Malam ini terasa seperti biasa, kembang seroja mekar
pada waktunya. Rembulan bersinar terang seperti biasa, burung balam pun tidur
nyenyak di pelukan kekasihnya. Tak seperti biasa, kedua mata tak mau terpejam
meski seribu bait doa sudah dipanjatkan kepada sanak sodara, dan juga kepada
alam semesta. Entah kenapa, mungkin efek kopi yang sudah bekerja. Ah seperti
biasa, kopi efeknya bekerja lambat, tak seperti Pak Jokowi yang terus giat
bercuap untuk “Kerja, kerja, dan kerja” namun nyatanya kopi tak ada
pengaruhnya, seperti pengaruh beliau yang cuma dijadikan bahan lelucon bagi
kawan politiknya. Ah seperti biasa.
Kata orang, make
up terbaik wanita adalah senyumannya. Namun dengan gaya yang tak biasa, kau
datang mengejutkan dunia. Membuat para pria lari lintang pukang mengejarmu,
mengejar cintamu. Entah kenapa, kau malah mengindahkan semuanya. Seperti ciri
khasmu yang tak biasa, ternyata seleramu akan pria juga tak biasa. Entah kenapa
aku, sosok yang jauh dari kata biasa, dan cenderung menjadi teropong, melihatmu
dari jauh, mengamatimu dari jauh, mencintaimu dari jauh justru yang jadi
pilihanmu. Entah angin darimana, kenapa layar hatimu berkibar kencang menuju ke
arahku, menuju ke pelabuhan hatiku. Apakah ini namanya, pucuk dicinta ulam pun
tiba? Ah mungkin begitulah adanya. Tak seperti biasa, hari ini aku jadi pria
paling berbahagia di dunia. Ah peduli kata semesta, toh aku lagi jatuh cinta.
Buah simalakama, buah tak nyata yang jadi idola
tatkala orang sedang berada dalam posisi dilema. Aku pun begitu, rasanya
sebentar lagi bakal jadi juragan buah simalakama. Gimana tidak jadi juragan,
setiap melihatmu yang ada hati dan pikiranku jadi gundah gulana, mau gerak mau
nyapa mau negur, yang ada malah dilema. Dilema, Dipendam Lebih Lama. Aku dan kamu
itu seperti langit dan bumi. Kamu begitu tinggi menawan, sedangkan aku rendah
menarap tanah. Kamu penggila media sosial, apadaya aku hanya penggila sastra.
Seperti kisah yang sudah-sudah, penyakit dilema selalu jadi penguasa. Ah
seperti biasa, semua rasa aku tinggalkan begitu saja semuanya di pelataran
parkir kampus tercinta.
--------------------------------------------------
Adalah sebuah kebingungan tatkala aku berusaha untuk
memahami apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka lakukan. Dari rentetan
kata yang ku dengar, semuanya bertolak belakang. Bilangnya YA ternyata TIDAK,
berkata TIDAK tapi ternyata YA. Semua tidak dapat aku mengerti, seperti halnya
sosok mahluk yang katanya berasal dari Planet Seberang. Planet Kejora, Bintang
Pagi. Seorang wanita.
Entah sudah berapa banyak Pujangga yang
menuliskannya dalam sebuah karya sastra yang elok tiada terkira, dengan balutan
kata mewah laksana penerjemah yang seolah memudahkan untuk aku memamah akan
makna dari segala perkataannya, tapi tetap saja, yang tersisa hanya sebuah
kalimat tanya. Maksud dia itu bagaimana?
Sebagai seseorang yang katanya berasal dari Planet
Merah, majikan si Phobos Deimos, yang lebih mengandalkan logika dibandingkan
sisi perasa, ternyata jauh lebih mudah memecahkan sandi enigma dibandingkan
sandi seorang wanita. Dibanding kerumitannya terselip sesuatu yang sederhana,
dibalik kesederhanaan perkataannya terselip berbagai macam kerumitan yang
sekiranya akan membuat seorang ahli pemecah sandi menyerah, lalu memilih
beralih profesi jadi mantri sunat saja.
Eloknya setiap hari, berlari minimal lima kilometer
setiap pagi, lalu diakhiri dengan pelemasan raga agar semua terasa sebanding
dengan usaha untuk lepas dari jerat ngantuk pagi-pagi. Untuk menciptakan
kebiasaan, dibutuhkan sebuah perjuangan, namun sebelum masuk perjuangan, kita
harus berhadapan dengan satu fase krusial, memulainya, melakukannya. Seperti
halnya berlari setiap hari, untuk memahami isi hati seorang wanita, yang kita
perlukan hanyalah mencoba, mencoba untuk memahaminya. Tapi siapa yang sanggup?
Ada Band mungkin?
Mengobrol dengan sosoknya, terkadang mencerahkan
namun seringnya bisa menyesatkan. Ujung-ujungnya kalau ada sesuatu yang salah,
yang selalu disalahkan ya jelas orang di depannya, lawan bicaranya, yaitu aku.
Hanya bisa tertawa tanpa suara, lalu terkekeh mirip orang gila, hanya itu yang
biasa dilakukanku, setelah badai agak reda, baru mencoba mencari pelangi dengan
meminta maaf kepadanya. Apa bedanya, aku dengan pencari suaka di negara-negara
kaya? Mengharap belas kasihnya, mengharap ampunannya, mengharap pelukannya. Yo
tidak, semua dilakukan hanya demi sebuah perhatian tulus, yang sering mereka
sebut dengan penerimaan. Sebuah pemakluman. Pemakluman atas kerumitan kode kata
mereka.
---------------------------------
Perlahan, dari balik langit malam terdengar
sayup-sayup suara mesin yang menderu, terdengar semakin mendekat. Tanpa tahu
pasti, tanpa bisa menerka dengan pasti, kedua mata hanya bisa menatap langit
kosong dan menerawang ke angkasa. Tiada yang mengira bahwa itulah gelombang
invasi pertama, mulai mendekati kota.
Dari sekian banyak pasukan yang berjaga malam itu,
hanya aku dan kawanku yang masih tetap terjaga. Dengan kesadaran yang hampir
tercabut dari kedua mata, telinga kami mendengar gemuruh dari ujung barat cakrawala.
Seketika, kami tersadar dan mencari tahu suara apakah itu? dari balik layar
radar, tiada tampak tanda akan datangnya bahaya, tapi suara deru itu
mengingatkanku akan sebuah tanda, tanda bencana.
Perihal deru mesin yang menggaung di udara, sebagai
penjaga senjata, tiada yang bisa aku lakukan selain menatap langit dengan
tatapan penuh niscaya. Dinginnya senapan mesin menyadarkanku, akan sebuah rasa
dimana bencana akan segera tiba. Dengan segera aku bangunkan komandan penjaga,
tapi apa daya, beliau tiada mau diganggu dari tidurnya. Dari balik teropong
malam, aku lihat banyak bayangan burung besi berbarisan, semakin mendekat.
Perlahan aku sadar, bahwa itulah pesawat pembawa bencana. Dari balik perutnya
tersembunyi berbagai macam kapsul berukuran raksasa yang siap mengirimkan
banyak orang ke neraka.
Seketika itu juga, puluhan cahaya menyorot mengarah
ke angkasa, memandikan langit malam dengan begitu terangnya, bagaikan sebuah
opera. Perlahan tapi pasti, satu persatu burung besi terpapar cahaya yang
memandikannya. Lalu, menjelaskannya dalam satu kata, “Lancaster!” Tiada yang tahu, apa yang terbawa di balik perutnya.
Secara hampir bersamaan, puluhan senapan mesin menyalak tiada beraturan, sirine
kota menggerungkan tanda bahaya. Sesekali terdengar dentuman, kilatan cahaya di
angkasa, lalu bola api yang segera jatuh ke bumi, bersama seluruh isi dan
penumpangnya. Sejauh mata memandang sebagian besar kota telah terbakar. Langit
malam seketika menjadi terang benderang.
Tiada bantuan dari udara yang datang di malam itu,
selain senjata yang masih saja menyalak membabi buta menembaki angkasa. Lalu
tiba-tiba terdengar serentetan desing peluru menyasar seluruh tubuhku. Terasa
basah, namun perlahan menjadi dingin. Seketika tubuhku roboh. Tiada yang bisa
aku ingat lagi, selain sekerlip kedipan terakhir, tentang kenangan seluruh
hidupku yang kembali terulang, lalu diakhiri sebuah ledakan. Lalu hancur
berserakan.
Normandia, D-Day, dini hari.
--------------------------------
Sekiranya jika
aku muntahkan semuanya, tentang kata-kata yang ada hingga tak tersisa, lalu
bagaimana sisa-sisa kata yang pada akhirnya hanya menjadi gulma, rasa yang tak
berguna?
Sebuah Renungan.
gila, Kak. seperti biasa; manis, berima, enak dibaca. sukaaaa. :D
ReplyDeleteduh kak happy, makasih kak :D
DeleteBHAAANG
ReplyDeleteAku baca ini sambil dengeri lagu banda neira, sampai jadi debu. :')
Dan ngena banget yawlaaa. Merinding
hahaha terimakasih kembarannya raisa X)
DeleteAnak sastra emang keren² ya 😆😆
ReplyDeleteheheh aku ini anak politik bang :))
DeleteAnak sastra emang keren² ya 😆😆
ReplyDeleteaku bukan anak sastra :l
DeleteKata-kata yang mengalir dengan bagus, tapi maafkan saya yang kurang mengerti. Di awal bercerita tentang cinta dan wanita, dilanjutkan dengan suasana perang, saya kurang paham. Bagaimanapun saya sukaa dengan pemilihan kata-katanya. Sastra memang asik!
ReplyDeletehaha ya tidak apa-apa jika tidak mengerti, toh ini juga gak ada maksud apa-apa dalam menulis ini tulisan :D
DeleteKata-kata yang mengalir dengan bagus, tapi maafkan saya yang kurang mengerti. Di awal bercerita tentang cinta dan wanita, dilanjutkan dengan suasana perang, saya kurang paham. Bagaimanapun saya sukaa dengan pemilihan kata-katanya. Sastra memang asik!
ReplyDeletehehehe terima kasih pujiannya btw:)))
DeleteKayak puisi gitu yah :) Btw, salam blogger yah.
ReplyDeleteterima kasih :D
DeleteKirain tulisan ini satu cerita, ternyata dibuat dengan tema yang berbeda-beda. Di antara tiga cerita di atas, saya paling suka yang kedua. Karena selain paling gampang dicerna (haha), juga ada kalimat "Mengobrol dengan sosoknya, terkadang mencerahkan, namun seringnya bisa menyesatkan." ini bener-bener keren deh. Mantap.
ReplyDeleteEh ngomong-ngomong Fandhy, kamu ngambil studi Sastra ya?
aku bukan anak sastra son, aku anak ayah dan ibu :')
Deletehhehe ini mah apa atuh, tulisan asal-asalan begini. Btw terima kasih pujiannya :D
Seperti biasa, tulisanmu membuat otakku sedikit geser dengan bahasa-bahasa yang menjilat raga, menyentuh jiwa. (Ini komen apaan coba?!)
ReplyDeleteBanyak yang mengira kau kuliah sastra, Mz.
duhh otakmu sedikit geser itu bagaimana rob?
DeleteIya ini, padahal kan aslinya kuliah di jurusan politik :l
bahaha
ReplyDeleteAku merasa gagal jadi anak sastra pas baca postingan ini.
ReplyDeleteGak mudheng. :'(
Wow, aku mencoba menangkap satu demi satu paragraf yang disampaikan. Sampai harus ngulang 2 X buat ngebacanya. Errrr ~
ReplyDeleteSastra emang tak pernah bersahabat denganku.
Yang aku tangkep, Bang Fandhy lagi mengutarakan kegelisahan. 3 kegelisahan lebih tepatnya.
Yang pertama, bang Fandhy lagi jatuh cinta. Yang kedua kegelisahan karna cewek yang gak bisa ditebak. Terus yang ketiga ini agak susah sih. Perang ?? Emmmmm
Tulisannya bagus mas. Pemilihan kata dan kalimatnya mengalir. Walaupun ada beberapa cerita namun dia menjadi utuh dalam sebuah cerita. Saya banyak belajar mas..
ReplyDeleteKalo udah kesini pasti bawa KBBI biar klo ada kosakata yang pusing aku bisa nyari artinya. sekalian belajar juga siiiiikkkk
ReplyDelete