(Sastra Ananta)
Duduk di samping
jendela, melihat mereka bermain bebas. Menari kesana kemari, di bawah guyuran
hujan, berlari riang, bermain air, tak peduli baju celana basah semuanya, tak
peduli betapa repotnya nanti si bapak akan mencuci pakaiannya. Mereka kembar
bersaudara. Semuanya bergembira, begitu juga aku yang melihat mereka dari balik
kaca jendela.
Tidak jauh dari
tempat dudukku, terlihat bapaknya yang mengawasi mereka dari balik jendela. Dia
tersenyum saja melihat tingkah kedua anak kembarnya. Kembar bersaudara, Ardea Auriga dan Ardella Auriga, terlahir dengan jeda lima menit dengan Ardea
sebagai yang pertama melihat dunia, begitu kata bapaknya. Sesekali dia melirik
ke arah tempat dudukku, sembari geleng-geleng kepala dengan senyum di wajahnya,
seolah meminta maaf kepadaku sekaligus mengharap pemakluman atas tingkah anak
kembarnya. Dan, aku hanya tersenyum saja. Memakluminya.
Sebagai seorang
calon bapak, mungkin aku belum terlalu mengerti betapa kebahagiaan anak adalah juga
kebahagiaan orang tuanya. Untuk saat ini, aku masih belum mengerti benar akan
perasaan itu, namun sebagai seorang lelaki yang pernah merasakan jadi anak-anak,
aku paham betapa mengasyikkannya bermain di bawah guyuran hujan deras. Berlari kesana-kemari,
dengan baju penuh cipratan lumpur, dan membayangkan seolah sedang menyelamatkan
dunia dari serbuan pasukan langit, betapa lugunya, betapa lucunya jika aku
kembali mengingatnya. Tak peduli bila pada malamnya, aku akan demam kedinginan.
Dan, tentu saja mendapat omelan dari orang tua. Tapi, apa peduliku? Bukankah bermain
di bawah guyuran hujan sungguh mengasyikkan?
(Kodaline - High Hopes)
Musik Sebagai Teman Membaca
Lamunan akan
masa kecilku buyar, ketika Ardella membuka pintu, dan langsung menghambur ke
tempat duduk bapaknya. Menarik-narik tangan bapaknya seolah hendak mengajaknya
bermain hujan. Tentu saja bapaknya menolak dengan enggan, bukan karena takut
akan hujan, bukan juga karena takut kebasahan. Tapi namanya juga anak, semakin
ditolak, bukannya menyerah malah semakin gigih menarik tangan bapaknya.
“Ta,
maaf ya ta, laporan keuangannya aku tinggal dulu.” kata bapaknya.
Aku mengangguk.
“Kalau
aku tidak ikut ke acara mereka, nanti mereka tidak mau berhenti main hujan. Tahu
sendiri kan?” Lanjutnya.
“Iya
Bim, santai saja.” Jawabku.
Tak lama
berselang, aku lihat Bima sudah melepas kemejanya, dan dengan kaos oblongnya berlarian
kesana kemari mengejar kedua anak kembarnya. Ah betapa bahagianya mereka. Andai
aku punya anak nanti, berapapun jumlahnya, akan aku ajak anakku untuk melakukan
hal yang sama seperti yang sedang mereka lakukan. Bermain di bawah guyuran
hujan. Bergembira, tertawa bersama, melupakan semuanya. Hanya bergembira,
bergembira, dan tertawa. Bersama.
Namanya Bima,
lengkapnya Bima Sakti Andromeda. Entah
apa yang ada di kepala kedua orang tuanya, ketika memberi nama dia dengan nama dua
galaksi sekaligus. Bima Sakti dan Andromeda. Sungguh terdengar janggal, namun
begitupula adanya. Aku memanggilnya Bima, aku mengenalnya ketika jaman kuliah
dahulu. Konon katanya, nama Bima Sakti diambil bukan dari rujukan nama Galaksi,
tetapi dari nama Legenda Sepakbola Indonesia yang jadi pemain idola bapaknya,
Bima Sakti. Sedangkan nama Andromeda, konon datang dari ibunya. Entahlah. Maka
jadilah, Bima Sakti Andromeda.
Untuk olahraga
kita satu selera, sama-sama suka Sepakbola. Bedanya, aku suka Nyonya Tua dari
Italia, dia lebih suka Setan Merah dari Tanah Britannia. Begitu pula soal
nasib, sama-sama tidak terlalu handal bermain sepakbola, gagal seleksi masuk tim
sepakbola kampus, malah nyasar jadi tukang pukul andalan di tim voli kampus. Sungguh
siapa yang menyangka, jika sampai bekerja pun ternyata ketemu lagi. Satu kantor.
Satu ruangan pula. Guyonan Semesta,
sungguh aduhai betul.
Hujan telah lama
berhenti, namun mereka masih bermain di halaman depan. Tampak terlihat Ardea
dan Ardella sedang saling melempar lumpur. Sungguh mengasyikkan betul, melihat
keduanya bermain, tanpa peduli akan dimarahi orang tuanya. Lha wong Bapaknya
saja ikut bermain bersama mereka. Sama-sama penuh lumpur juga. Dan, sama-sama
tertawa pula.
“Ta,
maaf ya ta, aku tinggal dulu.” Suaranya mengagetkanku.
Aku
mengangguk. “Mau antar pulang Ardea dan Ardella dulu. Sekalian ganti pakaian
juga. Lanjutnya.
“Iya,
santai saja. Titip nasi padang satu ya. Porsi lauk biasa.”
“Oke
siap”.
Tidak lama
kemudian terdengar suara deru mobil yang beranjak keluar dari tempat parkir.
(Bima Sakti)
Hujan sudah lama
berhenti, namun aku tidak pernah berhenti melihat bayangan seseorang. Bayangan seorang
wanita, ibu dari kedua anak kembarku. Seringkali aku masih mendengar suara
tertawamu tatkala mendengar leluconku yang seringkali tidak lucu. Atau seringkali
aku mendengar suaramu bernyanyi menimpali musik yang sedang aku putar di pemutar
musik mobil ini. Seringkali, ketika pulang lembur malam, aku masih bisa melihat
bayanganmu di depan pintu rumah. Seolah sedang menantikan kepulanganku, dan
langsung tersenyum ketika melihat mobilku memasuki halaman depan rumah. Sungguh,
dimanapun aku melihat bayanganmu. Sungguh, aku rindu kamu.
Bagaimana aku
bisa mencarikan ibu baru untuk Auriga Bersaudara? Jika aku pun masih belum bisa
melupakanmu. “Bagaimana caranya, Vega?” Bagaimana caranya? Jika di dalam
kepala, aku masih ingat betul momen dimana aku mengucapkan kedua ijab kabul di
hadapan penghulu dan bapakmu, ketika aku mempersunting dirimu?
“Saya
terima nikahnya Devega Nur Lirasandi binti.....”
Atau, Bagaimana
bisa aku melupakan jerit tangis kedua anak kita, Auriga Bersaudara, yang tak
lama berselang kemudian diikuti oleh tangis langit, ketika di depan mataku
kulihat dirimu menatap kedua anak kembar kita untuk kali pertama, hanya untuk
tersenyum, tanpa kata, tanpa suara, lalu kembali menutup mata, untuk selamanya.
Bagaimana bisa?
Aku sudah
merelakan kepergianmu, aku sudah rela. Namun entah kenapa aku merasa ada yang
hilang di dalam hidupku? Entah aku tidak tahu. Bahkan kedua orang tuamu pun
sudah merelakanku jika aku ingin menikah lagi. Mencari ibu baru untuk kedua
anak kembar kita. Mulutku sudah bisa mengatakan bahwa aku rela, namun ternyata
hatiku masih tidak rela.
Aku tahu, namamu
tersusun dari salah satu gugus bintang yang ada di Galaksi Bima Sakti. Gugus
Bintang Lyra, dengan bintang yang paling terang bernama Vega. Salah satu
bintang kelima paling terang di langit. Sungguh elok sekali rasanya ketika
seorang lelaki bernama Bima Sakti bersanding dengan sosok wanita yang memiliki
nama salah satu bintang paling terang di langit. Sungguh elok betul.
Dan, aku semakin
bahagia ketika mendapati dirimu hamil.
Tak terbayangkan
betapa bahagia sekaligus betapa sedihnya aku melihat kedua anak kembar kita
terlahir dengan selamat. Aku tidak tahu, jika aku harus mengorbankan dirimu
sebagai ganti kedua anak kita. Aku tidak tahu, jika semesta ternyata melakukan
jual beli nyawa. Aku tidak tahu, jika ternyata harus ada anak manusia yang
mati, ketika ada anak manusia lainnya yang lahir ke dunia. Aku tidak tahu. Aku
tidak tahu semuanya. Aku tidak tahu.
Dan, yang aku
ingat, ketika terbangun, aku sudah tidak lagi di ruang bersalin. Tapi sudah
dipindahkan ke ruang rawat inap. Entah oleh siapa. Hanya ditemani bapakmu, yang
katanya sudah menemaniku sejak kemarin malam. Ternyata, aku pingsan.
Menemuimu adalah
keinginan pertamaku setelah tersadar dari pingsan. Namun ketika memasuki ruang
bersalin, segalanya sudah tampak sepi, dirimu sudah tidak lagi berbaring di
ranjang. Tidak ada lagi suster dan dokter yang mengurusimu. Tidak ada lagi
suara tangisan. Tidak ada lagi apa pun. Hanya ada sebaris tulisan di papan
ranjang pasien. Dengan bertuliskan Namamu, dengan keterangan tanggal masuk,
tanggal melahirkan, dan disertai keterangan tambahan. Tanggal kematian. Tak lama
berselang dari waktu kelahiran.
Mendadak semuanya
menjadi sunyi. Mendadak semua suara lenyap, mendadak semuanya menjadi senyap. Perlahan
seluruh pandanganku menjadi gelap. Dan, suara terakhir yang bisa aku ingat adalah
suara tubuh terjatuh ke lantai.
(Sastra Ananta)
Sejenak coba
pikirkan apa yang mungkin terlintas di kepala kalian, jika harus menyaksikan
prosesi kelahiran dan kematian dalam jarak satu jengkal. Bagaimana rasanya jika
harus berhadapan dengan rasa bahagia dan rasa sedih dalam satu waktu yang sama?
Bagaimana bisa?
Coldplay - Trouble
Musik Sebagai Teman Membaca
(Aku Sendiri)
Aku tidak tahu
lagi harus berkata apa. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku sungguh tidak tahu
bagaimana untuk menjawabnya. Aku tidak tahu.
Pada akhirnya,
apa yang tidak kamu ketahui, dan tidak ingin kamu ketahui, biarkanlah tidak
diketahui. Karena dengan begitu, dirimu telah melakukan dua kebaikan. Menghormati
privasi orang lain, dan menghormati orang lain dengan tidak ingin tahu lebih
banyak. Itu saja.
Iya itu saja.
Sungguh mendengar cerita tentang kawanmu itu, aku sungguh malu. Segala kesedihanku
seolah tidak ada artinya bila dibandingkan dengan kesedihan temanmu itu.
Sungguh.
Aku tidak mengerti harus bagaimana lagi.
Karawang, 9
Desember 2019.
Cerita tentang kematian always sucks. For me. Benci bacanya, suka nulisnya. Hehehe
ReplyDeleteKosong, sepertinya rasanya langsung kosong ketika melihat kelahiran dan kematian dalam waktu yang bersamaan. Harus merasakan apa pun rasanya kosong. Namun semoga tragedi tersebut tak terjadi pada kedua insan manusia yang sedang akan menyambut hari bahagia
ReplyDeleteKelahiran dan kematian, ada dan tiada menjadi sebuah keharusnya. Namun, tak mudah untuk menerima kehilangan, terlebih ada rasa yang begitu dekat di hati.
ReplyDeleteI love this for some reason. Nggak tau ya, jadi teringat cerita-cerita lain yang temanya serupa :(
ReplyDeleteAku kok merasa hampa setelah membaca ini...
ReplyDeleteSesungguhnya bila ada datang, pasti juga ada kata pergi.
Begitu juga kehidupan, pasti ada kematian.
Kesudahan dari semua yang dimulai...
seperti yin dan yang. selalu ada keduanya. ada jiwa yang lahir ke duia dan ada yang harus kembali menuju Pencipta. Itulah hidup ya kang, mau disuka atau tidak. Selalu ada dalam kehidupan kita sehari hari
ReplyDeleteProses melahirkan sering diidentikan dengan menantang kematian karena risikonya yang cukup besar, baca cerpen ini membuat saya membayangkan kebahagiaan sekaligus kegetiran tentang kehilangan
ReplyDeleteRasa kehilangan yang sulit dilupakan namun kematian adalah sebuah kepastian..
ReplyDeleteDi paragraf awal, ketika tokoh utama dipanggil, "Ta," saya kira dia perempuan. Ternyata kependekan dari Ananta dan tokoh ini seorang laki - laki.
ReplyDeleteKelahiran dan kematian semua memang rahasia Illahi. Kita tidak pernah tahu dan gak bisa apa-apa ketika memang ditakdirkan untuk terjadi.
ReplyDeleteMeski begitu, tetap saja ikut pilu bila mendengar ada yang pergi
Ada kelahiran, ada kematian. Itu sesuatu yang normal. Saat sekarang ini, muisalnya, adalah musim melahirkan. Namun bulan ini juga banyak yang meninggal dan jumlahnya hampir sama.
ReplyDeletePuitis sekali, saya mesti baca dengan seksama untuk dapat memahami isi dari karya sastra ini, maklum saya terbiasa dengan bahasa formal yang "to the poin" tapi sangat mengena sekali isinya,,
ReplyDeleteNama-nama karakternya bagus. Cuman sudut pandangnya dari Sastra Ananta dan Bima Sakti terkesan sama sih cara bertutur dan karakternya. Mungkin akan lebih baik pake satu sudut pandang karater saja. Ini sih saranku
ReplyDeleteUdah jarang banget baca fiksi, kalau pun baca fiksi buat cerita anak, hehehe. Suka cara pemilihan diksinya, agak puitis. Lanjutkan
ReplyDeletekematian itu pasti ..tapi untuk menerima langsung itu berat..sedih karena kehilangan butuh waktu untuk memudarkan kesedihan itu, dan tak kan pernah terhapuskan
ReplyDelete