Sastra Ananta,
adalah nama yang diberikan orang tua kepada saya, dan Sastra Ananta memiliki
beberapa makna. Namun bagi mereka, nama adalah sebatas nama, tak peduli
maknanya apa, meskipun banyak orang mencibir mereka perihal pilihannya, karena
menurut mereka nama adalah doa. Apalagi jika menyangkut pemberian nama untuk
anak, karena mereka menganggap pemberian itu menyangkut masa depan anak. Dan,
Sastra Ananta menurut mereka itu tidak memiliki makna. Namun jawaban orang tua
saya justru sederhana saja;
Lha wong kita sebagai orang tuanya biasa saja, kalian yang bukan siapa-siapa kok malah repot mengurusi soal nama anak kita? Tenang saja, Ada Tuhan di atas sana yang sudah mengatur semuanya. Kalian manusia lebih baik diam saja!
Dan, seketika mereka langsung terdiam mendengar
jawaban orang tua saya.
Ya, terkadang banyak sekali orang yang tidak tahu
apa-apa, tidak ada urusannya, dan tidak penting-penting juga di dalam kehidupan
kita, sering sekali merecoki urusan hidup kita, mencampuri urusan kehidupan
kita, dan membuat gaduh semuanya, seakan-akan kehidupan mereka itu tidak
menarik. Entah karena mereka terlalu sibuk mengurusi kehidupan orang lain, atau
mungkin juga karena mereka kurang piknik, jadi mulutnya pada berisik,
menyebarkan bisik-bisik yang seringkali membuat masalah hidup semakin rumit.
Dasar Julid!
Saya tidak mengerti apa itu arti Sastra Ananta. Karena setiap kali soal
ini ditanyakan kepada orang tua, jawaban mereka selalu sama. Tersenyum, tanpa
kata, lalu berlalu begitu saja. Seolah ada gembok yang tiba-tiba mengunci
gerbang istana kata di mulut mereka. Seolah-olah lidah mereka terpenggal begitu
mendengar perihal apa arti Sastra Ananta. Lambat laun, saya merasa seperti
sedang berhadapan dengan kabut misteri yang tak bisa diterangkan oleh lentera
yang paling terang sekalipun. Mau tidak mau, saya harus mencari artinya
sendiri.
Tidak ada yang pernah tahu bahwa di dalam kepala
saya seringkali muncul berbagai suara yang entah darimana sumbernya. Entah
sejak kapan hal ini sudah terjadi, namun yang pasti suara-suara itu setiap
harinya bisa bergonti-ganti jenisnya tergantung suasana hati saya. Entah ada
pengaruhnya atau tidak, tapi hal itu seringkali terjadi begitu saja. Seringkali
saya sangat membenci suara-suara bising yang terdengar di dalam kepala. Namun, terkadang
saya sangat merindukan suara-suara di dalam kepala saya. Seperti halnya cinta
yang terkadang bisa berubah menjadi benci, dan begitu pula sebaliknya.
Terkadang saya mendengarkan semuanya, terkadang saya
mengabaikannya, dan terkadang saya mendengar suara orang sedang berdiskusi
perihal berbagai macam hal. Mulai dari pembahasan perihal politik, sepakbola,
budaya, dan bahkan tentang wanita, semuanya terdengar jelas dari dalam kepala
saya. Sungguh saya tidak mengerti itu suara siapa. Entah itu suara hati, suara
ilahi, atau mungkin juga suara setan yang kebetulan melintas, dan nimbrung begitu saja, sungguh saya tidak
tahu. Dan, yang bisa saya lakukan hanyalah diam saja, menyimak semua, dan
mendengarkan semuanya. Meskipun sesekali saya gatal untuk berkomentar tentang
hal-hal yang sekiranya tidak benar.
Dan, di jaman sekarang sungguh banyak sekali hal-hal
yang tidak benar namun sudah dianggap benar. Karena semakin banyaknya orang
yang mencoba untuk membenarkan, namun selalu kalah oleh mereka yang bertingkah
sok benar padahal aslinya sungguh tidak benar. Banyak yang membawa-bawa agama,
banyak pula yang membawa suku bangsa, dan tidak sedikit yang membawa para
pilihannya. Namun, entah mengapa mereka bertingkah semaunya, seolah-olah
merekalah penguasa atas segalanya. Padahal sudah jelas, bahwa ada Tuhan diatas
sana yang menjadi penguasa atas seluruhnya. Namun, entah kenapa mereka suka
sekali bertindak seperti Tuhan yang membenarkan dan menilai semau mereka? Kenapa?
Jujur saja, kepala saya ingin meledak jika
memikirkan semuanya. Jika mengikuti suara-suara sumbang yang ada di luar sana,
ingin rasanya saya bungkam semuanya, seperti halnya orang tua saya membungkam
mulut mereka tatkala mereka banyak berkomentar soal pemberian nama kepada saya.
Tapi saya tidak bisa, saya belum bisa melakukannya. Saya kalah dalam segalanya,
kalah suara dan tentu saja kalah dalam pengaruh kuasa. Hanya di kepala saja,
saya bisa bebas merdeka melakukan semuanya. Membiarkan semua suara-suara di
dalam kepala saya berbicara berbagai macam hal dengan bebasnya tanpa rasa takut
akan dikecam atau dikomentari oleh banyak manusia yang bertingkah seperti dewa.
Laut terus berusaha menciumi pantai melalui daya
ombaknya. Ia bahagia meski mungkin cintanya tak pernah sampai.* Seperti halnya Laut,
saya pun sudah terlanjur bahagia dengan apa yang ada di dalam hidup saya. Tak
peduli orang berkata apa, mau berkomentar baik dan buruk itu urusan mereka,
bukan urusan saya. Seperti halnya senja yang teramat merah yang melihat dan
mengawasi mereka yang masih menerka-menerka perihal cerita di dalam hidup saya yang
tak terbaca oleh mata mereka yang terbiasa melihat segalanya dari sisi
negatifnya semata.* Saya tetaplah saya, dengan segala suara-suara yang ada di
kepala. Saya tetaplah saya, dengan segala keanehan yang saya punya, dan saya
berhak bahagia, saya tetap harus berbahagia. Dengan atau tanpa persetujuan
mereka, karena bahagia yang menentukan itu saya, bukan mereka.
Jadi, apalah arti sebuah nama, jika pada akhirnya
saya tetap bisa berbahagia. Bahagia yang sederhana, bahagia yang tak
membutuhkan nama, ataupun membutuhkan persetujuan mereka.
Karena, Saya adalah saya, untuk saya, dari saya, oleh saya, yang berbahagia.
Karawang, Minggu Akhir Bulan.
Menjadi diri sendiri memang banyak sekali rintangannya ya Mas, tetap semangat dan tetap pada pendirian.
ReplyDeleteIya mbak, tetap semangat
DeleteJadi nama kamu sebenarnya Sastra Ananta atau Fandhy Achmad Romadhon?
ReplyDeleteDua duanya dalam satu tubuh
Deletekarena akhirnya hanyalah aku yang bisa menyelamatkan aku (?)
ReplyDeleteKarena saya adalah aku
DeleteYa, saya berhak bahagia 😊
ReplyDelete