Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Tuesday, November 21, 2017

Cerita Dari Balik Reruntuhan

Sore itu hujan turun dengan begitu derasnya, dengan sesekali terdengar petir menyambar, mengkilat lalu meninggalkan gemuruh yang menggetarkan bumi yang kini aku pijak. Dari timur jauh, aku lihat cakrawala berkelap-kelip, dengan bunyi dentuman yang saling menyalak, tanda semakin dekat. 

Sesekali aku melihat pesawat berlambang swastika mondar-mandir di udara, mengejar pesawat berlambang palang merah, seolah ingin memburunya, menghabisinya sebelum dia menjatuhkan perbekalan yang dibutuhkan warga kota. Warga kota akan sebuah kota di timur laut Rusia, yang terkepung hampir seribu hari. Sebuah kota yang diberi nama sang pembebas negara dari kuasa kerajaan lama dan merubahnya menjadi sebuah komuni raksasa. 


Sore itu aku ditempatkan di salah satu pos gerilya di tepi kota, dengan senapan Mauser hasil rampasan tentara Finlandia, dalam sehari biasanya aku bisa mendapat tiga atau lima desertir yang mencoba lari dari medan laga. Lalu, melubangi batok kepala mereka dengan sebuah pelor panas, yang langsung mengantarkannya ke Valhala. Tapi sore itu, hujan deras menutup jejak lari mereka. Tak bisa aku terka larinya kemana, tanpa bisa aku hajar batok kepala mereka dengan pelor panas yang aku punya. Aku hanya bisa mengamati, dari balik teleskop, aku dengar suara gemuruh semakin mendekat.

Suara gemuruh terdengar semakin dekat, merambat melalui udara, merambat dengan cepat, efek getarnya sungguh luar biasa. Sungguh, seumur hidupku baru dua kali aku merasakan gemuruh seperti ini. Pengalaman pertamaku di Verdun dulu sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan gemuruh yang akan datang sekarang. Rasa ngeri seketika timbul ketika kulihat titik-titik hitam di timur jauh, yang perlahan merapat, membuat teleskopku seketika penuh dengan bayangan pesawat.

Di suatu tanah lapang berjarak sekitar empat ratus yard dari tempatku bersembunyi, terlihat seorang lelaki dan seorang wanita yang saling merunduk, menyelinap masuk ke dalam mobil propaganda yang ditinggal pergi pemiliknya. Terlihat lambang swastika di seragam sang lelaki, sedangkan si wanita tampak samar, namun dalam kesamaran dirinya sungguh terlihat kecantikan alami, yang mempesona khas wanita Rusia. Sungguh tidak tega, jika aku lubangi kepalanya. Namun begitu aku lihat dengan lekat, ternyata sang wanita adalah tunanganku yang sebelum hari pengepungan tiba-tiba menghilang tanpa kabar.

Aku telah membuka semua pintu dan melepas merpati-merpati akan sosokmu itu pergi. Tanpa pesan, tanpa persinggahan. Melintasi taman paling rindu tempat kau bunuh kenangan kita berkali-kali.* Dan sungguh aku tak akan pernah memberinya denyut nadi lagi agar hidup kembali, lalu perlahan aku kokang senapanku. Dengan mata elangku, aku incar mobil itu.

Ku letakkan mataku di teleskop, dengan pusat teleskop mengarah kepala sang lelaki. Dari jarak tiga ratus yard, kalian mendekat dengan cepat. Aku incar sisi rapuhmu dengan mengincar si lelaki terlebih dahulu, dalam sepersekian detik, mobil yang kalian kendarai terhenti mendadak di depan reruntuhan toko. Terlihat sebuah lobang peluru membekas di kaca supir, kekasih gelapmu terkulai bersimbah darah dengan leher tertembus peluru. Terdengar kamu menjerit ngeri, lalu menangis histeris seperti bayi, meraung meraung sembari memeluk tubuh kekasihmu yang sudah terbujur kaku. Tanpa menunggu lama, aku kokang peluru yang kedua, kali ini giliranmu yang jadi target Mauserku. 

Terdengar berat, nafasku terhela secara perlahan, menyimak, dan mengamati lekat-lekat dirimu yang kini beranjak keluar dari mobil itu. Bukannya bersembunyi, kamu malah memilih untuk lari jejeritan di sepanjang jalan yang sepi, sungguh sebuah langkah yang ceroboh. Pelan-pelan, aku bidik perutmu, bagian yang seharusnya aku jadikan tempat menyimpan cikal bakal generasi penerusku selama sembilan bulan. Namun ternyata aku tak tega, langsung saja aku incar lehermu, tempat favoritku menghabiskan waktu bersamamu. Dalam sepersekian detik, tubuhmu terhentak ke depan, jatuh tersingkup, tergeletak bersimbah darah di tengah jalan. Sungguh tega hati aku ini menghabisi sepasang kekasih yang sedang dimabuk birahi.

Pada akhirnya, di dunia ini ada beberapa hal yang tidak bisa diubah: Manusia-manusia yang hidup di masa lalu. Manusia-manusia yang memilih untuk tinggal dalam kenangan dan menutup mata pada kenyataan.** Kenangan perlu ada dalam hidup untuk dikenang, ditertawakan dan menjadi warisan ingatan kepada anak keturunan, namun nyatanya keturunanku bukan berasal dari garismu.

Adalah sebuah harga mahal yang harus aku bayarkan atas sebuah kehilangan, namun dari sebuah kehilangan, aku bisa belajar, bahwa sejatinya kehilangan hanyalah sebatas pemanis kehidupan. Sungguh hambar rasanya, jika hidup senang-senang setiap hari, dan sungguh aku berterima kasih kepada tiran berkumis tengah itu karena telah mengobarkan perang yang membuatku kepayahan, sekaligus membuat hidupku penuh dengan warna kehidupan. 

Tanpa aku sadari, dua tembakan yang aku lepaskan tadi, memancing perhatian sebuah teleskop kecil dari balik reruntuhan gedung di seberang balkon kosong, sekitar seratus yard sebelah kiri tempatku merunduk tersuruk. Tampak kilatan kecil itu terlihat tatkala senja mulai nampak. Namun sayangnya, aku kalah cepat, aku begitu lambat. Dengan cepat, sebuah peluru menghajar tepat lobang teleskop mauserku. Detik-detik terakhir yang aku lihat adalah seberkas cahaya putih, yang seketika menjadi pekat, lalu gelap. Tampak terlihat di belakangku, tembok putih penuh bekas darah yang memuncrat, meninggalkan bekas merah yang memburat seperti senja yang keparat.

Tanpa Nama
Leningrad, 22 Norwegia 1942.

(*) Kutipan Dari Helvy Tiana Rosa
(**) Dikutip dari bukunya Devania Annesya, Muara Rasa





19 comments:

  1. Hidup memang getir ya. Kita harus bertahan saat kehilangan itu datang, tersenyum saat berduka

    ReplyDelete
  2. Di bagian ketika akan menembak si wanita, monolognya menempatkan si wanita sebagai kata ganti orang kedua, lalu di tengah-tengah tiba-tiba berubah menjadi orang ketiga. Hehe.

    Btw saya juga suka menikmati kembali kenangan, tapi tanpa harus menutup mata pada kenyataan :)

    Suka sama cerita di balik perang kayak gini. Teruskan menulis fiksi :)

    ReplyDelete
  3. Aku hilang fokus saat baca : tempat cikal bakal generasi penerusku.

    Trus scroll ke atas lagi, ternyata memang ada perubahan sudut pandang ya, kamu dan ia. Kesalahan kecil yang berakibat cerita hilang fokus dan pembaca bingung. 😀

    Keep writing, kak Fandhy 😊

    ReplyDelete
  4. Hihi aku pun kehilangan fokus. Kamu dan ia,...


    Tapi kok seru. Sudah lama gak menikmati asiknya sebuah cerita dengan genre seperti ini.

    Lagi...lagi....lagi

    ReplyDelete
  5. Sudah lama nggak bacaa cerita begini.
    Kalau boleh jujur pembukaan ceritanya belum greget, coba mulai dengan adegan yang menarik lagi. Semangat menulis, fann

    ReplyDelete
  6. kalau baca yang beginian bawaannya pengen nulis fiksi lagi, udah lama banget absen, apalagi nulis cerpen.

    etapi aku belum pernah sih nulis cerpen yang settingnya perang gini, kalau perang batin sering :D

    ReplyDelete
  7. Kadang meski sakit, aku memilih membiarkan kenangan itu ada, sebagai pengingat kegetiran agar tidak lagi terulang

    ReplyDelete
  8. Uwah, pengemasan cerita yang sebenarnya biasa tapi jadi menarik, hanya beberapa kata ganti yang kurang konsisten, tetap semangaat kak :D

    ReplyDelete
  9. Saya suka dengan penulisan seperti ini. Dengan cerita-cerita yang cukup bikin merinding. Pingin sih menulis seperti ini. Tapi kemalasan mengalahkan keinginan.

    Emm.. emang bener ada kata2 yg kurang konsisten kak.misal kamu dan nya. Semangat!!

    ReplyDelete
  10. Karena kehilangan adalah bagian dari kewajaran dan kenisyaaan, tatkala yang lebih baik siap datang menggantikan. Tatkala hilang fokus hal yang biasa, mungkin perlu ada yang mengisi ruang-ruang yang kosong itu.

    ReplyDelete
  11. Aduh sudah dikhianati cinta, dikhianati pula negaranya oleh org terkasih. Pantes marah banget :(

    Btw, kalau saya enggak terlalu suka mengenang yg buruk2 dan untungnya saya gampang lupa hehe :P

    ReplyDelete
  12. Memang hidup ini harus ada kenangan dan kita harus belajar dari kenangan itu. Bukan mengulang kenangan itu hehe. :)

    ReplyDelete
  13. Ya ampun mati semua..

    Sedih fan.. Aku lebih suka yg happy ending ixixix..

    Tapi ini bagus sih, krn dia udah biasa tembak menembak, jadi dia bisa tahu ya dlm beberapa detik ada kilatan peluru yang sedang menuju dirinya, sayangnya dia krg cepat menghindarnya.

    ReplyDelete
  14. Dead Man Talking .. mungkin penulisnya adalah Dewa di Valhalla, atau Shinigami yang memandang ke bumi dengan buku dan pena-nya

    ReplyDelete
  15. Yah...udah baca dari awal.. malah mati semua.., kalo nonton film begini...aku nyesel nonton...
    Ga sesuai harapan...he2

    ReplyDelete
  16. Iihhh seru ceritanya. Sedih endingnya mati semua. Kok pilu banget hidupnya :(

    ReplyDelete
  17. Tiada yang bisa menghilangkan kenangan didalam pikirian kita.

    Walaupun, kenangan pahit bisa dihilanglan pasti muncul lagi

    ReplyDelete
  18. Wah oke nih tulisannya :)
    Sambil baca langsung membayangkan berdasarkan gambarannya di tulisan ;)

    ReplyDelete
  19. Perang batin di dalam medan perang. Premis sederhana yang menarik. Seperti yang sudah di bilang di atas, Fan. Ada perubahan sudut pandang tokoh yang bikin gagal fokus. Mungkinkah kau menulis ini dalam medan perang sungguhan? Waaaa..

    ReplyDelete