku. Ah selain tertawanya seperti orang
gila, ternyata dia lucu juga.
Dia bercerita tentang banyak hal, dan aku lebih
banyak mendengar, sesekali menimpalinya dengan balasan yang memancing dia
meledek den menyerang balik habis-habisan. Sejenak, aku merasa tahu banyak tentang
dia, selain punya senyuman yang mempesona, dia juga ternyata memiliki hobi
membaca dan bercerita, jangan lupa ketawanya dia itu seperti orang gila. Ah tapi
aku suka.
Seperti halnya membaca sebuah buku, kau tak akan
pernah tahu seberapa cepat waktu berlalu ketika kau sibuk membolak-balikkan
tiap halaman buku. Waktu, setiap manusia memiliki waktu, dengan ukuran yang
sama, namun dengan rasa yang berbeda. Bersamanya, waktu terasa begitu cepat
berlalu. Sekiranya di toko buku itu ada rak yang menjual tumpukkan waktu,
niscaya aku akan membeli semuanya.
Seperti halnya membaca buku, kau takkan pernah tahu apa
yang akan terjadi pada halaman berikutnya. Seketika
kita saling kehilangan kata dan lenyap dengan cara yang sama mendadaknya.
(Hal 306) Jika, Hidup adalah kisah yang
dituturkan oleh seorang bodoh, dan tidak bermakna apa-apa. (hal 358) Maka
sekiranya, akulah orang bodoh paling beruntung di dunia, karena bisa bertukar
kata, dan bisa saling bertatap mata dengannya. Dia hanya tertawa ketika aku
mengucapkannya. Dia lalu berdiri, ingin beranjak pergi menuju kasir untuk
membayar buku yang dia beli. Sebelum pergi, dia menyelipkan sesuatu pada
tanganku. Selembar kertas, terlipat menjadi empat. Sembari tersenyum, dia pamit
undur diri.
Selembar kertas yang terlipat menjadi empat, di
dalamnya tertulis sebaris kalimat yang akan selalu aku ingat. Terdiri dari
sebaris kalimat, dan sebaris angka dengan akhiran angka empat:
“Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Segala sesuatu terjadi karena ada sebabnya. Maka tidak ada gunanya mengeluh jika sudah datang mengetuk pintu. (Hal 215) Dan, jika kau tak tahu pintu rumahku, tanyakan saja kepada barisan angka-angka itu.” 085xxxxxxx44. Rima.
Catatan: Sedikit
banyak, ada beberapa baris kutipan yang aku kutip dari buku Dunia Sophie karya
Jostein Gaarder.
nice
ReplyDeletekreatif ini artikelnya, bagus ...ajib...
ReplyDeletewww.aqiqahberkah.com
Gilak :) manis banget mas kalimat-kalimatnya :D ngaliiir :3 hihihi kereeen :D
ReplyDeletehehehe terima kasih feb :D
Deleteqoutesnya keren-keren euyyyyy :D
ReplyDeletemakasih :D
Deleteiya tuh dari bukunya Jostein Gaarder , dunia sophie
Ini beneran ada bukunya? Kalo ada pengen beli ah. Dari kutipannya udah bagus-bagus banget. :))
ReplyDeleteada rob haha di gramedia ada tuh :D
DeleteSuka pas bagian, " setiap manusia memiliki waktu, dengan ukuran yang sama, namun dengan rasa yang berbeda. " :))
ReplyDeleteTerasa pas banget bang.
Pertanyaanku sama kayak Robby bang, bukunya beneran ada bang? Quotesnya ntaps semua. :)
hhaha terima kasih lan, iya ada kok bukunya di gramedia juga banyak :D
DeleteNtar aku kirimin deh fotonya via twitter :D
Nggak tahan bacaannya. Itu bukukan tebel. Dunia Anna itu jilid duanya kan?
ReplyDeleteHmm.enak, ya, kalau ada kenalan perempuan gitu. Belum minta nomer sudah dikasih duluan. Hahahaha.
Lanjutan fiksinya kapan lagi nih?
hahaha iya tuh dar, adalagi dunia cecilia, yang juga hampir sama dengan sejenis dunia sophie.
Deletehaha baca lagi deh dar, itukan si rima dan si mahmud udah kenal, bedanya belum kenalan baik-baik hahaha
Masih dalam proses dar, doakan saja :D