Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Sunday, October 20, 2013

Review Buku : Politik Tionghoa Peranakan di Jawa

Review Buku : Politik Tionghoa Peranakan di Jawa
Penulis : Leo Suryadinata
Oleh Fandhy Achmad Romadhon, dkk

Dalam buku ini yang berjudul “Politik Tionghoa Peranakan di jawa” karya leo Suryadinata, kelompok kami akan mencoba mereview kembali beberapa bab-bab yang ada di dalam buku ini. Bab-bab yang akan kami revie antara lain : Bab 1 : Kaum Peranakan dan Nasionalisme Cina, serta Bab 8 : Golongan Peranakan dan Nasionalisme Indonesia. Alasan kenapa kelompok kami memilih buku ini karena di dalam buku membahas tentang nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia.
            Munculnya nasionalisme Indonesia berkaitan erat dengan adanya kolonialisme Belanda di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan-tekanan disebut nasionalisme. Melalui keinginan bersama yang didasarkan oleh persamaan kepentingan itu akhirnya menciptakan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme mengacu pada paham yang mementingkan perbaikan dan kesejahteraan nasio atau bangsanya. Kelompok-kelompok suku atau etnik-etnik yang bersifat lokal dikoordinasikan secara kolektif untuk menuju keinginan bersama dan klimaksnya adalah pembentukan nasion Indonesia. E Renan menyebut nasion sebagai keinginan untuk ada bersama atau keinginan untuk hidup bersama[1]. Etnik-etnik yang ada di Indonesia salah satunya adalah etnis Tionghoa.


            Sebelum pertengahan kedua abad ke-20, orang Tionghoa di Indonesia sebagian besar terdiri dari para pedagang suku Hokkian. Sebagai akibat dari kesulitan-kesulitan pengangkutan dan oleh kebijakan kekaisaran dan dinasti Ching yang pada waktu itu melarang kaum imigran Tionghoa untuk meninggalkan dan masuk kembali ke negeri Tiongkok, maka imigrasi massal ke Indonesia tidak pernah terjadi3. Orang Tionghoa laki-laki yang sampai ke Indonesia tidak membawa keluarga mereka tetapi kemudian menikah dengan perempuan pribumi. Oleh karena itu, dalam perjalanan waktu tumbuhlah suatu komunitas Tionghoa peranakan di wilayah nusantara.
            Kaum Tionghoa peranakan biasanya mempunyai darah pribumi dari garis keturunan perempuan (ibu) dan menempuh cara hidup yang sedikit mirip dengan pribumi. Kaum lelakinya memakai theng-sha (baju panjang Cina), sedangkan kaum perempuannya memakai kebaya dan dibesarkan seperti ibu-ibu mereka4. Pada umumnya kaum peranakan ini tidak berbicara bahasa Cina tetapi berkomunikasi dengan menggunakan bahasa setempat. Sebagian dari mereka terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, tetapi terpisah dari golongan ras lainnya, terutama sebagai akibat dari struktur masyarakat kolonial dan politik pecah belah Belanda. Pada waktu itu terdapat tiga lapisan ras yang besar di Hindia Belanda (Indonesia), yaitu golongan (ras) Eropa yang menduduki tempat teratas, golongan Timar Asing (Vreemde Osterlingen terutama Tionghoa) di lapisan tengah, serta golongan Indonesia pribumi (Inlanders). Pemerintah Kolonial Belanda merangsang setiap golongan ras untuk mempertahankan cara berpakaian dan adat istiadatnya. Sistem hukum yang berlaku pada waktu itu juga memaksakan diskriminasi terhadap orang Tionghoa dalam berbagai cara. Misalnya, penetapan zona dan sistem surat jalan (wijkenstelsel dan passenstelsel) mewajibkan kepada pihak Tionghoa untuk tinggal/menetap di wilayah-wilayah yang telah ditentukan dan melarang mereka untuk bepergian di luar wilayah tersebut, kecuali kalau mereka mempunyai kelengkapan dengan surat jalan.
            Pada akhirnya keluhan orang Tionghoa mencapai puncaknya menjelang akhir abad ke-19 ketika Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan politik etis yang salah satu efeknya menyerang kekuatan ekonomi komunitas Tionghoa. Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, nasionalisme Cina telah menyebar ke Jawa. Akibatnya secara perlahan telah mendorong orang Tionghoa di Jawa yang telah berakulturasi ke dalam masyarakat setempat dan mempunyai hubungan yang relatif tipis dengan negeri leluhur (Tiongkok), untuk meninjau kembali identitasnya. Yang jelas satu identifikasi baru dengan nation Cina timbul dan nasionalisme mulia tumbuh sebagai salah satu bentuk sentimen yang kuat di kalangan orang Tionghoa Indonesia.
            Perkembangan etnis tionghoa di Indonesia berlanjut dimasa penjajahan belanda yang mana Pemerintah kolonial Belanda menggunakan prinsip devide et impera untuk menguasai wilayah jajahannya. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi maka jumlah penduduk Belanda adalah sangat kecil. Dalam usahanya mengendalikan penduduk pribumi yang mayoritas, pemerintah kolonial menggunakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok bangsawan pribumi yang diperbolehkan menduduki posisi pemerintahan dan kelompok-kelompok minoritas asing seperti orang-orang Tionghoa yang hanya diperbolehkan bergerak di bidang ekonomi.
            Pemerintah kolonial Belanda melakukan politik separatisme antargolongan penduduk atau mencoba mengisolasi antara satu golongan dengan golongan yang lain.[2] Penduduk dibagi dalam tiga golongan, yaitu warga negara kelas satu yang terdiri dari orang-orang Belanda dan bangsa kulit putih umumnya, warga negara kelas dua yang terdiri dari Vreemde Oosterlingen yaitu orang India, Arab, Tionghoa, dan orang-orang Timur Asing lainnya[3], dan warga negara kelas tiga yang terdiri dari penduduk pribumi. Penggolongan kelas masyarakat menimbulkan eksklusivisme, karena masing-masing golongan masyarakat. Menjelang akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan aturan-aturan lain yang intinya adalah untuk membatasi gerak langkah etnis Tionghoa di Indonesia.
            Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Jakarta oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat. Perlakuan hukum dan peradilan yang diskriminatif oleh pemerintah Kolonial Belanda telah membangkitkan kesadaran nasional di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Kunci untuk meningkatkan posisi orang Tionghoa adalah kemajuan dan perlindungan negara. Gerakan nasionalisme Tionghoa ini menuntut persamaan hak antara orang-orang Tionghoa dengan Belanda. Menurut Onghokham, sifat gerakan ini eksklusif, artinya gerakan demi golongan sendiri dan tidak ada hubungannya dengan anti kolonialisme, meskipun gerakan tersebut anti pemerintah kolonial.[4]
            Nasionalisme Cina pada awal abad ke-20 menyatakan diri dalam pembentukan organisasi-organisasi Cina Raya (Pan-Cina) seperti Tiong Hoa Hwee Koan (THHK, perhimpunan Tionghoa) yang medirikan sekolah-sekolah dengan pengantarnya bahasa Cina di seluruh Jawa5. Pembentukan THHK kemudian diikuti dengan terbitnya surat-surat kabar Tionghoa peranakan dalam bahasa Melayu Tionghoa, misalnya Li Po di Sukabumi (1901), Chabar Perniagaan di Batavia/Jakarta (1903), Djawa Tengah tahun 1909 di Semarang. Dengan demikian berdirinya THHK sebagai salah satu organisasi Cina Raya dan lahirnya surat-surat kabar Tionghoa merupakan produk dari nasionalisme Cina di Hindia Belanda. Setelah memunculannya, sekolah THHK dan surat-surat kabar itu mendorong lebih lanjut rasa nasionalisme serta memperkuat perkembangan gerakan Cina Raya, yaitu mempersatukan orang Tionghoa Hindia Belanda dan sekali gus mengarahkan orientasi kultural dan politiknya ke negeri Cina.
            Gerakan Cina Raya menimbulkan kekawatiran penguasa Belanda. Pada tahun 1900 ketika THHK didirikan , Pemerintah Hindia Belanda juga mengimbanginya dengan mendirikan Biro Urusan Cina yang bertujuan untuk memberi nasehat kepada pemerintah atas politiknya terhadap komunitas Tionghoa. Pada tahun 1907 orang Tionghoa memperoleh status Eropa[5],
            Nasionalisme Indonesia yang lahir setelah pemberontakan komunis 1926 dan pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) menandai dimulainya babakan baru dalam sejarah politik modern Indonesia. Salah satu ciri utama dari fase ini adalah bergemanya konsep nation atau kebangsaan Indonesia yang bersifat rasis masih tetap ada dalam wacana PNI. Dua contoh dapat disebutkan untuk menunjukkan bahwa para pemimpin PNI tidak menganggap Tionghoa peranakan sebagai orang Indonesia. Sementara contoh yang kedua adalah kasus Kwee Hong, seorang peranakan Tionghoa pemilik toko buku di Palembang dan telah mengambil prakarsa untuk mendirikan cabang PNI setempat. Berhubung dia ádalah peranakan dan dianggap oleh anggota Indonesia lainnya sebagai orang Tionghoa, maka dia hanya bisa menjadi anggota luar biasa sesuai dengan Anggaran Dasar PNI. Ketika para pemimpin PNI ditahan oleh penguasa Belanda tahun 1930-an, Kwee Hong juga ditangkap tetapi segera dibebaskan.
            Mungkin benar bahwa hanya beberapa orang peranakan Tionghoa saja yang berusaha masuk PNI. Sebagian besar dari mereka masih diilhami oleh nasionalisme Cina atau membatasi perhatiannya pada kepentingan-kepentingan kelompok mereka sendiri, dan bersikap pesimis terhadap gerakan nasionalis Indonesia. Banyak alasannya, tetapi kecenderungan rasial dalam gerakan itu merupakan satu alasan penting. Anehnya, kebangkitan gagasan Asia Raya pada waktu itu juga menekankan pemisahan antara orang Tionghoa dengan orang pribumi Indonesia. Pan-Asianisme tersebar luas, baik di kalangan kaum nasionalis sekuler maupun di kalangan kaum nasionalis Hindia Belanda pada akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an. Para anggota kedua kelompok melihat diri mereka sebagai orang Asia dan oleh karena itu mempunyai satu tujuan bersama, yaitu mengusir kekuatan-kekuatan Barat dari bumi Asia. Namun ironisnya, gagasan-gagasan demikian itu membantu mengabadikan pemisahan kedua kelompok tersebut sebab mereka ternyata lebih memikirkan suatu persekutuan daripada penyatuan antara mereka.
            Pada awal tahun 1930-an, para pemimpin Tionghoa peranakan seperti Liem Koen Hian dan Ko Kwat Tiong yang mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932, semakin percaya bahwa golongan Tionghoa peranakan harus menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan yang secara aktif berusaha untuk mengembangkannya. Mereka yang menempatkan kepentingan suatu negara asing di atas kepentingan Hindia Belanda tidak dapat disebut kawula Negara Hindia7.Golongan Indo Belanda, Arab peranakan dan Tionghoa peranakan semuanya adalah bagian dari nasion Hindia.
            Jalannya perdebatan rasialis pada waktu itu menunjukkan bahwa semua pers Pribumi yang berada ditangan kaum nasionalis Indonesia radikal yang dipengaruhi oleh Marxisme, menentang Liem Koen Hian, dan bahwa tantangan ini seringkali berasal dari prasangka dan ketidakpercayaan terhadap orang Tionghoa. Sekali pun demikian, perdebatan-perdebatan itu sendiri dan kegiatan golongan peranakan pada waktu itu dalam kehidupan politik Indonesia tampak telah menghasilkan pergeseran sikap. Partai Parindra yang berpengaruh setelah partai-partai nasinalis radikal ditindas pengasa Belanda pada awal tahun 1930-an mulai mempertimbangkan persoalan apakah akan membuka keanggotaannya bagi golongan Tionghoa peranakan. Suatu usulan untuk penerimaan keanggotaan seperti itu diajukan pada Kongres Parindra tahun 1937, tetapi sampai kongres berakhir belum ada keputusannya.
            Pada kongres Parindra tahun 1938, partai memberikan peluang kepada golongan peranakan untuk menjadi anggota Parindra. Artinya Parindra dianjurkan bekerja sama dengan partai-partai peranakan seperti Partai Tionghoa Indonesia, tetapi tidak membuka kepada orang peranakan secara individual. Hampir satu tahun setelah Parindra menerima usulan tersebut, partai nasionalis Gerindo justru membuka keanggotaannya bagi golongan peranakan. Sebagai suatu partai sayap kiri, Gerindo berorientasi internasioanl. Gerindo justru percaya bahwa kemerdekaan Indonesia akan sangat tergantung pada situasi internasional. Untuk itu Gerindo memperbolehkan anggota-anggotanya bekerjasama dengan penguasa kolonial atas dasar ancaman Fasisme yang dipandang lebih besar daripada ancaman kolonialisme. Bahkan dalam kongres Gerindo di Palembang Amir Sjarifoeddin memberikan pembenaran bahwa Gerindo membuka pintunya kepada golongan peranakan atas dasar kaum nasionalis Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa semakin banyak orang peranakan yang berminat untuk menggabungkan diri kepada gerakan nasionalis Indonesia. Oleh karena itu, pintu harus dibuka untuk mereka.
            Nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh nasionalisme dan modernisasi yang tumbuh di Tiongkok sejak akhir abad ke-19. Terdapat tiga macam orientasi nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia, pertama nasionalisme yang berorientasi pada Tiongkok, dalam hal ini diwakili oleh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan, Sin Po (Persuratkabaran), Siang Hwee (perdagangan), dan Soe Po Sia (politik). Kedua, kelompok intelektual berpendidikan Belanda yang berorientasi kepada pemerintah Hindia Belanda. Kelompok ini diwakili oleh Chung Hua Hui (CHH). Ketiga, golongan nasionalis etnis Tionghoa yang berorientasi pada Indonesia. Kelompok ini diwakili oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI).
            Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan pada tahun 1932 merupakan contoh komunitas etnis Tionghoa peranakan yang memiliki keberpihakan politik dan ekonomi terhadap Indonesia. PTI telah mengidentifikasikan diri sebagai warga negara Indonesia dan memiliki kepedulian yang tinggi untuk berjuang bersama partai politik yang pada saat itu telah ada untuk memperjuangkan nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.






[1]  Ibid., hlm. 4.
[2] Onghokham, “Pengaruh Gerakan Cina dalam Kebangitan Nasional”, dalam Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000), hlm. 146-151.
[3] Orang Jepang mendapatkan status hukum yang sama seperti orang Belanda pada tahun 1899. Negara Jepang yang modern dan kuat dapat melindungi dan meningkatkan posisi orang Jepang di Hindia, sementara negara Tiongkok yang masih lemah dan belum modern tidak dapat melakukannya. Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 47
[4]
[5] Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status Eropa termasuk pengetahuan berbicara bahasa Belanda, pemilikan sejumlah barang tertentu di kalangan anak-anak, dan wajib dinas militer. Suryadinata, op.cit. hlm. 25, 35.

0 comments:

Post a Comment