Lantas apa lagi yang mesti kutulis, jika segalanya
hilang dan tak terbaca
Kenangan lamat-lamat memudar, harapan hari esok
hanya mimpi-mimpi mencekam
Sekali waktu, besok, lusa atau hari yang tak
mengenal musim
Aku mungkin hanya bisa mengenangmu, hanya bisa
mengenangmu.
(Nissa Rengganis, Tentang Mata dan Sebuah Kota Tak
Bernama)
Lantas
apa yang harus aku tulis? Jika rasa dan kata perlahan memudar, lalu lenyap
dalam ketiadaan. Tiada lagi yang tersisa, selain abu dan remahan kalimat yang
berserakan di dalam kepala. Hujan tidak mengenal musim, di dalam kepalaku, ia
bisa menciptakan banjir bandang yang menghanyutkan segalanya, termasuk aku
beserta kata demi kata, yang tidak sempat dituliskan oleh aku, dan
menjadikannya niscaya lalu lenyap dalam ketiadaan yang nyata.
Sepanjang malam, aku dan pikiranku
saling berdialog, berdiskusi perihal segalanya, perihal semua kata-kata yang
sudah dibebaskan, dan berbagai macam upaya yang akan dilakukan untuk menjemput
lagi semuanya. Mengantarnya kembali kepada aku yang kini sedang berusaha
mengingat lagi perihal caranya merangkai kata demi kata, kalimat tiap kalimat.
Dan, semuanya dimulai tanpa aku sadari...
Di
luar, angin malam bertiup kencang, menerbangkan daun-daun yang jatuh dan
menjadikannya berserakan, tidak beraturan. Tercerai berai kesana kemari.
Menunggu pagi untuk dirapikan kembali. Seperti halnya aku yang kini sedang
menanti pagi, dengan meratapi tulisan yang kian tak beraturan, tidak terpetakan
arahnya mau kemana. Angin malam semakin menderu kencang, sesekali kilat
menyambar, ah sepertinya malam ini akan turun hujan.
Di ujung meja kerja, tumpukan buku
semakin menggunung, secarik kertas tersampirkan begitu saja. Terjepit di antara
tumpukan buku, dengan tinta yang kian samar, tertuliskan tiga baris kalimat,
entah siapa yang menulisnya.
Aku hanya ingin
duduk denganmu,
Bertahun-tahun,
menerjang sapuan
Waktu hingga
sepi hijrah ke tubuh ini*
Jauh
di ujung ingatan, sebaris kalimat bersimpul tiba-tiba muncul begitu saja. Jika
hanya sekedar membaca buku, tanpa mencoba merenunginya dan menuliskannya, lalu
apa guna semuanya? Loncat, kalimat itu meloncat begitu saja. Bagaikan meteor
yang terjatuh ke dalam lautan, menciptakan gelombang pasang yang menyebar ke
segala arah. Menghantam telak sekoci rasa percaya yang ingin melarikan diri,
dari aku yang kini tampak seperti kapal tua yang hendak karam oleh
ketidakyakinan akan segalanya.
Mei, tanggal satu, saat ini, tidak ada
lagi mars-mars yang berkumandang secara terbuka. Hanya ada gema-gema masa lalu
yang masih saja menyanyikan suara-suara yang dibungkam dengan paksa. Oleh
mereka yang mengaku sebagai pihak yang benar, dan tentu saja, yang paling
berkuasa atas segalanya. Jauh di atas segalanya. Bahkan melupakan kenyataan
bahwa ada Dia yang berkuasa atas segalanya. Mimpi atau bukan, dalam ingatan
terlarung semua hal-hal yang diimpikan namun tidak sempat dijadikan nyata. Dari
tepian kasur, terekam jelas semuanya, perihal suara-suara yang kini terbungkam
oleh kenyataan bahwa ada darah yang sama di antara mereka berdua.
Dalam Takutku,
kuniatkan terus melantunmu
Selama kata-kata
masih boleh disepuh
Dan bentangan
makna masih bisa ditempuh,
Sebulir bulan
kan mengalir di mimpi kita.
Mengawasiku,
mengawasi lirisnya doa,**
Doa-doa
kita.
Sejumlah
kata mulai terangkai menjadi kalimat yang tidak beraturan. Sejumput rasa
perlahan menyemak menjadi perdu, menciptakan sendu, melarutkan kelabu
menjadikannya abu, yang kemudian tertiup ke laut, menghanyut bersama
pelaut-pelaut bersuara merdu yang sering kau sebut sebagai rindu. Rindu yang
seringkali disalaharti, oleh mereka yang tidak pernah mengerti.
Sejumput rindu perlahan mengering
menjadi perdu yang dengan mudahnya tersulut oleh cemburu. Membakar semuanya,
tanpa menyisakan apa-apa, kecuali luka yang tak terselami oleh kata-kata, yang
tak sempat menjadi kalimat penuh peluk cium perjumpaan, akan dua insan yang
kini saling memendam kesumat. Laknat dan khianat seolah kini tiada bedanya.
Melupakan segala nikmat, akan pelukan dan tubuh yang sempat merekat, dalam satu
sekat yang bernama nikmat.
Rupa-rupa,
bentuknya beraneka rupa, jika harus ditanya bagaimana menjelaskan dengan
penyebutan benda, maka jawabannya adalah rupa-rupa. Rupa-rupa rasa tercipta
dikala dua insan yang saling merindu, saling bertemu. Saling merekatkan satu
sama lain, entah itu rasa entah itu bagian tubuh yang lainnya. Semuanya bersatu
tanpa ada lagi sekat yang memberatkan keduanya dalam kerinduan yang semakin
padat. Perlahan semuanya menyublim menjadi kenangan manis yang tersembunyi,
dalam rahasia, yang kan terbawa sepanjang usia.
Pagi dinihari, di atas meja kerja, jam
menunjukkan waktunya untuk berpisah. Dalam satu hela nafas penuh keengganan,
masing-masing dari kita bergegas memunguti segala yang berserakan. Tidak hanya
pakaian, status, kehormatan, perasaan hati pun perlu untuk dirapikan kembali.
Akan jadi bencana, jika masing-masing dari mereka tahu bahwa kita berpisah di
ujung pagi, setelah semalam suntuk tenggelam dalam lautan kenikmatan. Tiada
kata-kata, hanya ciuman sederhana, yang menjadi salam perpisahan yang tidak
diinginkan berdua.
Sementara kita
masih tersaruk-saruk di gelap rimba,
Masing-masing
dari kita masih keras kepala
Menunjukkan
siapa yang sia-sia dalam cinta.***
Sepenggal
kalimat di ujung malam, menjadikannya rekat di antara kepingan kenangan yang
berantakan dalam relung hati yang kian tersamarkan oleh kenyataan yang tidak
diinginkan. Senyap, pengap, dan gelap. Tidak ada lagi yang perlu dituliskan
lagi. Lalu perlahan terdengar suara bisik samar-samar; “Manusia, bawalah
kemungkinan secukupnya.”
Seketika
melankoli mengeras di tengkuknya. Seketika pagi menjemputnya.
Aku
tahu, sulit dipercaya jika pada akhirnya aku bisa menyelesaikan satu tulisan
yang dipenuhi kalimat-kalimat tak beraturan. Semakin sulit dipercaya, jika ternyata
kalian membacanya. Terima kasih atas waktunya. Sampai jumpa.
Karawang, Awal Mei di Tengah Pandemi.
(*) Sepenggal
Baris Puisi karya Adimas Immanuel, berjudul Inersia.
(**) Sepenggal
Baris Puisi karya Adimas Immanuel, berjudul Kunikos.
(***)Sepenggal
Baris Puisi karya Adimas Immanuel, berjudul Isle
Of The Dead.
Akhirnyaaaa! Lanjutkan menulis lagi yaaa. Wkwk
ReplyDeleteYok nulis terus, mz. Saya pun mulai kembali nulis wkwk
ReplyDeleteMantap makin liris aja nulisnya bisa2 ngalahin Adimas ini mah.
ReplyDeletetulisan terakhir masih bulan April mas, sedangkan saya tulisan terakhir sepertinya udah tahun lalu hihih... Mari sama-sama mencoba menulis kembali. Benar juga sih apa gunanya membaca dan mengerti kalau tidak dituliskan kembali dan berbagi kepada orang lain
ReplyDeleteHatiku sedang berserakan, jadi ini mau beres-beres juga. Mengambil secukupnya saja. Ada banyak hal yang tak sesuai keinginan. Tapi ya kita harus menerima kenyataan
ReplyDeleteIyaaaa! Aku juga lagi mulai menulis lagi nih, mau coba aktif di blog lagi biar gak begitu streess. Yok, kita ramaikan dunia menulis lagi!
ReplyDeleteSaat aku membaca 1 Mei entah kenapa ingatanku langsung melayang pada buruh-buruh pabrik, yang aku sendiri pernah jadi bagian dari mereka. sekitar 2013 saat produksi tiba2 beberapa orang masuk ke ruang produksi, terus mencak-mencak nyuruh kita berhenti produksi dan ikut turun ke jalan. Serem tapi seru.
ReplyDeleteSelamat datang kembali Kak Fandy. Untuk seorang sastrawan, tidak sulit untuk terus kembali menulisa bahkan jika sudah vakum bertahun-tahun. Keep writing, Kak.
ReplyDeleteKalau Fandhy uda nulis...abis ini jadi buku.
ReplyDeleteKereen, Fan.
Kalau menulisnya plus menyertakan penggalan puisi gini, aku tak yakin bisa menyelesaikannya.
ReplyDeleteJadi.....
Bravo! Semangat menulis. Ibarat naik sepeda, setelah dapat titik keseimbangan akan bisa melaju dengan kecepatan mana pun
Ini pasti karena yang di kepala sudah mulai penuh ya? Aku kalau baca buku sebenernya bingung apakah perlu bikin review atau enggak semacam diselipin kaya gini. Kalau baca doang nanti poin pentingnya lupa, kalau review rasanya berat sekali karena jadi berasa nambah beban. Ah, bagusnya nulis poinnya aja kali ya. Ayo nulis kembali
ReplyDeleteThe information you've provided is quite useful. It's incredibly instructional because it provides some of the most useful information. Thank you for sharing that. meja kerja
ReplyDelete