Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Saturday, March 13, 2021

Hujan Terakhir

Sebelas dua belas, berjarak tidak lebih dua puluh empat jam. Terarak begitu banyak beban yang mengusik pikiran, perihal berbagai macam keluhan yang tak sempat ditunjukkan. Kepada dunia, kepada mereka, yang menganggap semua tampak baik-baik saja. Tidak banyak yang tersisa, di hari dia bertambah usia, kecuali sejumput harapan yang dia kumpulkan secara perlahan, dari tiap remah-remah kenyataan yang tak kepalang tanggung membuatnya berpikir sebelas dua belas kali lebih banyak dari biasanya. Tidak banyak yang tersisa, tapi tidak apa, yang terpenting masih ada sisa. Sisa-sisa harapan yang bisa dia bangkitkan selayaknya foniks yang bangkit dari abu. 

Di luar masih hujan, begitu deras,

Dirimu masih terjebak di ruang kantor, di lantai dua puluh tiga, di tengah kota. Tak banyak yang tahu, jika kamu masih ada disitu. Kaca jendela terciprat begitu banyak air, menyublim dan menjadi awal kaca menciptakan embun. Embun yang biasa kau ukir dengan sebuah nama. Nama yang terlalu banyak memberimu kenangan, tentang suka dan duka, tentang tawa dan air mata, semua sama saja, tidak ada bedanya, toh kamu merindukan semuanya. Bukan begitu?

Jam kerja sudah terlewat sedari tadi, tapi dirimu masih enggan beranjak pergi. Menikmati hujan untuk terakhir kali, katamu. Tidak seperti hari biasanya, dirimu hari ini tidak banyak bicara. Hanya menjawab sesekali sekedar untuk menimpali dan menghormati lawan bicaramu. Jika sedang sendiri, ekspresi wajahmu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, matamu tidak seandal mulutmu dalam menutupi kelu. Tidak banyak yang tahu tentangmu, selain aku, bahkan kedua orang tuamu pun tidak tahu apa kerjamu. Entah apa maksudnya sampai kamu menutupinya, seolah pekerjaan ini pekerjaan hina yang membuat malu keluarga. Namun, ketika aku tanya lebih lanjut, jawabanmu selalu sama, hanya diam dan tersenyum. Seolah sedang menjawab pertanyaanku tempo hari, tentang perasaan yang aku tanyakan kepadamu. Tidak ada jawab, hanya diam dan tersenyum. Selalu begitu.

Hujan masih belum juga reda, begitu juga badai yang ada di hatimu. Meja kerja dibereskan, ala kadarnya, sebatas menjaga diri dari teguran atasan yang gila akan kerapian. Gadget, buku catatan, headset, dan novel; tidak ada yang tertinggal. Komputer tidak dimatikan, hanya ditidurkan, sengaja, agar efisien dan tidak membuang waktu; begitu katamu. Raut bingung di wajahmu tidak bisa menutupi pesonamu, bahkan dari pantulan layar komputer yang sudah memburam pun dirimu masih begitu menyilaukan. Tidak heran, jika atasanmu yang gila akan kerapian, bisa tergila-gila pada dirimu, dan bahkan pernah menawarimu posisi sebagai asisten pribadinya. Tentu saja, dengan campur aduk adegan asmara di dalamnya, posisi kerja aman, dan tentu saja gajimu akan naik tiga kali lipat. Sekali lagi, dirimu tidak pernah bosan membuatku heran, tawaran yang sedemikian menggiurkan, kau tolak dengan senyuman.

Tidak banyak yang aku inginkan di dunia ini; begitu katamu, waktu itu.

Waktu makan siang di kantin kantor. Di kantor ini, tak banyak yang berani mendekatimu, sekedar mengajakmu makan siang pun tidak ada yang berani, selain aku dan atasan kerjamu. Tidak tahan dengan kedataran dirimu; begitu kata rekan kerjamu. Menjadikanmu bayangan dalam tiap kenikmatan yang mereka lakukan sudah lebih dari cukup bagi mereka. Seperti halnya katamu, waktu itu, pada akhirnya tidak banyak yang mereka inginkan darimu. Kamu diam saja, padahal mendengar semuanya, ya tidak perlu dibahas lagi sebetulnya, tapi kenapa aku harus kesal ketika mendengarnya. Sialan.

Tidak banyak sepertimu, yang bisa terbang bebas dari waktu satu ke waktu, tanpa merasakan beban kerja yang menggunung setiap hari. Karena bagimu, beban kerja jauh lebih ringan daripada beban penyesalan yang semakin menggunung di dalam hati, setiap harinya. Jika yang lain terjebak pada pusaran jam kerja, dirimu justru sebaliknya. Dengan bekerja, dirimu bisa melupakan, setidaknya bisa mengabaikan beban hati yang mengganjal, yang merantai kedua sayapmu untuk terbang lebih tinggi lagi, lebih jauh lagi. Selama ini, dirimu bisa melewati semuanya tanpa terkecuali. Dan, ketika pandemi datang menghantam, kantormu diliburkan, seketika kekosongan menunjukkan taringnya padamu.

Tak lama, tidak lebih sebulan kemudian, kamu sudah kembali masuk bekerja, tapi dirimu berubah seutuhnya. Semua tak lagi sama.

Begitu juga dunia.

-------------------------------------------

Di luar, hujan masih deras,

Di atas meja, di dalam kotak, segala barang-barang sudah terkemas rapi, tidak ada yang tertinggal, dan tidak biasanya, komputer dimatikan. Jam kerja sudah terlewat sedari tadi, tapi aku masih enggan untuk beranjak pergi. Ditatapnya hujan di luar jendela, kaca kedap suara, tidak terdengar apa-apa, kecuali suara orang yang berbicara di dalam kepala.

Nikmatilah hujan, dari lantai dua puluh tiga, untuk terakhir kalinya.


Karawang, 11 Maret 2021.

Hari Ulang Tahun, 

Tanpa Perayaan. Tanpa Pekerjaan,

48 comments:

  1. Mengalir tulisan ini. Salam kenal Mas

    ReplyDelete
  2. Bagusss bangettt ini, ya ampuuun.
    Semoga bisa menciptakan karya2 yg brilian ya.
    Kece sangat!
    Sastrawan milenial banget!

    ReplyDelete
  3. Suka banget adegan terakhir neh Kak, berasa banget sunyinya, senyapnya, sendirinya. Keren pisan

    ReplyDelete
  4. memang ya, hujan adalah kata paling romantis dalam sebuah sastra
    entah karena pembawaannya yang sendu, mampu membuat kita terdiam, meresap dan membuat pikiran berkelana

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, terkadang hujan membawa angan angan terbang kesana kemari

      Delete
  5. Pandemi membuat semua hal berubah, dunia juga kita

    Btw, sudah lama gak benar-benar menikmati hujan yang sepi dan sunyi. Seringnya jatuh di malam hari sih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maka, cobalah untuk mendengar suara hujan di kala hening

      Delete
  6. Udah lama banget gak baca blog dengan narasi yang bagus kaya gini, Kak. Jadi kangen zaman blog duluuuu huhuh

    ReplyDelete
  7. Sedih! Semoga kuat dan ditabahkan. Semoga kembali terbuka pintu2 baru yang lebih megah dan berwarna. Untuk pekerjaan dan hidup yang lebih baik, tetaplah tersenyum meski hujan tak pernah berhenti datang.

    ReplyDelete
  8. Hujan selalu berhasil membawa kita ke momen apapun, sendu dan sedih. Jarang membawa ke momen bahagia dan sukacita. Padahal kedatangannya membawa berkah, tapi kenapa mengingatkan pada kesedihan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hujan adalah berkah sekaligus musibah, tergantung bagaimana kita menyikapi dan melihatnya

      Delete
  9. Yang aku suka dari hujan yaitu setelah nya soale wangi tanah setelah hujan itu nenangin banget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah benar sekali.
      Petrichor, terkadang aromanya begitu memabukkan

      Delete
  10. PAndemi memang mengubah semuanya, asa, jiwa dan cita cita. Berharap dengan hujan turun dan air yang membasahi bumi semua duka lara tersapu

    ReplyDelete
  11. Aku merasa ada yang pilu di akhir cerita.
    Apakah tokohnya masih ada dan bekerja di kantor itu?
    Selalu penuh kejutan tak terduga membaca tulisan Fandhy. Keren!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tokoh utamanya sudah tidak bekerja lagi, karena terpapar virus corona, kontrak kerjanya dibatalkan oleh direksi.

      Delete
  12. Kangen melihat hujan dari lantai/ gedung tinggi huhuhu
    Wah kyknya introvert ya tokoh yg dimaksud, tp sekalinya ketemu org yg cocok (eh atau krn terpaksa ya, krn di situ "atasan" dimasukkan) dia bisa lbh terbuka hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya benar sekali mbak, tokohnya adalah seorang introvert

      Delete
  13. mau ending yang hepi dong kak hehehe, request ya
    kirim ke majalah atau koran kak, mayan kalau dimuat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah boleh juga mbak, terima kasih atas masukan dan sarannya

      Delete
  14. Hujan dan kehilangan terkadang makin membuat isi kepala ramai berkelindan. Kayak yang cocok aja menggiring suasana hati untuk menikmati momen sendu. Apapun yang terjadi sama sang tokoh, semoga dia selalu sehat bahagia meski tanpa pekerjaan, yang penting tetap hidup dan berpenghasilan.

    ReplyDelete
  15. tulisannya menarik, banyak penggunaan bahasa pujangga yang baru saya ketahui di tulisan ini good job

    ReplyDelete
  16. Aku baru mampir ke sini, dan tertarik untuk terus baca tulisan lainnya. Aku sendiri kangen menulis 'curhat' dalam kemasan puitik seperti ini.

    Tulisan ini seperti sebuah film. Sangat naratif dan cukup multi interpretasi. POV yang digunakan juga menarik. Sedari awal saya baca saya sudah menyangka jika karakter aku dan kamu adalah orang yang sama.

    Nice post.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir kak.
      Iya memang benar adanya jika tokoh utama dalam tulisan adalah satu tokoh yang sama

      Delete
  17. Luar biasa. Menjadi sebuah karya, jalannya juga smooth dan menarik. Kapanlah saya bisa buat tulisan seperti ini.. aaaa harus banyak belajar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trrima kasih kak, semoga lekas menulis kembali ya

      Delete
  18. Ngalir dan relevan, ya. Juga bisa dinikmati mayoritas kaum millenial. Cakepppp

    ReplyDelete
  19. wahhhhhh bagus... kalo tulisan begini jenis apa sik kalo di sastra? cerpen, puisi atau apa nih... trs pengen tau juga kamu dapet idenya dari mana .. soalnya kalo sastra itu berdasar imaginasi.. bener gak sik

    ReplyDelete
  20. Memang benar pandemi bisa merubah segalanya. Jadi penasaran, kenapa ya jadi berubah? Apa yang bikin hari itu hari terakhir di kantor? Banyak pertanyaan jadinya hehehe. Lanjutkan! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya banyak berubah, karena dia ikut terpapar dan menjadi korban pandemi, dan pada akhirnya itu semua berpengaruh dalam pekerjaannya. Di akhir cerita, si tokoh kehilangan pekerjaannya.

      Delete
  21. Alur ceritanya ngalir banget kak, feel-nya pun dapat untuk pembaca seperti saya. Hujan, menjadi sebuah momen yg romantis, terlebih di malam hari hihi. Ahh, jadi kangen bau tanah abis hujan kan gara-gara baca ini.

    ReplyDelete
  22. Ini based on true story ya kak? Kalo memang iya..pasti kejadian tersebut akan jadi pengalaman yang tak terlupakan. Karena terjadi pas di hari ulang tahun pula. Semoga kakaknya tetap semangaat. Selalu ada hikmah di setiap peristiwa. Chayoo.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, itu semua berasal dari cerita nyata dan pengalaman yang dialami oleh si tokoh utama

      Delete
  23. Saya jadi mendapat trigger untuk menulis seperti ini di blog satunya lagi.
    Mungkin sudah waktunya saya menuliskan lagi surat untuk pembaca yang berasal dari hati

    ReplyDelete
  24. Ini bagus sih walau entah kenapa aku bacanya masih belum terlalu ngalir. Tapi di satu sisi aku sendiri juga sudah jarang menulis prosa yang sepanjang ini. Jadi ingin menulis prosa lagi. Keep the good work!

    ReplyDelete