Pada akhirnya,
yang tersisa dari seorang manusia adalah kenangan tentang dirinya, seperti
genangan air yang tercipta tatkala hujan lebat telah mereda.
Jika pada akhirnya, aku hanya akan mengalami
berbagai macam kepahitan dan perpisahan penuh dilema, niscaya ketika akan
lahir, aku akan meminta untuk tidak dilahirkan ke dunia.
Di awali sebuah lentera, kegelapan malam sedikit
tercerahkan. Dimulai dari setitik cahaya yang perlahan mendekati tepian kota,
menjadikannya terang dan jelas, bahwa titik cahaya itu adalah sebuah kereta
kuda. Sebuah kereta kuda yang mendekati sebuah rumah di tepian kota, yang oleh
orang sekitar dikenal sebagai satu-satunya dokter persalinan yang tersisa.
Waktu itu hujan datang begitu lebat, begitu deras, deras
suaranya cukup untuk menyamarkan suara kaki kuda yang sedang berlari tergesa. Di
ujung cakrawala, nampak sesekali tercipta kerlap kerlip cahaya, yang sesekali
terdengar bunyi dentuman suara guntur bergemuruh. Ya, itulah Kota Verdun. Kota
yang kelak akan menjadi saksi terjadinya salah satu pertempuran paling berdarah
selama Perang Dunia Pertama.
Dari kejauhan, rumah yang dituju masih gelap gulita,
antara tiada penghuninya atau karena penghuninya sengaja menyamarkan keberadaan
mereka, sekedar menghindari perhatian dari Tentara Gerilya yang seringkali
iseng merampok rumah yang ada penghuninya. Beruntung, hujan deras malam itu
menyamarkan jejak kereta kuda. Segera setelah menghentikan kereta kudanya, Sang
Kusir langsung berlari menuju ke arah pintu. Mengetuk pintu dengan kode satu
tiga dua, sebuah kode untuk pertolongan pertama. Tak berselang lama, pintu pun
terbuka.
Dengan tergopoh, Sang Dokter dibantu suaminya
memindahkan wanita hamil ke dalam rumahnya. Dari kejauhan, suara guntur saling
bersahutan, menambah riuh hujan malam, menciptakan genangan dimana-mana. Dan di
malam ini, satu genangan berwarna merah tercipta di kamar praktek Sang Dokter.
Sang Wanita tergeletak tak berdaya di atas kasur, tampak
dari balik selimutnya, aliran genangan merah berasal. Setelah melihat sang bayi
terlahir dengan selamat, perlahan mata sang wanita terpejam untuk selamanya.
Tiada lagi detak kehidupan yang tersisa, semuanya telah dia berikan kepada Anaknya.
Sejauh yang aku tahu, itulah malam dimana aku dilahirkan. Dilahirkan setelah
mengorbankan nyawa ibuku sendiri.
Jika, kalian
bertanya perihal dimana ayahku, maka aku pun akan bertanya dengan pertanyaan
yang sama. Dimana ayahku?
Awalnya tiada yang tahu, Sang Dokter pun tidak tahu
dimana ayahku, namun kelak beberapa bulan kemudian setelah kelahiranku, datanglah
seorang lelaki dengan berseragam lengkap, dengan lambang bendera tiga warna di
seragamnya, dengan Senapan Mauser di punggungnya. Dia datang ke rumah sang
wanita, namun hanya kesunyian yang menyambutnya. Dia kebingungan, lalu bertanya
kepada tetangga di samping rumahnya, sampai pada akhirnya sang kusir lewat
depan rumahnya, dan menyadari bahwa suami sang wanita telah kembali dari
pendidikan militer di ibu kota. Sang Kusir mengenalnya sedari mereka menikah
dahulu, si lelaki adalah anak mantan juragan tanah tempat dirinya bekerja
sebagai seorang Pawang Kuda.
Bertemulah mereka berdua, setelah bertanya kabar
singkat, akhirnya si lelaki diberi tahu bahwa istrinya sudah melahirkan anaknya
yang pertama, dan sekarang anaknya tinggal bersama dokter dan suaminya. Si
lelaki bertanya bagaimana kabar istrinya, tanpa menjawab sang kusir memintanya
untuk naik kereta kudanya. Diantarkannya ke rumah sang dokter, bertemu dengan
dokter dan suaminya, dia lalu bertanya ke pokok pertanyaan pertama, Dimana istriku?
Sang Dokter dan Suaminya diam tanpa kata, keduanya
hanya saling bertatap mata dengan Sang Kusir yang dulu mengantarkan seorang
wanita. Semuanya tidak ada yang bicara, sampai keheningan dipecahkan oleh suara
tangisan dari dalam kamar. Sang dokter bergegas mendatangi sumber suara, begitu
pula si lelaki mengikutinya, nampak dilihatnya seorang bayi mungil yang mirip
sekali dengan dirinya. Dia tidak tahu, kalau si bayi adalah anaknya. Setelah
melihat si bayi kembali tenang dalam pelukan Sang Dokter, si lelaki kembali
bertanya, Dimana istriku?
Hanya hela nafas yang jadi jawabannya. Sang dokter
lalu mengajak si lelaki untuk mengikutinya ke kebun belakang rumahnya. Di
pojokan tampak terlihat tanah yang menggunduk, dengan sebongkah kayu salib
sebagai tandanya. Sebuah makam, dengan nama ibuku sebagai penghias utama salib
kayu.
Tiada tangis yang tercipta dari si lelaki, hanya
gestur lunglai dengan senapan yang berangsur luruh, jatuh dari pundaknya. Pandangannya
kosong, kekokohan lututnya seketika luntur, kedua kakinya gugur bersimpuh di
depan pusara makam ibuku. Dengan nada getir dia menyenandungkan satu baris
kalimat yang kelak akan diwariskan kepadaku.
Pada akhirnya,
yang tersisa dari seorang manusia adalah kenangan tentang dirinya, seperti
genangan air yang tercipta tatkala hujan lebat telah mereda.
Pada akhirnya, si lelaki membawaku pulang ke rumah,
dan merawatku dengan penuh kasih sayang, sampai umurku sebelas tahun. Namun, semuanya
berubah ketika tersiar kabar terbunuhnya Pangeran Pewaris tahta kerajaan
Austria-Hongaria ketika sedang berkunjung ke Serbia. Peristiwa ini memancing Austria
untuk mendeklarasikan perang kepada Serbia, kemudian dilanjutkan dengan datangnya
berita pernyataan perang dari Rusia, lalu dari Prancis, Britania Raya, Jerman,
Hongaria, dan tak selang berapa lama banyak negara Eropa yang mendeklarasikan
pernyataan yang sama. Eropa terguncang dalam sebuah Perang Dunia. Perang Dunia
Pertama.
Umurku baru lima belas tahun, tatkala perang datang
dan membawa pergi ayahku untuk selamanya. Pertempuran Verdun menjadi tugas
ayahku yang pertama sekaligus menjadi tugas terakhirnya. Dia diberi tugas untuk
menjaga dan mempertahankan Kota Verdun dari serbuan Tentara Jerman. Kota Verdun
sudah terkepung, dengan sesekali surat aku terima dari ayahku, sekedar memberi
jeda akan rasa rindu yang sudah memuncak, sesekali seringkali memberontak
menjadikan derak langkah kaki kuda menjadikan pemantik amarah murka. Terhadap
perang, terhadap segalanya yang membuatku terpisah dari ayahku untuk selamanya.
Dalam suratnya, ayahku seringkali menciptakan sebuah
reka adegan yang terulang di antara dua kalimat yang sengaja dimunculkan untuk
memancing terka-terka ngawur dari kawannya, yang sering kali menimbulkan gelak
tawa yang tiada habisnya. Kata Ayahku, obat termurah dari kesedihan adalah
canda tawa, dan itu bisa diciptakan dengan cara sederhana, cukup dengan
melontarkan sebuah pertanyaan jenaka, seperti, “Jika bumi ini berputar, kenapa kita tetap berada di tempat yang sama?”
Maka diperlukannya sebuah jeda, untuk memikirkan
jawabannya, dengan menggunakan berbagai macam teori yang terkadang terdengar
begitu ngasal, namun terkadang ada benarnya juga. Jeda sederhana di antara
sebuah tanya, itu seperti menciptakan gelak tawa di antara air mata. Di tengah
parit yang penuh kemuraman, ayahku seringkali menciptakan mukjizat lewat
kata-kata yang dituliskan dalam suratnya.
Terkadang suratnya berisi cerita lucu perihal
terciptanya Hukum Archimedes, sampai seringkali dalam suratnya dia berkhayal
andai saja Pangeran Franz Ferdinand tidak pergi ke Serbia, tapi pergi ke
rumahnya, niscaya perang dunia tidak akan tercipta. Tapi sayang, semuanya
hanyalah reka-reka hayalan yang direka ulang dalam barisan kalimat yang dia
kirimkan untuk anaknya, untukku. Seringkali surat yang aku terima, ditutup
dengan kalimat Pada akhirnya, yang
tersisa dari seorang manusia adalah kenangan tentang dirinya, seperti genangan
air yang tercipta tatkala hujan lebat telah mereda. Sebuah kalimat yang
tidak pernah aku tahu apa artinya.
Pertempuran Verdun ternyata berlangsung begitu lama,
memakan waktu lebih sepuluh bulan, dengan korban tewas di antara kedua pihak
mencapai ratusan ribu orang, dengan salah satu korban tewasnya adalah ayahku. Namun,
tiada yang tahu dimana jasad ayahku, konon ayahku tewas setelah menjadi korban
meriam Pasukan Jerman. Namun, ada pula yang berkata bahwa ayahku ditawan
Tentara Jerman. Nasibnya kini tiada yang mengetahui. Dimana Ayahku? Aku tidak tahu, begitu selalu jawaban
Prajurit pengantar surat.
Pada minggu terakhir Pertempuran Verdun, di baris
depan, ada sesosok lelaki berseragam tiga warna di dadanya, yang terlihat
seperti sedang tiduran, tengkurap dengan senapan mengarah ke depan, namun
ketika di dekati, dia sudah mati, dengan sebuah lubang peluru menembus
kepalanya. Dan, dari balik saku seragamnya, terselip sebuah surat tertanda
namaku sebagai tujuannya, dengan sebuah baris kalimat penutup yang mengingatkanku
akan sosoknya. Dan ketika surat terakhir datang ke rumah, aku bertanya untuk
kesekian kalinya. Dimana Ayahku? Sambil berlalu, dia menjawab, Di Neraka!
Pada akhirnya,
yang tersisa dari seorang manusia adalah kenangan tentang dirinya, seperti
genangan air yang tercipta tatkala hujan lebat telah mereda.
Verdun, 14 Desember 1933
ah jadi melow, nice
ReplyDeleteSaran aja narasi nya terlalu banyak jadinya kurang hidup padahal penuturan dah bagus coba selipkan dialog
ReplyDeletetidak ada akhir yang membahagiakan dari sebuah peperangan. Pada akhirnya yang tersisa adalah kesedihan, menang atau kalah...
ReplyDeleteBaca ini jadi inget film Life is Beautiful, perang memang selalu menimbulkan luka dan kehilangan bagi siapa saja
ReplyDeleteJadi yatim piatu saat msh belia memang gak mudah. Yang tersisa hanya kenangan....
ReplyDeleteJd ingat seorang teman yg baru berpulang kemarin. Beberapa tahun lalu suaminya jg berpulang. Skrg 3 anaknya yatim piatu dan 1 yatim
ah, endingnya bikin mewek. tapi aku bacanya mencerna kalimat demi kalimat menemukan kenapa dijawabnya di neraka ? hiks, pejuang harusnya masuk surga.
ReplyDeleteSialan, kusuka sama ceritanya. Sangat simple tapi menghujam perasaan. Lanjutkan terus Kak! Aku gatau mau komen apa lagi, pokoknya suka sangat! Closurenya juga dapet banget parah.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteDuhh ini bikin aku mewek ceritanya dari awal sampai akhir. Selalu ada pengorbanan ibu untuk anaknya, makanya sayang ibu itu gak berkesudahan.
ReplyDeleteIhhh... aku sukaaa...
ReplyDeleteKamu yang jadi yatim piatu di usia muda, dengan sejarah perjuangan ibu dan ayahmu yang begitu luar biasa, semoga menjadikanmu manusia yang tangguh.
*eh, ini ngomong sama siapa, ya? :)
Aku suka ceritanya, buat terharu. Tidak terbayang kalau bertemu langsung dengan si dedek. Ngomong-ngomong ini fiksi atau non fiksi nih?
ReplyDeleteMenceritakan kisah seseorang dengan kalimat sastra memang selalu menarik. Suka dengan kalimat-kalimat yang mengalir dengan baik. Saya sampai bisa membayangkan keadaan saat itu, karena penggambaran yang cukup detil.
ReplyDeleteTeruskan Kak, teruslah buat karya kereen, seperti ini.
Genderang perang memang tak akan berakhir pada kebaikan. Sejenak terdiam merenungkan perisitiwa di masa lampau, tertorehkan dalam sanubari tentang orang tua. Rangkaian-rangkaian kenangan terpatri menyiratkan makna mendalam "Malaikat juga Tahu Siapa Juaranya" dalam cerita kehidupan kita.
ReplyDeleteMulanya bingung "Si dokter dan suaminya".
ReplyDelete"Suaminya" ini bikin bingung sama suami si ibu yang melahirkan alias si bapak hehe. Jd mau menunjukkan kalau si dokter perempaun gtu ya maksudnya.
Hmmm, yang kurang mungkin dialog dengan kalimat2 langsung gtu kali ya mas #maafkomensokteu :D
Aku ngebayangin, serasa aku sedang berada disitu, settingnya kerasa nyata.. Jika bumi ini berputar, kenapa kita masih berada di tempat yang sama
ReplyDeleteaku merembes gini baca nya kak, baru 5 bulan yang lalu ayah dipanggil yg maha kuasa juga.. jadi bingung mau komen apa lagi kalo udah cerita soal ayah hiks
ReplyDeletePunya teman yg begini..ibu nya meninggal saat usia 2 tahun...
ReplyDeleteSama sekali tak ada kenangan yg menapak tentang ibunya...
Hanya sekelebat bayang2 ...tentang kematian seorang wanita ..tapi ntah siapa..tak ada sedih..saat itu..
Kak sedih banget, agak nyesel bacanya, jadi keingetan. Pokoknya kesel! Huhuhuhu
ReplyDeleteAwal ceriya saya sedikit bingung dgn alurnha. Akan tetapi, jika dibaca berulang klk sedih ha. Cukup bagus sih ceritanya
ReplyDeleteDi......mana........
ReplyDeleteAku harap kamu bisa bkin tulisan ini lebih compact enggak kebanyakan deskripsi tapi corenya kurang eheh
:((((((((((
ReplyDeleteLanjutkan!!!!
mantap....
ReplyDelete