Mekanisme yang harus dilakukan untuk Merubah Watak
Birokrasi
(Fandhy Achmad Romadhon)
Substansi
pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan
dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan
dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan
tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi
pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan
publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai
politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang lain.
Siapapun
bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan kepentingannya. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan,
birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai
program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi
dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas
umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda
oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi
kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan
urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur emerintahan . Akibatnya,
birokrasi selalu mendapatkan citra negative birokrasi seperti itu, birokrasi
perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a.
Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada
hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan
b.
Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi
modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas
yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi
tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c.
Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur erjanya
yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan
cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi
biaya dan ketepatan waktu.
d.
Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada
ebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau
melakukan transformasi diri dari birokrasi ang kinerjanya kaku (rigid) menjadi
organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel
dan responsif.
Dari pandangan tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan
publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika
strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan
struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi
kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan
cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan
masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi
birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar
memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency),
dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Dalam
tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang
terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1)
Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat
dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan
penghematan alokasi penggunaan keuangan
(3)
Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan
level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan
masyarakat pelanggan
Mencermati
pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan publik dapat digaris bawahi bahwa
keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu
birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk
melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok
yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua,
aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat
pelanggan.
Dalam
hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus dipahami
oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :
(a)
Prinsip Aksesitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara
mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur
pelayanan)
(b)
Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus
tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku
bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu
bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat
yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan,
ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan
(d)
Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus dapat
dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis
dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(e) Prinsip Akunitas, yaitu bahwa
proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada
hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat.
Begitu pentingnya
profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81
Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani
oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1)
Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu
ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang
meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian,
dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara
pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja
pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian
biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu
penyelesaian pelayanan
(3)
Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat
memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat
(4)
Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan,
unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses
pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami
oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5)
Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada halhal
yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
(6)
Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus
ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan,
kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang
dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan
distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti
bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang
telah ditentukan.
Oleh
karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu
dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus
disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat
pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan
proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan. Hal ini dimungkinkan
agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang
dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan
kualitas pelayanan publik ini, yaitu :
(1) Bisa
jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani
sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual
knowledge),
(2) Bisa
jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi
kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer
knowledge),
(3) Bisa jadi masyarakat
pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi
kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer
knowledge), dan
(4) Bisa jadi baik aparat
birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu
dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual
Ignorance).
Dalam
hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression
Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity
dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena
tertentu (Fred Luthans, 1995). Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis
untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Statu misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor
yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik
antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik
lingkungan, variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik
kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi
pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang
menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain
adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam
hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non
pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas
maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah
(b)
Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja
organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan
organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana
budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak
terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang
seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
Untuk
solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan publik
sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkah-langkah strategis
antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang
sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik
demokratis; Kedua : Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam
pelayanan publik; Ketiga: Meningkatkan keterlibatan masyarakat, baik
dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik
maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat
: Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi
pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian); Kelima:
Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam: Pentingnya
faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat
pelayanan publik; Ketujuh: Pentingnya perhatian terhadap faktor
pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi kebutuhan
minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan: Pentingnya faktor
keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan: Pentingnya
faktor sarana phisik pelayanan publik; Kesepuluh : Adanya saling
pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat
birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk
mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam
pelayanan publik.
Secara teoritis,
perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan ikuti oleh kegiatan
pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak langsung merubah pula
tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada. eterkaitan semacam ini
berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural, fungsional, finansial,
personalia, teknikal maupun perubahan-perubahan dibidang fisikal (tata ruang
pelayanan kerja) yang memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut.
Perubahan dalam organisasi
(birokrasi) apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru kan
menimbulkan dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak positifnya
(Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi
dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja, erubahan struktur, fungsi,
finansial, personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus
diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and
see) sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur,
fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi
bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia yang dikuti
oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena
mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika
hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud engan reformasi administrasi
(birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak utonomous (murni).
Referensi
1. Almond, Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas,
Princeton University ress.
2. Caiden, Gerald, 1986, Public Administration, dalam
MZ.Lawang, Pengantar Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
3. Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan
Akses pada elayanan Publik Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, Fisipol
UGM, Yogyakarta.
4. ---------------------, 1995, Kebijaksanaan Pembinaan
Organisasi Publik Pada PJP I, Percikan Pemikiran Awal, Makalah Pelatihan
Analisis Kebijakan Sosial Angkatan III, Yogyakarta.
5. Hardjosoekarto, Sudarsono, 1994, Beberapa Perspektif
Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Nomor 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia.
6. Heady, Ferrel and Sybil l. Stokes (ed), 1962, Papers in
Comparative Public Administration, The University of Michigan, Institute of
Public Administration, Ann Arbor, Michigan.
7. Islamy,M.Irfan, 1999, Reformasi Pelayanan Publik,
Makalah Pelatihan Strategi Pembangunan Sumber Manusia Aparatur Pemerintah
Daerah dalam Era Globalisasi, di Kabupaten Daerah Tingkat II Trenggalek.
8. Kristiadi,JB, Revitalisasi Birokrasi dalam Meningkatkan
Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurna Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Nomer 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia.
9. Luthan, Fred, 1995, Organizational Behavior, Mc.Graw
Hill Interntional.
10. Moenir, H.AS, 1998, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia,
Cetakan III, Bumi Aksara, Jakarta.
11. Osborne.D and T.Gaebler, 1992, Reinventing Government; How
The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Rending
Mass:Addison-Wesley.
12. Riggs, Fred.W, 1964,Administration in Developing Countries,
The Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston.
13. Rondinelli. DA. 1981, Government Decentralization in
Comparative Perspectivve: Theory and Practice in Developing Countries,
International Review of Administrative Science, Volume XLVII, Number 2.
mantap, sangat bermanfaat.
ReplyDeletewww.kiostiket.com
=D
Delete