Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Politik
Politik Kekerabatan : Studi Kasus Politik Dinasti di
Indonesia
( Fandhy Achmad Romadhon / F1D010046 )
Maraknya praktik politik dinasti
menunjukan akar feodalisme dan tradisi monarki di tanah air yang belum banyak
berubah. Saat ini, politik dinasti tengah menjadi tren diberbagai daerah di Indonesia.
Praktik semacam ini harus segera dihentikan, bukan hanya bertentangan dengan
semangat hakiki demokrasi, namun praktik politik dinasti berpotensi kuat
menutup peluang masyarakat untuk menjadi pemimpin. Politik Dinasti telah ada dan telah berlangsung di Indonesia sejak Bung
Karno berkuasa. Meskipun Politik Dinasti tidak melanggar peraturan
berdemokrasi, dalam praktiknya Politik Dinasti menahan adanya mobilisasi
sosial, sebab kekuasaan hanya diasosiasikan pada golongan masyarakat tertentu
saja. Politik Dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan
keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Politik Dinasti yang dalam
bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara
turn-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat. Rezim
politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap
perpolitikan dan biasanya orientasi Politik Dinasti ini adalah kekuasaan.
Politik dinasti (dynasty politics) secara sederhana dapat
diartikan sebagai praktik kekuasaan dimana anggota keluarga (sanak famili) diberi dan/atau mendapat
posisi dalam struktur kekuasaan, jadi kekuasaan hanya terbagi kepada dan
terdistribusi dikalangan kerabat, keluarga sedarah. Secara umum, Politik Dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan
bagikepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) untuk bertujuan
mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu Negara.
Politik
Dinasti merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang ber
tujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Terdapat pula pengertian positif dan negatif tentang Politik Dinasti. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan Politik Dinasti bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka Politik Dinasti dapat berarti positif. Akan tetapi, bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti Politik Dinasti juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik bersangkutan. Politik Dinasti yang terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka Politik Dinasti dapat berarti negatif
tujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Terdapat pula pengertian positif dan negatif tentang Politik Dinasti. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan Politik Dinasti bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka Politik Dinasti dapat berarti positif. Akan tetapi, bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti Politik Dinasti juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik bersangkutan. Politik Dinasti yang terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka Politik Dinasti dapat berarti negatif
Di zaman modern ini, Politik
dinasti itu sudah dikatakan basi. Apalagi di Indonesia yang menganut sistem
demokrasi seharusnya sudah jauh-jauh ditinggalkan, karena prinsip demokrasi
adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan ada di
tangan rakyat. Rakyat memegang kendali melalui hak pilih yang dimilikinya. UUD
1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Jadi
dinasti itu lawannya dari demokrasi. Namun di era demokrasi sekarang ini,
dinasti juga masih tetap berlaku meskipun sudah ada partai politik ataupun
pemilihan langsung. Dinasti dewasa ini melalui partai politik, sehingga disebut
sebagai politik dinasti. Politik dinasti itu bahasa lainnya adalah nepotisme.
Para pejabat politik di negeri ini sedang memperaktekkan kebiasaan para raja
terdahulu. Bisa dilihat bagaimana penguasa baik di pusat maupun daerah
berlomba-lomba untuk mengangkat sanak keluarga, saudara, kerabat dan
orang-orang dekat mereka untuk mengisi jabatan-jabatan di wilayah kekuasaannya.
Kalau seperti ini apa bedanya demokrasi dengan oligarki, sama-sama dipegang
oleh elite tertentu.
Namun di era demokrasi sekarang
ini, dinasti juga masih tetap berlaku meskipun sudah ada partai politik ataupun
pemilihan langsung. Dinasti dewasa ini melalui partai politik, sehingga disebut
sebagai politik dinasti. Politik dinasti itu bahasa lainnya adalah nepotisme.
Para pejabat politik di negeri ini sedang memperaktekkan kebiasaan para raja
terdahulu. Bisa dilihat bagaimana penguasa baik di pusat maupun daerah
berlomba-lomba untuk mengangkat sanak keluarga, saudara, kerabat dan
orang-orang dekat mereka untuk mengisi jabatan-jabatan di wilayah kekuasaannya.
Kalau seperti ini apa bedanya demokrasi dengan oligarki, sama-sama dipegang
oleh elite tertentu.
Politik dinasti di internal
partai politik sangat terlihat menonjol. Para penguasa, pendiri dan elite
partai berlomba-lomba mengkaderkan anak, kerabat dan sahabatnya sebagai
penerusnya. PDIP merupakan partai yang bisa dikatakan sebagai salah satu yang mengadopsi
dinasti politik. Megawati sebagai ketua umum partai mengkaderkan anaknya
sebagai penerusnya, Puhan Maharani. Di kubu Partai Demokrat juga tidak lepas
dari dinasti ini. SBY sebagai pioner PD dan memiliki otoritas yag sangat urgen
mengkaderkan anaknya, Ibas sebagai penerusnya. Saat ini, Ibas sebagai Sekjen
DPP Demokrat.
Politik
Dinasti yang muncul di Indonesia menunjukkan beberapa asumsi bahwa dengan
berkembangnya Politik Dinasti, maka kemungkinan besar, rakyat hanya akan
disuguhkan aktor-aktor politik yang itu-itu saja yang berasal dari satu
keluarga dan tidak jarang, aktor-aktor tersebut menerapkan pola kelakuan
politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama. Politik dinasti adalah akal-akalan paling kasar terhadap dan di
dalam demokrasi karena tujuan utamanya adalah memonopoli kekuasaan. Selain
melakukan penumbuhan politik melalui keturunannya, praktik politik dinasti
biasanya membentengi dirinya dengan argumen-argumen sederhana dan tampak sesuai
akal sehat. Argumen utamanya bersifat pembelaan diri, bahwa anggota keluarganya
adalah warga negara yang juga memiliki hak dan sudah memiliki kesiapan diri
jauh-jauh hari. Argumen ini dimaksudkan untuk memberi landasan ‘alamiah’ bagi
kemunculan anak, istri, atau kerabat sehingga di mata orang banyak seolah-olah
mereka sama sekali tidak memiliki keterhubungan dengan si biang. Sementara di
dalam lingkungan yang sempit, para pengikut serta hulu balang si biang secara
perlahan tapi pasti terus menerus saling meyakinkan akan peran-peran baru dari
si turunan. Hipokrasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam politik
dinasti: ke luar mereka hendak terlihat berjarak, alamiah dan demokratis tapi
ke dalam mereka mempersiapkan diri secara tertutup, kasar bahkan mungkin dengan
paksaan oleh turunan tubuh-politiknya.[1]
Politik dinasti adalah percobaan
monopoli terhadap kedaulatan rakyat yang dilakukan secara terencana seringkali
secara sangat modern dan ‘rasional’. Si turunan disekolahkan, dijamin karirnya
di partai-partai tempat orang tua mereka berkiprah. Dalam konteks negara
seperti Indonesia dan Amerika Latin, politik dinasti semakin mendapatkan
kekuatannya karena tradisionalisme dan sifat-sifat patrimonial masih melekat
kuat dalam struktur masyarakat.
Gejala Politik Dinasti juga marak terjadi
di dalam partai-partai politik di Indonesia. Seperti Politik Dinasti di Partai
Demokrat misalnya figur utamanya adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian menempelkan kerabatnya
termasuk istri dan anaknya, dalam struktur Partai seperti Edie Baskoro sekjen
partai demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009 di Indonesia, tidak hanya
sampai disitu SBY juga menempatkan dan mengangkat Letjen Erwin Sudjono (ipar)
sebagai kepala Staf Umum TNI, kemudian menempatkan Mayjen Pramono Edhie Wibowo
(Ipar) sebagai pangkostrad pada waktu itu, dan pada awal 2011 Pramono
dipromosikan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Politik dinasti di Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), tokoh sentral partai tersebut adalah Megawati Soekarno Putri yang
aliran atau trah Bung Karno yang menunjuk kerabatnya pada
waktu itu untuk posisi penting di partai tersebut, saya melihat PDI-P trah akan berlanjut ke Puan Maharani anak
kandung dari Megawati Soekarno Putri, ketua umum PDI-P paling lama.
Klan dan trah Soeharto juga nampak mengisi panggung
politik Orde Baru. Kristianto (2011) menyebutkan bahwa Orde Baru dengan Politik
Dinasti ekonomi bisnis baru, yakni kerabat dan kroni keluarga Cendana. Politik
Dinasti pada rezim Orde Baru berkembang dalam dua arena sekaligus yakni arena
bisnis dan arena politik, Politik Dinasti Soeharto melalui sejumlah kroni
Cendana juga ikut berperan besar membuka peluang munculnya dinasti bisnis dan
politik baru disekelilingnya.
Tradisi politik dinasti di tubuh
partai politik sampai saat ini semakin menggurita. Sebagian besar parpol
termasuk partai politik besar memang tak mengharamkan berlakunya politik
dinasti. Di internal kepengurusan partai politik, juga mendiskripsikan
kentalnya politik dinasti, Itu karena penguasa di partai politik memang
mengkondisikan seperti itu. Maka tak heran ketika parpol menelurkan calon
legislatif maupun calon kepala daerah yang punya hubungan kekerabatan dengan
kekuasaan di parpol.
Politik dinasti juga terjadi di
sejumlah parpol ada yang sudah mengarah ke gaya kepemimpinan politik monarkhi.
Malah itu justru berlangsung di partai politik yang namanya ada label
demokrasi. Politik dinasti dalam tubuh partai akan
diberlakukan pula jika partai tersebut berhasil memperoleh kekuasaan politik.
Terlebih, politik dinasti akan coba dikekalkan dengan memperluas penguasaan
posisi dan kedudukan dalam politik agar bisa berlangsung selama mungkin. Partai-partai
lain juga menjalankan praktik yang sama, hanya tidak semenonjol PD dan PDIP
dalam membangun dinasti politik. Jadi di dalam partai-partai tersebut,
posisi-posisi strategis banyak didistribusikan atas dasar hubungan
kekeluargaan. Pengaruh kekerabatan di dalam partai politik ini bukan hanya bisa
dilihat dalam posisinya di tubuh partai politik, melainkan juga kedudukannya di
DPR sebagai wakil partai. Sejumlah kerabat Megawati, Amien Rais, SBY, ataupun
para petinggi partai lainnya masuk menjadi anggota DPR melalui jalur partai.
Bahaya dari politik dinasti adalah
hasratnya untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat
alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di
atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan,
tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan
pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang.
Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi
ide, gagasan, porgram dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli
kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.
Kalau seseorang elit
politik maju dengan mengandalkan politik dinastinya dan dengan mengesampingkan
etika sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan
terus merosot. Rakyat akan menilai ternyata bangsa ini di zaman reformasi dibangun
dengan sistem nepotisme. Pembentukan politik dinasti akan menciptakan
tatanan politik yang tak sehat. Walaupun menurut undang-undang hal itu tak
dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai dengan etika.
Menurut Zulkieflimansyah[2],
apabila politik dinasti ini diteruskan, akan muncul banyak dampak negatif. Pertama,
menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat
fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam
posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan
caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari
kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak
melalui proses kaderisasi.
Kedua,
sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan
masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan
hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat
potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam
menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga,
sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan
yang baik dan bersih (clean and good
governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif
sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari Politik Dinasti yang paling
sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang
tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana
orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan masih keluarga. Di
samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin
atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugasnya.
Politik dinasti
bahaya atau tidak merusak demokrasi, dalam penyelenggaraan negara apakah
boleh-boleh saja? Politik Dinasti tidak punya implikasi buruk terhadap
pembangunan sistem demokrasi. Demokrasi menjunjung nilai-nilai keadilan dan
kesejahteraan, apakah Politik Dinasti membahayakan demokrasi? Politik dinasti
bisa saja menjadi musuh bagi demokrasi karena peran publik dalam politik
dinasti tidak dianggap penting, yang paling substansial dalam demokrasi adalah
keterwakilan publik, untuk memilih pemimpinnya agar memperoleh pelayanan dan
kesejahteraan. Politik Dinasti hanya akan menjadi bahaya bagi politisi
“negarawan” sebab demokrasi mengajarkan kebebasan untuk memilih pemimpin,
dinasti hanya fokus kepada keinginan pribadi dan golongan untuk memerintah.
Konsep demokrasi
yang diterima banyak orang adalah demokrasi konsensus melalui legitimasi yang
disetujui banyak orang. Politik Dinasti bisa saja menghilangkan akal sehat yang
menghancurkan substansi politik dan demokrasi. Namun juga tidak salah pihak
yang mengatakan bahwa politik dinasti sah saja, bahkan harus dipertahankan,
sebab Politik Dinasti selama ini tidak merusak demokrasi. Politik Dinasti bukan
gejala yang mengkhawatirkan seperti pengalaman India, Politik Dinasti harus
tetap muncul dengan syarat tetap stabil dan berkualitas, sifat baik dan
buruknya Politik Dinasti tergantung kepada landasan dan filsafat politik, bagi
yang memegang liberal ekstrem berfikir bahwa politik adalah inti dari hak-hak
individu, Politik Dinasti diperbolehkan bahkan dipertahankan.
Politik Dinasti perlu dibatasi karena pertimbangan berikut. Pertama,
Politik Dinasti, terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik oligarkhi
yang bernuansa negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan
legislatif dikuasai oleh satu keluarga, maka mekanisme checks and balances tidak akan efektif. Akibatnya, rawan terjadi
penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarga.
Kedua, Politik Dinasti mengarah pada terbentuknya kekuasaan
yang absolut. Bila jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga
dekat yang berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun
menjabat, kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian
oleh anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan Soeharto ala
orde baru. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana
adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power
tends to corrupt, and Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely”
(kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung korup
secara absolut pula).
Ketiga, Politik
Dinasti pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan
sistem hukum serta penegakan hukum (law
enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik
menjadi tidak adil. Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi politik,
seperti Pemilukada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan
jaringan incumbent untuk memenangkan pertarungan seraya menyingkirkan para
kompetitornya. Apalagi, bila keluarga pun turut berbisnis ikut dalam
tender-tender dalam proyek pemerintah di daerah bersangkutan, maka dapat
dibayangkan dana-dana pemerintah dalam bentuk proyek mudah menjadi bancakan
dengan aneka warna KKN-nya. Dana pemerintah seolah milik uang keluarga.
Keempat, Politik Dinasti dapat menutup peluang warga negara
lainnya di luar keluarga incumbent untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini,
bila terjadi, akan mendegradasi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu
diatur agar jabatan kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus
menerus oleh satu keluarga inti secara berurutan.
Kelima, pembatasan Politik Dinasti diarahkan untuk meningkatkan
derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga
negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi
penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilu maupun Pemilukada.
Politik dinasti di dalam partai politik dimungkinkan tumbuh saat
cuaca demokrasi bersifat semu. Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi
kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi
seperti: partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa.
Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem
demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki. Politik
dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan
antar para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun
melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes
lainnya. Di titik ini, cuaca demokrasi hanya bisa dicerahkan dengan membangun
politik yang berintegritas. Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk
membuka selubung kepalsuan demokrasi yang selama ini dipraktikkan sekaligus
penghancuran oligarki.
Politik
dinasti terjadi karena terhambatnya fungsi parpol oleh sifat kebanyakan
masyarakat Indonesia yang masih menganut sistem parokial yang mementingkan trah
dan primodialisme. Sebagai contoh, pada masyarakat jawa yang masih kental
terhadap tradisi kerajaan, pemindahan kekuasaan terjadi pada lingkup keluarga
yang dipercaya memiliki kemampuan memimpin yang sama dengan pendahulunya. Hal
ini kurang baik, karena secara tidak langsung akan menutup kesempatan terhadap
calon pemimpin di luar lingkungan keluarga tersebut. Sirkulasi kekuasaan hanya
berputar di lingkungan keluarga tertentu, sehingga kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan semakin besar.
Politik
dinasti yang telah dikenal di Indonesia sejak zaman pra-kolonial (kerajaan)
masih menjadi tren pada masa demokrasi saat ini. Banyak kasus mengenai
politik dinasti. Hal ini disebabkan salah satunya oleh kebudayaan politik
masyarakat di Indonesia yanga sebagian besar menganut sistem parokial. Sistem
parokial menitikberatkan pada trah dan primodialisme (kedaerahan) yang tentunya
menghambat sistem demokrasi pancasila di Indonesia.
Politik
dinasti terwujud sebagai akibat dari hadirnya anggota-anggota keluarga dalam
ranah politik (dinasti-dinasti politik). Keterlibatana anggota-anggota keluarga
dalam politik memang tidak perlu dipersalahkan sepenuhnya. Namun, jika
dinasti-dinasti politik ini masuk atau menjadi kader partai dan difasilitasi
sebagai pemangku kebijakan dalam struktur kekuasaan-pemerintahan tanpa skil dan
kemampuan yang mumpuni atau keilmuan yang sesuai dengan bidangnya, maka hal ini
tidaklah dibenarkan. Bukankankah akan hancur suatu urusan (bangsa) jika urusan
itu tidak diserahkan kepada ahlinya?
Politik
dinasti yang mengambil ruang dalam euphoria reformasi lebih mementingkan
kepentingan keluarga dan atau kelompok - anggota keluaga, besan, menantu,
teman, kolega - kepentingan masyarakat dan bangsa dikesampingkan. Kondisi ini
memang sangatlah memprihatinkan, betapa tidak beberapa praktik politik dinasti
yang dijalankan oleh dinasti politik saat ini mengakibatkan pengangguran
meningkat, perilaku KKN dan penyakit sosial kian marak, eksploitasi sumber daya
alam tak terkendali, penyelewengan aset negara-daerah semakin marak, kepatuhan
kepada hukum rendah, sendi-sendi demokrasi kurang dihargai, dan pudarnya etika
kehidupan berbangsa.[3]
Dengan dikeluarkannya UU 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat memberikan kekuasaan yang sangat
luas kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Dengan adanya otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan keluasan kepada putra
daerah untuk membangun daerahnya. Otonomi
daerah, partisipasi masyarakat diharapkan
lebih banyak dalam membantu pembangunan. Namun dalam prakteknya ternyata
otonomi daerah ini bukan seperti itu. Malah otonomi
daerah ini memberikan keluasan kepada elite
untuk menguasai daerah. asih banyak lagi politik dinasti yang dipraktekkan di daerah-daerah. Baik itu
sebagai pimpinan tertinggi (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, dan Wali Kota/Wawali)
ataupun hanya ditempatkan sebagai pimpinan SKPD. Bisa dikatakan politik dinasti
sudah menjamur di daerah-daerah otonom.[4]
Politik dinasti ini sebagai
cambuk bagi berlangsungnya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah yang diberikan
pusat bukannya untuk dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi lebih kepada elite
masyarakat. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang
tersandera oleh demokrasi modern, yang disebut politik dinasti. Politik dinasti
ini meresahkan banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau politik
dinasti ini dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di zaman
dahulu. Dimana yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari kelangan,
keturunan dan keluarganya saja.
Menguatnya
lapisan dinasti politik yang menyebar ke beberapa daerah ini membahayakan masa
depan demokrasi di Indonesia. Pertama, dominasi dan belenggu
dinasti politik pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan
fungsi sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan
publik. Dalam jangka panjang dapat dipastikan akan makin mengerdilkan sistem
politik karena sirkulasi elite dan kepemimpinan yang mestinya bersifat terbuka
dan kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik.
Kedua,
dominasi dan belenggu dinasti politik menyeret sistem politik dan parpol ke
arah ”personalisasi dan privatisasi kepentingan politik”. Dalam sistem
demokrasi kesejahteraan, arena politik merupakan arena terbuka. Ada potensi
besar di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan
dikelola oleh parpol—yang mestinya untuk kepentingan publik—pada akhirnya
diprivatisasi oleh keluarga masing-masing.
Ketiga,
menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik ini juga akan semakin
membusukkan budaya politik dan etika publik. Adanya proses perekrutan elite
yang cenderung tertutup, dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik
yang terus dimonopoli keluarga, juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa
fase generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang perebutan
aset publik.
Keempat,
menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik merusak efektivitas kinerja
sistem politik. Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh para
elite dengan mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Padahal,
arena politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik
dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik.
Kian
maraknya politik dinasti, karena dikuasai oleh hanya beberapa elemen dan
individu ini akan melahirkan pragmatisme politik. Ironisnya Politik Dinasti itu
terlahir karena unsur uang. Untuk menguatkan sebuah dinasti politik pasti butuh
dana besar guna sosialisasi, menjaga image,
hingga mencari dukungan dari partai agar calon dari dinastinya lolos atau
diterima. Bahayanya, bibit nepotisme dari politik dinasti sangat rentan
terjadi. Banyak sekali kasus di daerah, misalnya seperti kasus contoh Dinasti Politik Ratu Atut Choisyah. Kakak kandung Atut, Ratu Tatu Chasanah menjabat Wakil Bupati Serang. Kakak tiri Atut, Tb Haerul Jaman menjabat Walikota Serang. Kakak Ipar Atut, Airin Rachmi Diany menjabat Walikota Tangerang Selatan. Kemudian, Anak
tiri Atut Heryani menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang. Sementara anak kandung Atut yakni
Andika Haszrumy anggota DPD RI saat ini dan nanti akan jadi caleg DPR. Adapun
Hikmat Tomet merupakan suami dari Ratu Atut juga mencalonkan anggota DPR RI.
Politik dinasti itu berbahaya
sebab menggunakan uang dan alat negara. Adanya otonom baru juga untuk mendorong untuk mengembangkan politik dinasti. Dan bahaya politik dinasti sekarang ialah cenderung menutup kesempatan
(kader lain memimpin), kalaupun terbuka kemungkinannya kecil. Belum
lagi, bahaya kekuasaan yang berlangsung dalam lingkaran dinasti ini akan
melahirkan kekuasaan tanpa koreksi. Menguatnya politik dinasti di sejumlah daerah ini
juga diwarnai maraknya potensi korupsi yang dilakukan para anggota keluarga
dinasti yang berkuasa. Benar bahwa dinasti politik bukanlah satu-satunya faktor
maraknya korupsi di daerah. Namun, makin rapatnya kuasa para dinasti di
sejumlah daerah, korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran
sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN kian tak
terhindarkan.
Politik
dinasti harus dilawan oleh semua kalangan. Masyarakat memiliki peran yang
sangat penting dan strategis untuk memutus politik dinasti ini. Masyarakat harus lebih aktif untuk memastikan bahwa di manapun negeri ini tidak
terjadi monopoli, tidak terjadi konsentrasi kekuasaan. Masyarakat tidak boleh terlalu bergantung pada sekelompok orang yang
ada di daerah itu. Seorang kepala daerah ataupun jabatan penting yang ada di
daerah harus diisi oleh orang yang memiliki akuntaabilitas, kapabalitas dan
integritas. Bukan oleh mereka yang memiliki uang. Prinsip keadilan harus tetap
ditegakkan.
Daftar Pustaka
Andrew, C. M. (1986). Central Government and Local
Government in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
Budiardjo, M. (1998). Partisipasi dan Partai Politik.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiardjo, P. M. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kompas, T. L. (2004). Partai-partai Politik Indonesia,
Ideologi dan Program. Jakarta: Kompas.
Maddick, H. (1983). Democracy, Decentralisation, and
Development. Bombay: Asian Publishing House.
Sanit, D. A. (1984). Sistem Politik Indonesia.
Jakarta: CV. Rajawali.
Sastroatmodjo, S. (1995). Partisipasi Politik.
Semarang: IKIP Semarang Press.
http://riantiarno.blogspot.com/2010/11/politik-dinasti-pemerintahan-indonesia.html
diakses pada tanggal 20 Oktober
2013 pada pukul 09.11 WIB
Zulkieflimansyah. “Dari Politik
Dinasti, Nepotisme Kekuasaan ke Budaya Partisipan”. http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=1386&page=1
diakses pada tanggal 20 Oktober
2013 pada pukul 09.22 WIB
http://saif85.blogspot.com/2012/10/dinasti-politik-di-indonesia.html
diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pada pukul 10.00 WIB
http://dedetzelth.blogspot.com/2013/03/politik-dinasti-mewarnai-otonomi-daerah_23.html diakses pada tanggal 19 Oktober 2013 pada pukul 20:22
WIB
[1] http://www.p2d.org/index.php/kon/51-30-maret-2011/264-akal-bulus-otoritarianisme-dalam-demokrasi.html
diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pada pukul 12.09 WIB.
[3] http://sabirlaluhu.blogspot.com/2011/10/menggugat-politik-dinasti.html
diakses pada tanggal 20 Oktober 2013
terima kasih artikelnya. mantap gan.
ReplyDeletewww.kiostiket.com
sama sama :)
DeleteYang kaya gini ko sepi sih komentar nya, skripsi nya jelek apa emng manusia indonesia apatis
ReplyDelete