Hai, Madu.
Ini aku Ara,
teman lama (mantan kekasih)mu yang kau panggil Kopi, gara-gara namaku Mahmud
Arabika. Arabika. Ya, Kopi Arabika, kopi yang jadi favorit ayahku dan
jadi sumber rejeki keluargaku. Ya, ayahku adalah peramu kopi arabika, ayahku
sangat menyukainya. Dan entah sebab apa, kita bertemu di kedai kopi di tengah
kota. Rima Dunarsih, itulah namamu. Rima Dunarsih, ku plesetkan jadi Madu sesuai namamu riMA-Dunarsih.
Dan kau pun tertawa menerimanya. Aku tertawa. Kita tertawa bersama.
Rabu malam setahun
kemudian, di tempat yang sama, kau mungkin tak sadar hari itu akan menjadi
pertemuan yang penting. Berbulan-bulan sudah ku tahan cintaku padamu, dan hari
ini adalah hari yang tepat untuk mengutarakannya padamu. Aku bingung, harus
bagaimana mengatakannya dan bagaimana cara mengutarakannya. Aku tak begitu ahli
soal begini. Ketika berangkat aku bimbang, apakah mesti kubukakan seluruh
perasaanku agar kau dapat mengetahuinya. Atau aku biarkan saja tertutup karena
kau pasti bukan tak tahu, hanya saja barangkali aku sebenarnya yang tak tahu.
Tak ada kata yang
mampu kuucapkan, karena begitu banyak atau karena terlalu mempesonanya dirimu
sehingga lidahku kehilangan tajinya. Barangkali malam itu aku hanya akan
memandangimu saking sebegitu tak sanggup untuk mengatakannya. Aku tak tahu apa
yang terjadi, dan tak tahu apalagi yang akan terjadi. Aku tak sadar telah
melakukannya, tak sadar telah mengatakannya. Aku tak tahu tentang cinta. Aku
tak tahu tentang harapan. Aku hanya tahu aku menyayangimu. Aku tak menyangka
bisa mengatakannya, dan lebih tak menyangka tatkala kau menerimanya. Kau dan
aku resmi pun menjadi kekasih. “Kopi dan
Madu yang bersatu” begitulah candamu tatkala aku mengantarmu pulang malam
itu.
Tiga tahun,
hanya bertahan tiga tahun kisah cinta kita. Bukan karena aku, bukan pula karena
kamu. Tapi karena keluargamu yang kau sebut seperti Sarang Lebah Madu. Begitu berisik,
begitu sering mengusik, dan terlalu dalam menelisik. Berkata ini, berkata itu,
menyabotase semuanya, merusak segalanya. Menghasut orang tuamu bahwa aku ini
tak layak bersanding denganmu, dan juga menawarkan orang lain sebagai
penggantinya, yang artinya kau akan dijodohkan. Mereka telah masuk terlalu
dalam ke dalam istana cinta kita, mendobrak masuk, dan mengobrak-abrik semua
rencana kita yang sudah tersusun rapi. Menjadikannya puing, menjadikannya
reruntuhan, segera hatiku pun menjadi berantakan.
Semenjak itu
kita jarang bertemu, sekalinya bertemu kau dan aku hanya bertatap mata tanpa
kata. Hanya mata yang bicara lewat caranya, alam semesta hanya diam saja. Hanya
sepatah kata yang kau ucapkan, sepatah kata yang menghancurkan. “Kita harus berpisah.” Itulah katamu. Aku
tertegun, alam semesta tertegun, waktu pun seolah ikut tertegun. Terhisap dalam
pusara keheningan yang lama. Aku terdiam, kau malah terisak. Hanya peluk yang
ku berikan, namun bukan mendiamkan justru menghancurkan bendungan pertahanmu.
Tangismu makin deras. Malam itu kita berpisah, depan rumahmu kau beri aku
sepucuk surat.
“15 Hari lagi tahun baru datang, aku ingin
menghabiskannya denganmu. Tapi apa daya, hari itu adalah pernikahanku
dengannya. Aku dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tua. Aku ingin berkata,
aku ingin berontak tapi apa daya melawan orang tua sama saja melawan alam
semesta. Aku ingin berteriak lantang tapi Aku tak mampu. Hidupku sekarang sudah
pakai rencana, karena aku dijarah kewajiban. Maafkan aku, aku tetap
menyayangimu. Selamanya.
Madumu, Rima.”
Aku tak tahu apa
yang telah terjadi. Aku tak tahu apa yang telah aku baca. Aku tak tahu apa
maksudnya. Aku hanya tahu aku telah kehilangannya. Kehilangan tujuan, tujuan
akhir tempat hati ini ku labuhkan. Hatimu adalah pelabuhan hatiku, dan sekarang
pelabuhan itu sudah hilang tersapu gelombang pasang. Gelombang pasang yang
bernama perjodohan. Mau mengumpat tapi mengumpat apa? Mau protes tapi protes
kepada siapa? Berpikir? Ah tidak, aku tidak mau berpikir, tidak mau
memikirkannya toh semua tak ada gunanya.
Pada malam yang
besar ini ku kecilkan seluruh diriku, aku tak boleh mengecewakan siapa pun,
perasaan kecewaku bukan hal penting. Aku harus melepasmu, mengikhlaskanmu
pergi, dan memandangmu dengan bebas. Begitulah aku akan mencintaimu sekarang,
sesudah kau menjadi orang lain. Selamat jalan Madu-ku, semoga kamu bahagia
dengan lelaki pilihan keluargamu. Aku disini, di pojokan kedai kopi favoritmu, kedai
kopi favorit kita dan selalu mendoakanmu.
Kopimu, Ara.
"Tulisan
ini disertakan dalam giveaway 2 tahun blog Kata Reffi."
Terinspirasi Tulisan-tulisan Aforisma dalam buku Uap karya Putu Wijaya
kopi pun berkata: "kutunggu jandamu madu,,," :(
ReplyDeleteduh kok jadi sedih gini yakk :((
DeleteJangan bunuh diri ya kopi. nanti gue gak bisa ngerasain nikmatnya menghisapmu :(((
ReplyDeleteduh kok jadi sedih gini yakk (2) :((
Deletehhhmmm... Bacanya sampe serius banget :((. Lanjut terus!!
ReplyDeleteini juga sama ...
Deleteduh kok jadi sedih gini yakk (3) :((
Gue sampai terbawa suasana bacanya. Keren!
ReplyDeleteaduh makasih... ini baru bener :D
Deletegaul juga namanya, mahmud arabika. sekalian aja mahmud hot cappucino pakai susu dikit..
ReplyDeletehahaha terima kasih jev
DeleteAkhirnya melepaskan.. Tapi aku yang bacanya ikutan nyesek :'
ReplyDeletelha ini samaan pula..
Deleteduh kok jadi sedih gini yakk (4) :((
madu di tangan kananmu. racun di tangan kirimu. eakk
ReplyDeletebagus banget ini surat cintanya. jadi ikut terharu bacanya. pasti sakit banget itu. btw, ini dari kisah nyata apa karangan doang?
Kisah nyata campuran kisah fiksi kakak :D haha terserah dah nilainya mau kayak gimana XD
Deletesayang gak jadi ya mas, padahal enak banget tu kopi pakai madu, saya pernah ngerasa di kedai kopi temen... :)
ReplyDeletehaha iya nggak jadi, si madunya harus nikah duluan.....
Delete