Membangun Komunikasi
Eksekutif dan Legislatif
(Fandhy
Achmad Romadhon / F1D010046)
Sungguh menarik pembahasan mengenai
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dimana akhir-akhir ini sedang menjadi
sorotan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di daerah Kabupaten
Banyumas. Dimana di Kabupaten Banyumas terjadi perseteruan antara Bupati dan
DPRD. Hal ini sangat menarik, dimana kedua-duannya dipilih oleh rakyat.
Membangun komunikasi antara lembaga
eksekutif dan lembaga legislatif perlu adanya hubungan timbal balik. Guna
terciptanya kerja yang baik untuk rakyat maka dalam hal ini perlu dilakukan
pembagian kerja yang jelas dimana legislatif (DPR) memiliki tugas dalam membuat
Peraturan Daerah (Perda), membuat anggaran, dan menjadi alat kontrol eksekutif.
Dan yang lebih penting DPR itu bisa menjalin komunikasi antara masyarakat,
Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Pusat yang lebih tinggi, dan semua itu perlu
adanya saluran komunikasi politik. Tujuannya untuk menyampaikan apa yang sudah
DPR lakukan dan apa yang akan dilakukan DPR.
Muncul persoalan dimana terjadi
komunikasi yang tidak lancar (Miss Communication)
antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif yang oleh orang awam sering
disebut sebagai bentuk ketidakharmonisan antara Legislatif dan Eksekutif.
Akibatnya muncul kerenggangan hubungan atau bahkan konflik antar kedua lembaga
tersebut. Alangkah baiknya apabila hubungan antara Legislatif dan Eksekutif di
daerah khususnya Kabupaten Banyumas, adalah tercipta hubungan yang saling
kemitraan. Seperti yang tertuang dalam UU no 32 tahun 2004 dimana pemerintah
daerah dan DPRD itu memiliki hubungan yang sejajar dan saling kemitraan, dan
bukan saling bersaing satu sama lain. Pola hubungan Legislatif dan Eksekutif
memiliki 3 bentuk pola hubungan, antara lain sebagai berikut :
1. Pola
Searah Positif à
Pola yang sangat ideal dimana terjadi hubungan saling sinergi antara DPRD dan
Pemerintah Daerah (Bupati) yang memiliki satu tujuan yang sama guna mengemban
amanat rakyat.
2.
Pola Konflik à
Pola yang terjadi ketika Legislatif dan Eksekutif tidak memiliki tujuan yang
sama dan masing-masing dari kedua lembaga tersebut saling mengedepankan ego
masing-masing.
3.
Pola Searah Negatif à
Pola yang terjadi ketika antara Legislatif dan Eksekutif memiliki tujuan yang
sama namun dalam hal negative, seperti merampok uang rakyat.
Terjadinya komunikasi yang baik antara
Legislatif dan Eksekutif dapat dilakukan dengan hubungan yang jelas. Masalah
yang timbul dalam hubungan komunikasi Legislatif dan Eksekutif, antara lain :
1.
Miss Perseption à
Hal ini terjadi karena belum ada kesepahaman dalam rencana-rencana / kebijakan
yang akan dibuat.
2.
Miss Management à
Hal ini terjadi dimana masing-masing lembaga Legislatif dan Eksekutif sudah ada
tugas dan wewenang masing-masing namun salah urus, akibatnya terjadi benturan
antar keduannya.
3.
Human Relations à
Hal ini terjadi karena adanya Miss
Communication antar kedua lembaga tersebut dimana Legislatif dan Eksekutif perannya
tidak jalan.
Munculnya ketidakharmonisan antara
lembaga Eksekutif dan Legislatif disebabkan karena adanya mis-komunikasi dimana
dalam proses perencanaann kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Solusi dari
masalah ini adalah perlu adanya komunikasi yang baik antar kedua lembaga
Legislatif dan Eksekutif . Komunikasi yang baik itu terjadi tidak hanya
komunikasi formal, namun juga komunikasi informal. Komunikasi informal
terkadang mampu menjadi solusi untuk memecahkan kebekuan yang terjadi di antara
kedua lembaga tersebut. Jadi, untuk mengatasi masalah ini perlu adanya
komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik itu bisa dilakukan secara formal
maupun informal guna mencairkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh
lembaga Legislatif (DPRD) maupun lembaga Eksekutif (Bupati) yang ada di daerah,
khususnya di Kabupaten Banyumas.
0 comments:
Post a Comment