Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Monday, December 9, 2019

Cerita Bima Sakti


(Sastra Ananta)
Duduk di samping jendela, melihat mereka bermain bebas. Menari kesana kemari, di bawah guyuran hujan, berlari riang, bermain air, tak peduli baju celana basah semuanya, tak peduli betapa repotnya nanti si bapak akan mencuci pakaiannya. Mereka kembar bersaudara. Semuanya bergembira, begitu juga aku yang melihat mereka dari balik kaca jendela.

Tidak jauh dari tempat dudukku, terlihat bapaknya yang mengawasi mereka dari balik jendela. Dia tersenyum saja melihat tingkah kedua anak kembarnya. Kembar bersaudara, Ardea Auriga dan Ardella Auriga, terlahir dengan jeda lima menit dengan Ardea sebagai yang pertama melihat dunia, begitu kata bapaknya. Sesekali dia melirik ke arah tempat dudukku, sembari geleng-geleng kepala dengan senyum di wajahnya, seolah meminta maaf kepadaku sekaligus mengharap pemakluman atas tingkah anak kembarnya. Dan, aku hanya tersenyum saja. Memakluminya.


Sebagai seorang calon bapak, mungkin aku belum terlalu mengerti betapa kebahagiaan anak adalah juga kebahagiaan orang tuanya. Untuk saat ini, aku masih belum mengerti benar akan perasaan itu, namun sebagai seorang lelaki yang pernah merasakan jadi anak-anak, aku paham betapa mengasyikkannya bermain di bawah guyuran hujan deras. Berlari kesana-kemari, dengan baju penuh cipratan lumpur, dan membayangkan seolah sedang menyelamatkan dunia dari serbuan pasukan langit, betapa lugunya, betapa lucunya jika aku kembali mengingatnya. Tak peduli bila pada malamnya, aku akan demam kedinginan. Dan, tentu saja mendapat omelan dari orang tua. Tapi, apa peduliku? Bukankah bermain di bawah guyuran hujan sungguh mengasyikkan?

(Kodaline - High Hopes)
Musik Sebagai Teman Membaca

Lamunan akan masa kecilku buyar, ketika Ardella membuka pintu, dan langsung menghambur ke tempat duduk bapaknya. Menarik-narik tangan bapaknya seolah hendak mengajaknya bermain hujan. Tentu saja bapaknya menolak dengan enggan, bukan karena takut akan hujan, bukan juga karena takut kebasahan. Tapi namanya juga anak, semakin ditolak, bukannya menyerah malah semakin gigih menarik tangan bapaknya.

“Ta, maaf ya ta, laporan keuangannya aku tinggal dulu.” kata bapaknya.
Aku mengangguk.
“Kalau aku tidak ikut ke acara mereka, nanti mereka tidak mau berhenti main hujan. Tahu sendiri kan?” Lanjutnya.
“Iya Bim, santai saja.” Jawabku.

Tak lama berselang, aku lihat Bima sudah melepas kemejanya, dan dengan kaos oblongnya berlarian kesana kemari mengejar kedua anak kembarnya. Ah betapa bahagianya mereka. Andai aku punya anak nanti, berapapun jumlahnya, akan aku ajak anakku untuk melakukan hal yang sama seperti yang sedang mereka lakukan. Bermain di bawah guyuran hujan. Bergembira, tertawa bersama, melupakan semuanya. Hanya bergembira, bergembira, dan tertawa. Bersama.

Namanya Bima, lengkapnya Bima Sakti Andromeda. Entah apa yang ada di kepala kedua orang tuanya, ketika memberi nama dia dengan nama dua galaksi sekaligus. Bima Sakti dan Andromeda. Sungguh terdengar janggal, namun begitupula adanya. Aku memanggilnya Bima, aku mengenalnya ketika jaman kuliah dahulu. Konon katanya, nama Bima Sakti diambil bukan dari rujukan nama Galaksi, tetapi dari nama Legenda Sepakbola Indonesia yang jadi pemain idola bapaknya, Bima Sakti. Sedangkan nama Andromeda, konon datang dari ibunya. Entahlah. Maka jadilah, Bima Sakti Andromeda.

Untuk olahraga kita satu selera, sama-sama suka Sepakbola. Bedanya, aku suka Nyonya Tua dari Italia, dia lebih suka Setan Merah dari Tanah Britannia. Begitu pula soal nasib, sama-sama tidak terlalu handal bermain sepakbola, gagal seleksi masuk tim sepakbola kampus, malah nyasar jadi tukang pukul andalan di tim voli kampus. Sungguh siapa yang menyangka, jika sampai bekerja pun ternyata ketemu lagi. Satu kantor. Satu ruangan pula. Guyonan Semesta, sungguh aduhai betul.

Hujan telah lama berhenti, namun mereka masih bermain di halaman depan. Tampak terlihat Ardea dan Ardella sedang saling melempar lumpur. Sungguh mengasyikkan betul, melihat keduanya bermain, tanpa peduli akan dimarahi orang tuanya. Lha wong Bapaknya saja ikut bermain bersama mereka. Sama-sama penuh lumpur juga. Dan, sama-sama tertawa pula.

“Ta, maaf ya ta, aku tinggal dulu.” Suaranya mengagetkanku.
Aku mengangguk. “Mau antar pulang Ardea dan Ardella dulu. Sekalian ganti pakaian juga.  Lanjutnya.
“Iya, santai saja. Titip nasi padang satu ya. Porsi lauk biasa.”
“Oke siap”.

Tidak lama kemudian terdengar suara deru mobil yang beranjak keluar dari tempat parkir.


(Bima Sakti)
Hujan sudah lama berhenti, namun aku tidak pernah berhenti melihat bayangan seseorang. Bayangan seorang wanita, ibu dari kedua anak kembarku. Seringkali aku masih mendengar suara tertawamu tatkala mendengar leluconku yang seringkali tidak lucu. Atau seringkali aku mendengar suaramu bernyanyi menimpali musik yang sedang aku putar di pemutar musik mobil ini. Seringkali, ketika pulang lembur malam, aku masih bisa melihat bayanganmu di depan pintu rumah. Seolah sedang menantikan kepulanganku, dan langsung tersenyum ketika melihat mobilku memasuki halaman depan rumah. Sungguh, dimanapun aku melihat bayanganmu. Sungguh, aku rindu kamu.

Bagaimana aku bisa mencarikan ibu baru untuk Auriga Bersaudara? Jika aku pun masih belum bisa melupakanmu. “Bagaimana caranya, Vega?” Bagaimana caranya? Jika di dalam kepala, aku masih ingat betul momen dimana aku mengucapkan kedua ijab kabul di hadapan penghulu dan bapakmu, ketika aku mempersunting dirimu?

“Saya terima nikahnya Devega Nur Lirasandi binti.....”

Atau, Bagaimana bisa aku melupakan jerit tangis kedua anak kita, Auriga Bersaudara, yang tak lama berselang kemudian diikuti oleh tangis langit, ketika di depan mataku kulihat dirimu menatap kedua anak kembar kita untuk kali pertama, hanya untuk tersenyum, tanpa kata, tanpa suara, lalu kembali menutup mata, untuk selamanya. Bagaimana bisa?

Aku sudah merelakan kepergianmu, aku sudah rela. Namun entah kenapa aku merasa ada yang hilang di dalam hidupku? Entah aku tidak tahu. Bahkan kedua orang tuamu pun sudah merelakanku jika aku ingin menikah lagi. Mencari ibu baru untuk kedua anak kembar kita. Mulutku sudah bisa mengatakan bahwa aku rela, namun ternyata hatiku masih tidak rela.

Aku tahu, namamu tersusun dari salah satu gugus bintang yang ada di Galaksi Bima Sakti. Gugus Bintang Lyra, dengan bintang yang paling terang bernama Vega. Salah satu bintang kelima paling terang di langit. Sungguh elok sekali rasanya ketika seorang lelaki bernama Bima Sakti bersanding dengan sosok wanita yang memiliki nama salah satu bintang paling terang di langit. Sungguh elok betul.

Dan, aku semakin bahagia ketika mendapati dirimu hamil.

Tak terbayangkan betapa bahagia sekaligus betapa sedihnya aku melihat kedua anak kembar kita terlahir dengan selamat. Aku tidak tahu, jika aku harus mengorbankan dirimu sebagai ganti kedua anak kita. Aku tidak tahu, jika semesta ternyata melakukan jual beli nyawa. Aku tidak tahu, jika ternyata harus ada anak manusia yang mati, ketika ada anak manusia lainnya yang lahir ke dunia. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu semuanya. Aku tidak tahu.

Dan, yang aku ingat, ketika terbangun, aku sudah tidak lagi di ruang bersalin. Tapi sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Entah oleh siapa. Hanya ditemani bapakmu, yang katanya sudah menemaniku sejak kemarin malam. Ternyata, aku pingsan.

Menemuimu adalah keinginan pertamaku setelah tersadar dari pingsan. Namun ketika memasuki ruang bersalin, segalanya sudah tampak sepi, dirimu sudah tidak lagi berbaring di ranjang. Tidak ada lagi suster dan dokter yang mengurusimu. Tidak ada lagi suara tangisan. Tidak ada lagi apa pun. Hanya ada sebaris tulisan di papan ranjang pasien. Dengan bertuliskan Namamu, dengan keterangan tanggal masuk, tanggal melahirkan, dan disertai keterangan tambahan. Tanggal kematian. Tak lama berselang dari waktu kelahiran.

Mendadak semuanya menjadi sunyi. Mendadak semua suara lenyap, mendadak semuanya menjadi senyap. Perlahan seluruh pandanganku menjadi gelap. Dan, suara terakhir yang bisa aku ingat adalah suara tubuh terjatuh ke lantai.


(Sastra Ananta)
Sejenak coba pikirkan apa yang mungkin terlintas di kepala kalian, jika harus menyaksikan prosesi kelahiran dan kematian dalam jarak satu jengkal. Bagaimana rasanya jika harus berhadapan dengan rasa bahagia dan rasa sedih dalam satu waktu yang sama? Bagaimana bisa?

Coldplay - Trouble
Musik Sebagai Teman Membaca



(Aku Sendiri)
Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku sungguh tidak tahu bagaimana untuk menjawabnya. Aku tidak tahu.

Pada akhirnya, apa yang tidak kamu ketahui, dan tidak ingin kamu ketahui, biarkanlah tidak diketahui. Karena dengan begitu, dirimu telah melakukan dua kebaikan. Menghormati privasi orang lain, dan menghormati orang lain dengan tidak ingin tahu lebih banyak. Itu saja.

Iya itu saja. Sungguh mendengar cerita tentang kawanmu itu, aku sungguh malu. Segala kesedihanku seolah tidak ada artinya bila dibandingkan dengan kesedihan temanmu itu.

Sungguh.

Aku tidak mengerti harus bagaimana lagi.

Karawang, 9 Desember 2019.

15 comments:

  1. Cerita tentang kematian always sucks. For me. Benci bacanya, suka nulisnya. Hehehe

    ReplyDelete
  2. Kosong, sepertinya rasanya langsung kosong ketika melihat kelahiran dan kematian dalam waktu yang bersamaan. Harus merasakan apa pun rasanya kosong. Namun semoga tragedi tersebut tak terjadi pada kedua insan manusia yang sedang akan menyambut hari bahagia

    ReplyDelete
  3. Kelahiran dan kematian, ada dan tiada menjadi sebuah keharusnya. Namun, tak mudah untuk menerima kehilangan, terlebih ada rasa yang begitu dekat di hati.

    ReplyDelete
  4. I love this for some reason. Nggak tau ya, jadi teringat cerita-cerita lain yang temanya serupa :(

    ReplyDelete
  5. Aku kok merasa hampa setelah membaca ini...
    Sesungguhnya bila ada datang, pasti juga ada kata pergi.
    Begitu juga kehidupan, pasti ada kematian.
    Kesudahan dari semua yang dimulai...

    ReplyDelete
  6. seperti yin dan yang. selalu ada keduanya. ada jiwa yang lahir ke duia dan ada yang harus kembali menuju Pencipta. Itulah hidup ya kang, mau disuka atau tidak. Selalu ada dalam kehidupan kita sehari hari

    ReplyDelete
  7. Proses melahirkan sering diidentikan dengan menantang kematian karena risikonya yang cukup besar, baca cerpen ini membuat saya membayangkan kebahagiaan sekaligus kegetiran tentang kehilangan

    ReplyDelete
  8. Rasa kehilangan yang sulit dilupakan namun kematian adalah sebuah kepastian..

    ReplyDelete
  9. Di paragraf awal, ketika tokoh utama dipanggil, "Ta," saya kira dia perempuan. Ternyata kependekan dari Ananta dan tokoh ini seorang laki - laki.

    ReplyDelete
  10. Kelahiran dan kematian semua memang rahasia Illahi. Kita tidak pernah tahu dan gak bisa apa-apa ketika memang ditakdirkan untuk terjadi.
    Meski begitu, tetap saja ikut pilu bila mendengar ada yang pergi

    ReplyDelete
  11. Ada kelahiran, ada kematian. Itu sesuatu yang normal. Saat sekarang ini, muisalnya, adalah musim melahirkan. Namun bulan ini juga banyak yang meninggal dan jumlahnya hampir sama.

    ReplyDelete
  12. Puitis sekali, saya mesti baca dengan seksama untuk dapat memahami isi dari karya sastra ini, maklum saya terbiasa dengan bahasa formal yang "to the poin" tapi sangat mengena sekali isinya,,

    ReplyDelete
  13. Nama-nama karakternya bagus. Cuman sudut pandangnya dari Sastra Ananta dan Bima Sakti terkesan sama sih cara bertutur dan karakternya. Mungkin akan lebih baik pake satu sudut pandang karater saja. Ini sih saranku

    ReplyDelete
  14. Udah jarang banget baca fiksi, kalau pun baca fiksi buat cerita anak, hehehe. Suka cara pemilihan diksinya, agak puitis. Lanjutkan

    ReplyDelete
  15. kematian itu pasti ..tapi untuk menerima langsung itu berat..sedih karena kehilangan butuh waktu untuk memudarkan kesedihan itu, dan tak kan pernah terhapuskan

    ReplyDelete