Sebelas dua belas, berjarak tidak lebih dua puluh empat jam. Terarak begitu banyak beban yang mengusik pikiran, perihal berbagai macam keluhan yang tak sempat ditunjukkan. Kepada dunia, kepada mereka, yang menganggap semua tampak baik-baik saja. Tidak banyak yang tersisa, di hari dia bertambah usia, kecuali sejumput harapan yang dia kumpulkan secara perlahan, dari tiap remah-remah kenyataan yang tak kepalang tanggung membuatnya berpikir sebelas dua belas kali lebih banyak dari biasanya. Tidak banyak yang tersisa, tapi tidak apa, yang terpenting masih ada sisa. Sisa-sisa harapan yang bisa dia bangkitkan selayaknya foniks yang bangkit dari abu.
Di
luar masih hujan, begitu deras,
Dirimu masih terjebak di ruang kantor, di lantai dua puluh tiga, di tengah kota. Tak banyak yang tahu, jika kamu masih ada disitu. Kaca jendela terciprat begitu banyak air, menyublim dan menjadi awal kaca menciptakan embun. Embun yang biasa kau ukir dengan sebuah nama. Nama yang terlalu banyak memberimu kenangan, tentang suka dan duka, tentang tawa dan air mata, semua sama saja, tidak ada bedanya, toh kamu merindukan semuanya. Bukan begitu?
Jam kerja sudah terlewat sedari tadi, tapi dirimu masih enggan beranjak pergi. Menikmati hujan untuk terakhir kali, katamu. Tidak seperti hari biasanya, dirimu hari ini tidak banyak bicara. Hanya menjawab sesekali sekedar untuk menimpali dan menghormati lawan bicaramu. Jika sedang sendiri, ekspresi wajahmu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, matamu tidak seandal mulutmu dalam menutupi kelu. Tidak banyak yang tahu tentangmu, selain aku, bahkan kedua orang tuamu pun tidak tahu apa kerjamu. Entah apa maksudnya sampai kamu menutupinya, seolah pekerjaan ini pekerjaan hina yang membuat malu keluarga. Namun, ketika aku tanya lebih lanjut, jawabanmu selalu sama, hanya diam dan tersenyum. Seolah sedang menjawab pertanyaanku tempo hari, tentang perasaan yang aku tanyakan kepadamu. Tidak ada jawab, hanya diam dan tersenyum. Selalu begitu.
Hujan masih belum juga reda, begitu juga badai yang ada di hatimu. Meja kerja dibereskan, ala kadarnya, sebatas menjaga diri dari teguran atasan yang gila akan kerapian. Gadget, buku catatan, headset, dan novel; tidak ada yang tertinggal. Komputer tidak dimatikan, hanya ditidurkan, sengaja, agar efisien dan tidak membuang waktu; begitu katamu. Raut bingung di wajahmu tidak bisa menutupi pesonamu, bahkan dari pantulan layar komputer yang sudah memburam pun dirimu masih begitu menyilaukan. Tidak heran, jika atasanmu yang gila akan kerapian, bisa tergila-gila pada dirimu, dan bahkan pernah menawarimu posisi sebagai asisten pribadinya. Tentu saja, dengan campur aduk adegan asmara di dalamnya, posisi kerja aman, dan tentu saja gajimu akan naik tiga kali lipat. Sekali lagi, dirimu tidak pernah bosan membuatku heran, tawaran yang sedemikian menggiurkan, kau tolak dengan senyuman.
Tidak banyak yang aku inginkan di dunia ini; begitu katamu, waktu itu.
Waktu makan siang di kantin kantor. Di kantor ini, tak banyak yang berani mendekatimu, sekedar mengajakmu makan siang pun tidak ada yang berani, selain aku dan atasan kerjamu. Tidak tahan dengan kedataran dirimu; begitu kata rekan kerjamu. Menjadikanmu bayangan dalam tiap kenikmatan yang mereka lakukan sudah lebih dari cukup bagi mereka. Seperti halnya katamu, waktu itu, pada akhirnya tidak banyak yang mereka inginkan darimu. Kamu diam saja, padahal mendengar semuanya, ya tidak perlu dibahas lagi sebetulnya, tapi kenapa aku harus kesal ketika mendengarnya. Sialan.
Tidak banyak sepertimu, yang bisa terbang bebas dari waktu satu ke waktu, tanpa merasakan beban kerja yang menggunung setiap hari. Karena bagimu, beban kerja jauh lebih ringan daripada beban penyesalan yang semakin menggunung di dalam hati, setiap harinya. Jika yang lain terjebak pada pusaran jam kerja, dirimu justru sebaliknya. Dengan bekerja, dirimu bisa melupakan, setidaknya bisa mengabaikan beban hati yang mengganjal, yang merantai kedua sayapmu untuk terbang lebih tinggi lagi, lebih jauh lagi. Selama ini, dirimu bisa melewati semuanya tanpa terkecuali. Dan, ketika pandemi datang menghantam, kantormu diliburkan, seketika kekosongan menunjukkan taringnya padamu.
Tak lama, tidak lebih sebulan kemudian, kamu sudah kembali masuk bekerja, tapi dirimu berubah seutuhnya. Semua tak lagi sama.
Begitu juga dunia.
-------------------------------------------
Di
luar, hujan masih deras,
Di
atas meja, di dalam kotak, segala barang-barang sudah terkemas rapi, tidak ada
yang tertinggal, dan tidak biasanya,
komputer dimatikan. Jam kerja sudah terlewat sedari tadi, tapi aku masih enggan
untuk beranjak pergi. Ditatapnya hujan di luar jendela, kaca kedap suara, tidak
terdengar apa-apa, kecuali suara orang yang berbicara di dalam kepala.
Nikmatilah hujan, dari lantai dua puluh tiga, untuk terakhir kalinya.
Karawang, 11 Maret 2021.
Hari Ulang Tahun,
Tanpa Perayaan. Tanpa Pekerjaan,
Mengalir tulisan ini. Salam kenal Mas
ReplyDeleteSalam kenal juga mas
DeleteBagusss bangettt ini, ya ampuuun.
ReplyDeleteSemoga bisa menciptakan karya2 yg brilian ya.
Kece sangat!
Sastrawan milenial banget!
Terima kasih ya mbak
DeleteSuka banget adegan terakhir neh Kak, berasa banget sunyinya, senyapnya, sendirinya. Keren pisan
ReplyDeleteTerima kasih kak
Deletememang ya, hujan adalah kata paling romantis dalam sebuah sastra
ReplyDeleteentah karena pembawaannya yang sendu, mampu membuat kita terdiam, meresap dan membuat pikiran berkelana
Benar sekali, terkadang hujan membawa angan angan terbang kesana kemari
DeletePandemi membuat semua hal berubah, dunia juga kita
ReplyDeleteBtw, sudah lama gak benar-benar menikmati hujan yang sepi dan sunyi. Seringnya jatuh di malam hari sih
Maka, cobalah untuk mendengar suara hujan di kala hening
DeleteUdah lama banget gak baca blog dengan narasi yang bagus kaya gini, Kak. Jadi kangen zaman blog duluuuu huhuh
ReplyDeleteTerima kasih kak
DeleteSedih! Semoga kuat dan ditabahkan. Semoga kembali terbuka pintu2 baru yang lebih megah dan berwarna. Untuk pekerjaan dan hidup yang lebih baik, tetaplah tersenyum meski hujan tak pernah berhenti datang.
ReplyDeleteTerima kasih kak
DeleteHujan selalu berhasil membawa kita ke momen apapun, sendu dan sedih. Jarang membawa ke momen bahagia dan sukacita. Padahal kedatangannya membawa berkah, tapi kenapa mengingatkan pada kesedihan
ReplyDeleteHujan adalah berkah sekaligus musibah, tergantung bagaimana kita menyikapi dan melihatnya
DeleteYang aku suka dari hujan yaitu setelah nya soale wangi tanah setelah hujan itu nenangin banget.
ReplyDeleteAh benar sekali.
DeletePetrichor, terkadang aromanya begitu memabukkan
PAndemi memang mengubah semuanya, asa, jiwa dan cita cita. Berharap dengan hujan turun dan air yang membasahi bumi semua duka lara tersapu
ReplyDeleteIya betul sekali.
DeleteTerima kasih kak
Aku merasa ada yang pilu di akhir cerita.
ReplyDeleteApakah tokohnya masih ada dan bekerja di kantor itu?
Selalu penuh kejutan tak terduga membaca tulisan Fandhy. Keren!
Tokoh utamanya sudah tidak bekerja lagi, karena terpapar virus corona, kontrak kerjanya dibatalkan oleh direksi.
DeleteKangen melihat hujan dari lantai/ gedung tinggi huhuhu
ReplyDeleteWah kyknya introvert ya tokoh yg dimaksud, tp sekalinya ketemu org yg cocok (eh atau krn terpaksa ya, krn di situ "atasan" dimasukkan) dia bisa lbh terbuka hehe
Iya benar sekali mbak, tokohnya adalah seorang introvert
Deletemau ending yang hepi dong kak hehehe, request ya
ReplyDeletekirim ke majalah atau koran kak, mayan kalau dimuat
Wah boleh juga mbak, terima kasih atas masukan dan sarannya
DeleteHujan dan kehilangan terkadang makin membuat isi kepala ramai berkelindan. Kayak yang cocok aja menggiring suasana hati untuk menikmati momen sendu. Apapun yang terjadi sama sang tokoh, semoga dia selalu sehat bahagia meski tanpa pekerjaan, yang penting tetap hidup dan berpenghasilan.
ReplyDeleteAamiinn kak rinda,
DeleteTerima kasih
stay safe and stay healthy ya kak
ReplyDeleteIya, terima kasih
Deletetulisannya menarik, banyak penggunaan bahasa pujangga yang baru saya ketahui di tulisan ini good job
ReplyDeleteTerima kasih atas pujiannya
DeleteAku baru mampir ke sini, dan tertarik untuk terus baca tulisan lainnya. Aku sendiri kangen menulis 'curhat' dalam kemasan puitik seperti ini.
ReplyDeleteTulisan ini seperti sebuah film. Sangat naratif dan cukup multi interpretasi. POV yang digunakan juga menarik. Sedari awal saya baca saya sudah menyangka jika karakter aku dan kamu adalah orang yang sama.
Nice post.
Terima kasih sudah mampir kak.
DeleteIya memang benar adanya jika tokoh utama dalam tulisan adalah satu tokoh yang sama
Luar biasa. Menjadi sebuah karya, jalannya juga smooth dan menarik. Kapanlah saya bisa buat tulisan seperti ini.. aaaa harus banyak belajar
ReplyDeleteTrrima kasih kak, semoga lekas menulis kembali ya
DeleteNgalir dan relevan, ya. Juga bisa dinikmati mayoritas kaum millenial. Cakepppp
ReplyDeleteTerima kasih mbak mbak pemilik blog anak kereta
Deletewahhhhhh bagus... kalo tulisan begini jenis apa sik kalo di sastra? cerpen, puisi atau apa nih... trs pengen tau juga kamu dapet idenya dari mana .. soalnya kalo sastra itu berdasar imaginasi.. bener gak sik
ReplyDeleteMungkin tulisan ini bisa disebut dengan prosa
DeleteMemang benar pandemi bisa merubah segalanya. Jadi penasaran, kenapa ya jadi berubah? Apa yang bikin hari itu hari terakhir di kantor? Banyak pertanyaan jadinya hehehe. Lanjutkan! :D
ReplyDeleteIya banyak berubah, karena dia ikut terpapar dan menjadi korban pandemi, dan pada akhirnya itu semua berpengaruh dalam pekerjaannya. Di akhir cerita, si tokoh kehilangan pekerjaannya.
DeleteAlur ceritanya ngalir banget kak, feel-nya pun dapat untuk pembaca seperti saya. Hujan, menjadi sebuah momen yg romantis, terlebih di malam hari hihi. Ahh, jadi kangen bau tanah abis hujan kan gara-gara baca ini.
ReplyDeleteIni based on true story ya kak? Kalo memang iya..pasti kejadian tersebut akan jadi pengalaman yang tak terlupakan. Karena terjadi pas di hari ulang tahun pula. Semoga kakaknya tetap semangaat. Selalu ada hikmah di setiap peristiwa. Chayoo.
ReplyDeleteIya, itu semua berasal dari cerita nyata dan pengalaman yang dialami oleh si tokoh utama
DeleteSaya jadi mendapat trigger untuk menulis seperti ini di blog satunya lagi.
ReplyDeleteMungkin sudah waktunya saya menuliskan lagi surat untuk pembaca yang berasal dari hati
Selamat menulis lagi ya kak
DeleteIni bagus sih walau entah kenapa aku bacanya masih belum terlalu ngalir. Tapi di satu sisi aku sendiri juga sudah jarang menulis prosa yang sepanjang ini. Jadi ingin menulis prosa lagi. Keep the good work!
ReplyDelete