Hidup memang dongeng. Tidakkah kau tahu itu?
Dulu sewaktu
kecil, memiliki mimpi menjadi Pegawai Bank merupakan sebuah mimpi yang penuh
anomali. Anomali karena sebagian besar anak-anak seusiaku dulu memimpikan jika
sudah besar ingin menjadi seorang Tentara, Polisi, Guru, Dokter, atau bahkan
Bintang Film. Tidak ada yang salah dengan cita-cita mereka, hanya saja ketika
ditanya mengapa aku memiliki cita-cita untuk menjadi Pegawai Bank ketika besar
nanti, alasanku sungguh sederhana. Karena menjadi Pegawai Bank, merupakan
pekerjaan yang keren, berseragam rapi, bekerja di tempat ber-AC, dan yang
terpenting alasan terakhir karena menjadi Pegawai Bank setiap harinya bekerja
dengan banyak uang. Sungguh alasan yang matrealis betul.
Ku tempuh pendidikan formal selama dua belas tahun, plus empat tahun plus ekstra ketika
kuliah, Mimpi itu tetap aku pegang erat-erat meskipun setiap tahun persentase
besaran keyakinan akan mimpi itu semakin surut saja. Apalagi setelah mengetahui
kenyataan bahwa semakin banyak pilihan yang ditawarkan di masa kuliah, membuat
Pegawai Bank menjadi pilihan terakhir. Pilihan pertama jatuh kepada jajaran
pekerjaan berseragam, seperti Polisi, Tentara, Pegawai Negeri Sipil, dan
Anggota Dewan. Terkadang memang benar, hidup itu penuh ironi, sekaligus penuh
elegi.
Di
kala Upah Minimum Kabupaten menjadi yang terkecil di antara Kabupaten yang
lainnya, maka merantau setelah lulus kuliah adalah pilihan terakhir yang harus
dipilih. Apalagi dengan status
pengangguran yang semakin lama menjadi beban keluarga, maka ketika ada
informasi lowongan pekerjaan di salah satu Kota Industri bisa menjadi sebuah
angin segar. Ya apa salahnya mencoba sekali lagi. Sebelumnya, mendaftar
pekerjaan adalah sebuah mimpi buruk, karena semakin banyak lowongan pekerjaan
yang coba aku daftar, hampir semuanya menjawab dengan tidak pasti. Entah karena
surat lamaran pekerjaan tidak sampai ke tujuan, tidak diproses, atau bahkan
tidak sesuai dengan spesifikasi perusahaan, semua itu sudah pernah aku rasakan.
Bahkan sampai suatu hari aku mendapatkan telepon dari nomor asing yang
mengatakan bahwa si penelepon itu berasal salah satu perusahaan yang mana
sebegitu banyaknya perusahaan yang aku kirimkan surat lamaran pekerjaannya,
sampai lupa nama perusahaannya.
Untuk
mewujudkan mimpi masa kecilku, aku sudah mencoba mengirimkan lamaran pekerjaan
ke semua bank yang ada di kota asalku. Hampir semuanya tidak ada yang merespon.
Mendaftar pekerjaan di tempat lain pun hasilnya sama, tidak ada kejelasan. Digantung
tanpa kejelasan nasib sangat tidak menyenangkan, apalagi ditambah dengan status
Sarjana, menjadi Sarjana Pengangguran bukanlah
suatu hal yang dapat dibanggakan. Apalagi ditambah orang tua yang sering jadi
bahan pergunjingan orang perihal aku yang sarjana namun menganggur, semakin
membuatku yakin bahwa merantau adalah pilihan terakhir. Dan, aku memilih untuk
merantau. Beruntunglah, aku diterima bekerja di salah satu percetakan di
Karawang. Kota yang terkenal akan Kawasan Industrinya.
Memulai
kehidupan di tanah rantau bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi di tempat dengan
budaya sosial dan bahasa yang berbeda dari tempat asal. Adapt or die! Adaptasi adalah kunci bertahan di tanah rantau.
Memahami masyarakatnya, memahami budayanya, memahami bahasanya, setidaknya
memperpanjang kesempatan untuk bertahan di tanah rantau. Masih sering
merindukan keluarga di kampung halaman adalah ujian yang sering datang di
minggu-minggu pertama berkerja di perantauan. Homesick. Tapi tidak ada pilihan lain, selain bertahan. Aku lebih
memilih untuk menderita karena urusan pekerjaan, daripada menderita karena
tidak memiliki pekerjaan.
Seorang
sarjana bekerja di Percetakan bagi sebagian orang adalah sebuah anomali.
Anomali yang seringkali menciptakan pertanyaan penuh cibiran. Pernah “Masa
seorang sarjana kerjanya di percetakan?” Apakah salah, jika seorang sarjana
bekerja di sebuah percetakan?
Cerita lengkapnya bisa dibaca di Cerita di Tahun 2016.
Tak terasa,
sudah hampir empat tahun aku bekerja di percetakan, bekerja di luar kota dan
jauh dari orang tua memaksa aku untuk berubah. Tak lagi manja, tak lagi malas.
Kebiasaan bangun kelewat siang terganti dengan kebiasan bangun dini hari, entah
sekedar untuk menanti suara adzan pertama atau sekedar membaca buku ditemani
secangkir kopi, aku mulai terbiasa akan kebiasaan baru.
Banyak
orang yang menganggap bahwa bekerja di percetakan itu berat, dikejar banyak
target, sudah begitu gajinya kecil pula, serba mepet untuk kebutuhan hidup.
Tapi, ternyata bekerja di percetakan itu menyenangkan juga. Ya kapan lagi coba
bisa mendengar mesin cetak yang mendengung dan memotong tumpukan kertas, dimana
lagi aku bisa menikmati aroma wangi kertas yang baru dipotong setiap hari,
kapan lagi coba aku melihat banyak tumpukan kertas berwarna-warni. Aku bahagia
bekerja di percetakan.
Pada
akhirnya, mimpi menjadi Pegawai Bank terkubur perlahan, dikubur dalam-dalam. Sungguh
aku juga tidak pernah menyangka, jika pada akhirnya pekerjaanku tetap saja
berurusan uang, hanya saja ini bukan di bank, tetapi langsung di tempat
percetakannya. Ya, kini aku bekerja di Percetakan Uang Republik Indonesia.
Telihat seperti
dongeng ya, tapi bukankah kehidupan memang sebuah dongeng? Dongeng yang
meninabobokan setiap orang, menidurkannya, dan menawarkan mimpi-mimpi indah. Pada
akhirnya, hanya sedikit orang yang beruntung untuk mampu mewujudkan mimpinya. Dan,
sepertinya aku bukanlah orang yang beruntung.
Hidup memang
dongeng, bukankah kau sudah tahu itu?
Apakah bekerja di percetakan uang adalah pekerjaan yang harus dirahasiakan sampai orang lain harus bilang "Masa seorang sarjana kerjanya di percetakan?" atau memang pekerjaan mencetak uang gajinya kecil?
ReplyDeleteMohon dijawab pertanyaan dari Asdar di Cianjur. Terima kasih.
Nice information, I am heartily obliged to you that you have shared this essential information with us. I got some different kind of knowledge from your web page, and it is helpful for everyone. Thanks for share it. Digitrac Tractor
ReplyDelete