Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan waktu
sendiri, menikmati sunyi di waktu dini hari. Ketika semua orang terlelap dalam
tidurnya, aku lebih memilih terjaga dengan segala keriuhan yang ada di kepala.
Dunia terasa sunyi, namun di dalam kepala terasa riuh sekali.
Jauh dari lubuk hati, sungguh kuakui, bahwa aku
sangat menikmati waktu seperti ini, meski terkadang kedua mata seringkali
berkhianat tatkala aku ajak untuk melakukannya. Mereka lebih suka berkomplot
dengan rasa kantuk, daripada tetap terjaga di waktu dini hari. Semacam
konspirasi alam semesta, semacam konspirasi melawan kesadaran diri. Dua cangkir
kopi hitam pun tak mempan melawannya. Hanya bisa merutuki diri ketika terbangun
di waktu pagi.
Lalu, aku harus
bagaimana? Begitu katamu, ketika
aku ceritakan semuanya di teras rumahmu, di waktu malam minggu. Kamu tidak
menjawab segera. Sebagai jawaban, kamu malah memelukku dengan erat, begitu hangat.
Terasa begitu lekat, lambat, rapat, rasanya ingin kuhentikan waktu, agar momen
ini tidak lekas tamat.
Sosokmu mungkin hanya seorang wanita biasa, yang masih
suka kebingungan melihat tingkahku yang terkadang di luar kenalaran. Seringkali
kamu sebal bukan main melihat tingkahku, namun seringkali kamu gemas bukan
kepalang melihat kekonyolanku. Rasanya, aku pikir, jauh di dalam hatimu, kamu
ingin sekali menampol mukaku dengan sepatu high-heels,
sejenak menancapkan alas tajamnya di kepalaku, seolah untuk menyadarkanku dari
dunia utopia, menyeretku kembali ke dunia nyata. Untungnya, kamu tidak
melakukannya. Seringkali, kamu menggantinya dengan gigitan kencang pada salah
satu telinga, menyadarkanku seketika, dan langsung aku balas dengan pelukan
yang akan membuatmu menyesal.
Di luar surga, manusia kecewa. Tapi seperti harapan,
kecewa juga lahir dari rongga yang bisa menelannya kembali. Mungkin rongga itu
sebenarnya rasa syukur yang luas tapi tak selalu jelas.(*) Dan bagiku,
kehadiranmu adalah sebuah mukjizat. Mukjizat seperti istilah yang dipakai Rachel
Bespaloff ketika ia membicarakan puisi Iliad,
“Mukjizat terjadinya pengulangan yang tak
mungkin terjadi.” Namun, terkadang kamu dan aku ingin mendapatkan mukjizat
itu. (**) Cukup pernikahan sederhana
tanpa resepsi yang memakan banyak biaya, begitu harapmu. Tapi sayangnya,
orang tua meminta yang sebaliknya.
Seringkali kamu berkeluh kesah dalam setiap muka
ceria, seolah tidak ingin dunia melihat dirimu bersusah hati, namun kamu juga
tidak berani mengakui bahwa dirimu susah setengah mati menahan diri untuk
mengumpat ke segala sisi.
Setiap kamu tersenyum, di sudut matamu memancarkan
rasa. Keresahan yang terbenam, kerinduan yang tertahan. Duka dalam yang
tersembunyi, jauh di lubuk hati.(***) Jauh dalam dirimu, aku tahu bahwa dalam
waktu ramai, kamu seringkali merasa terjebak sepi, seorang diri. Seringkali kulihat
tatap mata yang kosong, kadang terlihat seperti tatapan nanar, terkadang sebuah
pertanda, bahwa kamu hanya butuh sebuah pelukan hangat, yang memberimu
kekuatan, dan menyadarkan bahwa kamu tidak sendirian.
Sebagian orang beranggapan bahwa sebuah resepsi
pernikahan selayaknya dirayakan dengan penuh kemeriahan. Tidak terkecuali
dengan permintaan orang tua yang meminta untuk dibuatkan resepsi pada umumnya.
Tapi sayangnya, umum yang dimaksud mungkin umumnya orang berkerah putih di
dalam TV sana, yang menghamburkan uang sedemikian banyaknya hanya untuk sebuah
resepsi pernikahan.
Bagi kaum berkerah kumal, hal itu sungguh terasa
begitu memusingkan. Meratap dalam senyap, terjebak dalam pengap, tergunjing
dalam pusara omongan orang yang tak layak dikudap. Kata-katamu begitu riuh
ketika menceritakan semuanya, kepadaku di waktu itu. Seolah, jauh sebelum aku
datang engkau sudah menyiapkan segala sesuatunya.
Barangkali takdir sudah tergariskan dalam hidupmu
untuk bersusah-susah dahulu sebelum masa bahagiamu. Keruh, Riuh, Peluh, Keluh,
Simpuh, Luruh. Keruh pikiranmu melihat segala sesuatunya menjadi riuh,
menjadikan kemejamu kusut penuh peluh. Bekerja dalam keluh sungguh membuat
dirimu tak lagi utuh, dalam simpuh engkau mengaduh, penuh doa, air matamu
luruh.
Diam-diam, aku bangkit dari tidurku, dan ikut
bersimpuh. Sejenak kemudian, rasa kantukku kembali utuh, kesadaranku tak lagi
penuh. Dalam tidur, aku bermimpi melihatmu bersimpuh, dengan baju basah oleh
peluh, tubuhmu rubuh, tak lagi utuh. Seketika aku terbangun, mengaduh riuh, tersadar
bahwa kini kantukku telah runtuh.
(*) Dikutip langsung dari Salah Satu tulisan
Goenawan Mohammad di buku Tentang Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, Bagian
75, Hal 126.
(**) Rachel Bespaloff dalam Goenawan Mohammad,
Tentang Tuhan dan Hal-hal yang tak Selesai, Bagian 93, Hal 152.
(***) Dikutip dari lirik lagu Kupu-Kupu Kertas karya
Ebiet G. Ade.
waktu sendiri aku sering merindukan nya, sekarang saat siang hari aku sepi sendiri. Waktu itu aku bisa menikmati bahkan merenungkan segalanya, terima kasih atas kehidupan yang diberikan Nya
ReplyDeletebicara tentang tradisi pernikahan yang harus dirayakan dengan meriah, saya termasuk yang tidak sepaham mas.. tapi apa daya mau dikata, kita hidup di kehidupan sosial yang sempit kwkwkw.. btw saya tadi pas baca judul saya kira merancap.. ternyata meracau hahaa
ReplyDeleteKadang suatu keinginan berbeda dengan kenyataan ya. Dan juga kadang keinginan pribadi berbeda dengan keinginan orang lain.
ReplyDeleteBegitulah yang sering terjadi dalam kehidupan manusia.
Ada kok temenku yang pernikahannya ya sederhana, akad aja di rumah. Nggak masalah
ReplyDeleteBahasanya sastra banget nih, bacanya memuat kita ingin berpuisi dan terkadang aku ga paham heee.............bagusnya aku jadi kepengen balajar lebih lagi di bidang penulisan. Ketidakpahaman kan menandakan kalau aku masih kusang ilmunya di sana.
ReplyDeleteSemoga nanti semesta berkonspirasi juga dalam perayaan pernikahan yang sederhana dan khidmat.
ReplyDeleteJadi ingin baca Tuhan dan Hal-Hal Yang Tak Selesai juga, Kak Fan
Untuk orang yang masih single seperti saya, belum ada minat menikah tetapi selalu berpikir apa layak jika nanti aku menikah dengan sederhana? Tetapi ada pemikiran lain bahwa menikah itu sekali sehidup semati kenapa harus sederhana?
ReplyDeleteMemang kenyataan tak seperti angan
saya punya quote menarik "Sebaik-Baiknya Wanita Adalah Yang Paling Murah Maharnya, Sebaik-Baiknya Lelaki Adalah Yang Memberi Mahar Paling Banyak."
ReplyDeleteNamun itu kembali ke individunya masing-masing
Seringkali anak dan orangtua punya perbedaan-perbedaan pendapat yang tak ketemu simpulnya. Ya kita sebagai anak sebaiknya nurut saja selama pilihan ortu enggak melanggar aturan agama atau hukum. Hehe. Sok tau yak.
ReplyDeleteBtw tulisannya bagus.. banyak yg berima :)
waduh, aku enggak kebayang kalau digigit telinga sama psangan :)
ReplyDeleteMeracau sendiri dan diikuti dengan menulis racauan yang tak jelas itu bagus. Jadi ada karya yg dihasilkan, seperti tulisan ini. Semoga segera dapat solusi dari masalahnya kak.
ReplyDeleteMeracau sendiri terkadang diperlukan untuk menyegarkan otak. Kita perlu wadah menyalurkan unek-unek dalam jiwa
ReplyDeleteAku rindu meracau sendiri. Terima kasih mengingatkan aku sudah lama tidak meracau.
ReplyDeleteHmm wedding ya. Entahlah. Pada akhirnya mantan pacarku saat itu cuma bilang, ya udah yang penting menyenangkan orangtua. Insya Allah ada pahalanya.
meracau...
ReplyDeletesemoga ga sedang kacau hehehe
meski kadang memang perlu meluahkan semuanya
btw...bicara ttg resepsi mmg tergantung pribadi masing-masing
klu sy sih yg penting tidak memberatkan kedua belah pihak
toh yg penting halal dan resmi di hukum negara
Sebagai wanita, aku sih tergantung si lelaki, oke gak kalau ngadain resepsi gedhe dll. Karena balik lagi itu soal biaya yang akan dikeluarkan apalagi buat orang sederhana. Tapi gak dipungkiri bahwa perempuan itu ingin pernikahan yang beda dari yang lain
ReplyDeleteMenyendiri bagi ku seperti me time lho. Saking padatnya kerjaannya 6 bulan terakhir .... menyendiri sangatlah langka.
ReplyDeleteKadang resepsi pernikahan tu yang menginginkan ortu. Saya dulu krn sama2 anak pertama, pertama kali menikahkan anak akhirnya nurut sama ortu. Pdhl pengennya mah dananya buat rumah aja hehe. Tapi yaweslah kapan lg kan bikin ortu seneng. Apalagi udah 6 tahun kami nikah, adik2 blm ada lagi yg nikah. Lha ini knp komennya ttg resepsi ya hihihi.
ReplyDeleteSebenarnya, tidak begitu penting, mau dirayakan dengan meriah atau resepsi sederhana saja. Yang penting sah dan selamat. Hehehe...
ReplyDeleteAku sering merasakan itu. Di luar sepi tapi dalam hati riuh sekali. Meracau seakan menikmati sendiri kacau balau di kepala
ReplyDeleteAkan indah pada waktunya...
ReplyDeleteMenikah tak perlu mewah yang penting langgeng...hingga ujung masa..
Aku juga suka melakukan percakapan sendiri di dalam kepala saat malam hari. Mempertanyakan banyak hal, menjawabnya, kemudian membantahnya kembali... Sibuk. Tapi menyenangkan. Waktu untuk mengenal diri sendiri. Aku pun suka merasa sepi ditengah keramaian.
ReplyDeleteInginnya kalau punya anak perempuan, menikah dengan acara yang pantas.
ReplyDeleteBukan ingin bermewah-mewahan, namun ingin menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Tulisan menarik penuh makna.
ReplyDeleteMenikah memang rumi rum mahal *lalugalau
Suka dengan gaya bahasanya, pengen belajar caranya hehehe, krn bs bikin kita yg baca berimajinasi ... , seperti gigitan kencang di telinga ... #eh
ReplyDelete