Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Wednesday, October 12, 2016

Tiga Tulisan Berbeda

Malam ini terasa seperti biasa, kembang seroja mekar pada waktunya. Rembulan bersinar terang seperti biasa, burung balam pun tidur nyenyak di pelukan kekasihnya. Tak seperti biasa, kedua mata tak mau terpejam meski seribu bait doa sudah dipanjatkan kepada sanak sodara, dan juga kepada alam semesta. Entah kenapa, mungkin efek kopi yang sudah bekerja. Ah seperti biasa, kopi efeknya bekerja lambat, tak seperti Pak Jokowi yang terus giat bercuap untuk “Kerja, kerja, dan kerja” namun nyatanya kopi tak ada pengaruhnya, seperti pengaruh beliau yang cuma dijadikan bahan lelucon bagi kawan politiknya. Ah seperti biasa.

Kata orang, make up terbaik wanita adalah senyumannya. Namun dengan gaya yang tak biasa, kau datang mengejutkan dunia. Membuat para pria lari lintang pukang mengejarmu, mengejar cintamu. Entah kenapa, kau malah mengindahkan semuanya. Seperti ciri khasmu yang tak biasa, ternyata seleramu akan pria juga tak biasa. Entah kenapa aku, sosok yang jauh dari kata biasa, dan cenderung menjadi teropong, melihatmu dari jauh, mengamatimu dari jauh, mencintaimu dari jauh justru yang jadi pilihanmu. Entah angin darimana, kenapa layar hatimu berkibar kencang menuju ke arahku, menuju ke pelabuhan hatiku. Apakah ini namanya, pucuk dicinta ulam pun tiba? Ah mungkin begitulah adanya. Tak seperti biasa, hari ini aku jadi pria paling berbahagia di dunia. Ah peduli kata semesta, toh aku lagi jatuh cinta.


Buah simalakama, buah tak nyata yang jadi idola tatkala orang sedang berada dalam posisi dilema. Aku pun begitu, rasanya sebentar lagi bakal jadi juragan buah simalakama. Gimana tidak jadi juragan, setiap melihatmu yang ada hati dan pikiranku jadi gundah gulana, mau gerak mau nyapa mau negur, yang ada malah dilema. Dilema, Dipendam Lebih Lama. Aku dan kamu itu seperti langit dan bumi. Kamu begitu tinggi menawan, sedangkan aku rendah menarap tanah. Kamu penggila media sosial, apadaya aku hanya penggila sastra. Seperti kisah yang sudah-sudah, penyakit dilema selalu jadi penguasa. Ah seperti biasa, semua rasa aku tinggalkan begitu saja semuanya di pelataran parkir kampus tercinta.

--------------------------------------------------

Adalah sebuah kebingungan tatkala aku berusaha untuk memahami apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka lakukan. Dari rentetan kata yang ku dengar, semuanya bertolak belakang. Bilangnya YA ternyata TIDAK, berkata TIDAK tapi ternyata YA. Semua tidak dapat aku mengerti, seperti halnya sosok mahluk yang katanya berasal dari Planet Seberang. Planet Kejora, Bintang Pagi. Seorang wanita.

Entah sudah berapa banyak Pujangga yang menuliskannya dalam sebuah karya sastra yang elok tiada terkira, dengan balutan kata mewah laksana penerjemah yang seolah memudahkan untuk aku memamah akan makna dari segala perkataannya, tapi tetap saja, yang tersisa hanya sebuah kalimat tanya. Maksud dia itu bagaimana?

Sebagai seseorang yang katanya berasal dari Planet Merah, majikan si Phobos Deimos, yang lebih mengandalkan logika dibandingkan sisi perasa, ternyata jauh lebih mudah memecahkan sandi enigma dibandingkan sandi seorang wanita. Dibanding kerumitannya terselip sesuatu yang sederhana, dibalik kesederhanaan perkataannya terselip berbagai macam kerumitan yang sekiranya akan membuat seorang ahli pemecah sandi menyerah, lalu memilih beralih profesi jadi mantri sunat saja.

Eloknya setiap hari, berlari minimal lima kilometer setiap pagi, lalu diakhiri dengan pelemasan raga agar semua terasa sebanding dengan usaha untuk lepas dari jerat ngantuk pagi-pagi. Untuk menciptakan kebiasaan, dibutuhkan sebuah perjuangan, namun sebelum masuk perjuangan, kita harus berhadapan dengan satu fase krusial, memulainya, melakukannya. Seperti halnya berlari setiap hari, untuk memahami isi hati seorang wanita, yang kita perlukan hanyalah mencoba, mencoba untuk memahaminya. Tapi siapa yang sanggup? Ada Band mungkin?

Mengobrol dengan sosoknya, terkadang mencerahkan namun seringnya bisa menyesatkan. Ujung-ujungnya kalau ada sesuatu yang salah, yang selalu disalahkan ya jelas orang di depannya, lawan bicaranya, yaitu aku. Hanya bisa tertawa tanpa suara, lalu terkekeh mirip orang gila, hanya itu yang biasa dilakukanku, setelah badai agak reda, baru mencoba mencari pelangi dengan meminta maaf kepadanya. Apa bedanya, aku dengan pencari suaka di negara-negara kaya? Mengharap belas kasihnya, mengharap ampunannya, mengharap pelukannya. Yo tidak, semua dilakukan hanya demi sebuah perhatian tulus, yang sering mereka sebut dengan penerimaan. Sebuah pemakluman. Pemakluman atas kerumitan kode kata mereka.

---------------------------------

Perlahan, dari balik langit malam terdengar sayup-sayup suara mesin yang menderu, terdengar semakin mendekat. Tanpa tahu pasti, tanpa bisa menerka dengan pasti, kedua mata hanya bisa menatap langit kosong dan menerawang ke angkasa. Tiada yang mengira bahwa itulah gelombang invasi pertama, mulai mendekati kota.

Dari sekian banyak pasukan yang berjaga malam itu, hanya aku dan kawanku yang masih tetap terjaga. Dengan kesadaran yang hampir tercabut dari kedua mata, telinga kami mendengar gemuruh dari ujung barat cakrawala. Seketika, kami tersadar dan mencari tahu suara apakah itu? dari balik layar radar, tiada tampak tanda akan datangnya bahaya, tapi suara deru itu mengingatkanku akan sebuah tanda, tanda bencana.

Perihal deru mesin yang menggaung di udara, sebagai penjaga senjata, tiada yang bisa aku lakukan selain menatap langit dengan tatapan penuh niscaya. Dinginnya senapan mesin menyadarkanku, akan sebuah rasa dimana bencana akan segera tiba. Dengan segera aku bangunkan komandan penjaga, tapi apa daya, beliau tiada mau diganggu dari tidurnya. Dari balik teropong malam, aku lihat banyak bayangan burung besi berbarisan, semakin mendekat. Perlahan aku sadar, bahwa itulah pesawat pembawa bencana. Dari balik perutnya tersembunyi berbagai macam kapsul berukuran raksasa yang siap mengirimkan banyak orang ke neraka.

Seketika itu juga, puluhan cahaya menyorot mengarah ke angkasa, memandikan langit malam dengan begitu terangnya, bagaikan sebuah opera. Perlahan tapi pasti, satu persatu burung besi terpapar cahaya yang memandikannya. Lalu, menjelaskannya dalam satu kata, “Lancaster!” Tiada yang tahu, apa yang terbawa di balik perutnya. Secara hampir bersamaan, puluhan senapan mesin menyalak tiada beraturan, sirine kota menggerungkan tanda bahaya. Sesekali terdengar dentuman, kilatan cahaya di angkasa, lalu bola api yang segera jatuh ke bumi, bersama seluruh isi dan penumpangnya. Sejauh mata memandang sebagian besar kota telah terbakar. Langit malam seketika menjadi terang benderang.

Tiada bantuan dari udara yang datang di malam itu, selain senjata yang masih saja menyalak membabi buta menembaki angkasa. Lalu tiba-tiba terdengar serentetan desing peluru menyasar seluruh tubuhku. Terasa basah, namun perlahan menjadi dingin. Seketika tubuhku roboh. Tiada yang bisa aku ingat lagi, selain sekerlip kedipan terakhir, tentang kenangan seluruh hidupku yang kembali terulang, lalu diakhiri sebuah ledakan. Lalu hancur berserakan.
Normandia, D-Day, dini hari.
--------------------------------
Sekiranya jika aku muntahkan semuanya, tentang kata-kata yang ada hingga tak tersisa, lalu bagaimana sisa-sisa kata yang pada akhirnya hanya menjadi gulma, rasa yang tak berguna?

Sebuah Renungan.

23 comments:

  1. gila, Kak. seperti biasa; manis, berima, enak dibaca. sukaaaa. :D

    ReplyDelete
  2. BHAAANG
    Aku baca ini sambil dengeri lagu banda neira, sampai jadi debu. :')

    Dan ngena banget yawlaaa. Merinding

    ReplyDelete
  3. Anak sastra emang keren² ya 😆😆

    ReplyDelete
  4. Anak sastra emang keren² ya 😆😆

    ReplyDelete
  5. Kata-kata yang mengalir dengan bagus, tapi maafkan saya yang kurang mengerti. Di awal bercerita tentang cinta dan wanita, dilanjutkan dengan suasana perang, saya kurang paham. Bagaimanapun saya sukaa dengan pemilihan kata-katanya. Sastra memang asik!

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha ya tidak apa-apa jika tidak mengerti, toh ini juga gak ada maksud apa-apa dalam menulis ini tulisan :D

      Delete
  6. Kata-kata yang mengalir dengan bagus, tapi maafkan saya yang kurang mengerti. Di awal bercerita tentang cinta dan wanita, dilanjutkan dengan suasana perang, saya kurang paham. Bagaimanapun saya sukaa dengan pemilihan kata-katanya. Sastra memang asik!

    ReplyDelete
  7. Kayak puisi gitu yah :) Btw, salam blogger yah.

    ReplyDelete
  8. Kirain tulisan ini satu cerita, ternyata dibuat dengan tema yang berbeda-beda. Di antara tiga cerita di atas, saya paling suka yang kedua. Karena selain paling gampang dicerna (haha), juga ada kalimat "Mengobrol dengan sosoknya, terkadang mencerahkan, namun seringnya bisa menyesatkan." ini bener-bener keren deh. Mantap.

    Eh ngomong-ngomong Fandhy, kamu ngambil studi Sastra ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku bukan anak sastra son, aku anak ayah dan ibu :')
      hhehe ini mah apa atuh, tulisan asal-asalan begini. Btw terima kasih pujiannya :D

      Delete
  9. Seperti biasa, tulisanmu membuat otakku sedikit geser dengan bahasa-bahasa yang menjilat raga, menyentuh jiwa. (Ini komen apaan coba?!)

    Banyak yang mengira kau kuliah sastra, Mz.

    ReplyDelete
    Replies
    1. duhh otakmu sedikit geser itu bagaimana rob?
      Iya ini, padahal kan aslinya kuliah di jurusan politik :l

      Delete
  10. Aku merasa gagal jadi anak sastra pas baca postingan ini.

    Gak mudheng. :'(

    ReplyDelete
  11. Wow, aku mencoba menangkap satu demi satu paragraf yang disampaikan. Sampai harus ngulang 2 X buat ngebacanya. Errrr ~
    Sastra emang tak pernah bersahabat denganku.

    Yang aku tangkep, Bang Fandhy lagi mengutarakan kegelisahan. 3 kegelisahan lebih tepatnya.
    Yang pertama, bang Fandhy lagi jatuh cinta. Yang kedua kegelisahan karna cewek yang gak bisa ditebak. Terus yang ketiga ini agak susah sih. Perang ?? Emmmmm

    ReplyDelete
  12. Tulisannya bagus mas. Pemilihan kata dan kalimatnya mengalir. Walaupun ada beberapa cerita namun dia menjadi utuh dalam sebuah cerita. Saya banyak belajar mas..

    ReplyDelete
  13. Kalo udah kesini pasti bawa KBBI biar klo ada kosakata yang pusing aku bisa nyari artinya. sekalian belajar juga siiiiikkkk

    ReplyDelete