Cuaca siang yang
panas tidak menyurutkan semangat banyak orang untuk tetap berbaris di tengah
lapangan. Seorang Bapak Tua dengan peci hitam di kepalanya sedang berbicara,
entah beliau sedang membicarakan apa, yang pasti suara kencang toa di depannya begitu menganggu
telinga. Suara dengingannya lama kelamaan semakin kurang ajar saja. Mungkin
sebentar lagi telinga kiri minta undur diri. Beruntung sebelum surat
pengunduran diri dituliskan, telinga kanan tiba-tiba mendengar suara merdu.
Suara merdu seorang wanita, tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku melihat
sekitar, dan aku menemukan sumber suara. Dengan kemeja putih dan rok hitam, dia
berdiri satu barisan denganku. Namanya Dewi
Anjani. Sama seperti aku, dia juga mahasiswa baru.
Seperti
yang sudah-sudah, Mahasiswa baru selalu menjadi incaran para senior. Apalagi
jika orangnya adalah Dewi. Sama seperti halnya aku, Dewi juga mahasiswa baru. Dewi
memiliki wajah dengan kecantikan serupa Dewi dalam fiksi. Rambut hitam panjang berkilau
dengan kedua kaki yang jenjang, menjadikannya tampak menonjol di antara
mahasiswa baru. Kedua bola matanya hitam legam, tajam, menyiratkan kekejaman,
dan jika belum mengenalnya, dirimu akan mengira dia sebagai wanita judes dengan
lidah yang tajam. Padahal kenyataannya, tidak seperti yang kau kira. Dewi
ramahnya bukan main, hampir menyamai keramahan sinar mentari pagi. Menyilaukan
sekaligus meneduhkan. Tidak heran jika Dewi menjadi primadona di antara mahasiswa
baru. Tidak hanya di kalangan para mahasiswa baru, diam-diam para senior pun
ikut membicarakannya, tidak terkecuali senior-senior dari kalangan wanita.
Dewi
terlalu cantik untuk tidak ditaksir. Belum lagi dengan keramahannya yang
mengerikan, dia dengan mudah menjadi bahan pembicaraan orang. Tidak hanya satu
kelas, satu jurusan, namun juga satu kampus. Aku tidak heran jika semua orang
di kampus membicarakannya. Karena memang begitulah adanya. Dewi layak untuk
dibicarakan, diperebutkan, lebih tepatnya layak untuk diimpikan. Karena hampir
semua laki-laki di kampus memimpikan dia menjadi kekasihnya. Atau setidaknya, menjadikan
Dewi sebagai salah satu tokoh rujukan dalam satu hal yang susah aku jelaskan
dengan kata-kata. Ya hal begitulah, you
know lah.
Banyak
dari mereka yang seharusnya tahu diri karena tampang, usia, status perkawinan,
atau kondisi perekonomian yang tidak mendukung, tetap tidak bisa mencegah diri
mereka untuk melirik Dewi ketika melihatnya melintas dalam radius jangkauan
mata. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah mereka, Dewi hanya tersenyum saja,
menahan tawa. Seringkali dia ingin tertawa tapi tidak jadi tertawa, yang ada
menyisakan rona merah di wajahnya. Dan, itu semua semakin membuat orang
terpesona kepadanya. Tanpa rona merah, terpesona level pertama, dengan rona
merah, terpesona level tingkat dua. Entah apa yang sedang aku katakan, semakin
lama terdengar seperti permainan saja.
Jujur
saja, seperti halnya mereka, aku juga naksir Dewi. Aku selalu berkata pada
diriku, setiap hari, mengingatkanku agar selalu sadar diri, dan tidak
menunjukkannya di depan Dewi. Sampai saat ini Dewi masih sendiri, mengingat
sampai saat ini dia tidak menunjukkan ketertarikan kepada salah seorang dari
mereka. Jadi, peluang untukku masih ada. Peluang ini kecil, jika tidak disebut
mustahil, dan aku tahu itu. Tapi sekecil apapun itu peluang tetaplah peluang.
Tapi semakin lama, aku semakin khawatir dengan peluang yang aku miliki. Karena
bukannya berkurang, orang yang naksir Dewi malah semakin banyak. Bahkan konon
kabarnya salah satu dosen lelaki di kampus, terang-terangan mengaku naksir Dewi.
Dan, berencana menjadikannya sebagai istri kedua.
Selain
karena satu angkatan dan satu jurusan dengan Dewi, ketika ada tugas kelompok,
sering sekali aku mendapat kelompok yang sama dengannya. Jadi, mau tidak mau,
kami jadi semakin sering bertemu. Bukan kebetulan, jika akhirnya Kami sering
bersama-sama, tak hanya di kampus saja. Setiap ada kesempatan, kami selalu
pergi ke kampus bersama-sama. Terkadang naik motor dia, terkadang gantian aku
yang jemput dia, kadang pula jalan kaki berdua. Banyak obrolan yang sering kami
diskusikan, tidak hanya urusan kampus, urusan perut juga sering jadi bahan
diskusi. Tentang warung makan mana yang menyajikan makanan enak, porsi banyak,
namun harganya murah. Seringnya kami bersama, sampai-sampai kawan-kawan di
kampus sekarang mulai bilang bahwa dimana ada Dewi pasti ada aku.
Sampai
suatu hari di kantin kampus, ketika sedang makan siang, aku iseng bertanya
kepada Dewi, perihal dari sekian banyak lelaki yang mendekatinya, apakah sudah
menentukan pilihan, mau memilih siapa? Dia diam saja, lalu aku kipasi. “Kenapa
tidak terima salah satu dari mereka? Si Bima keren tuh, Anak Basket, tinggi,
dan atletis tentu saja, sudah jadi rahasia umum dia naksir kamu sejak dulu.
Atau Ananta, Anak Sastra, yang rela bolos kuliah seminggu, pergi jauh-jauh ke
Semeru hanya untuk memetik Edelweiss buat kamu? Belum lagi puluhan puisi yang
dia tulis dan dia tempel di Mading Kampus. Pemilihan diksinya aduhai betul.
Atau juga Si Joni, Anak Hukum, ganteng dia itu, anak orang kaya lagi.
“Aduh,
bagaimana ya? Aku pikir-pikir dulu, deh.” Jawab Dewi setelah dia selesai
mengunyah makanannya. Lalu dia tertawa, manis sekali. Makin naksir deh aku.
Diam-diam
aku khawatir jika Dewi termakan hasutanku. Untuk menutupi kekhawatiranku aku
malah semakin menghasutnya. “Udah pilih saja salah satu. Biar daftar lelaki
yang mengantre tidak semakin panjang kayak lagi antri nonton konser Rhoma
Irama.”
“Rhoma
Irama? Bang Haji? Ya ampun, Fan. Ternyata dirimu dangdut juga ya. Mending jalan
sama kamu. Kamu lucu, Fan.” Dia tertawa sambil menabok punggungku.
Aku
diam saja, walau dalam hati teriak kegirangan minta ditabok lagi. Senangnya
bukan main hati ini, ketika dengar dengan telinga sendiri bahwa Dewi memilihku.
Tapi, sedetik kemudian, aku baru sadar bahwa tadi Dewi hanya berkata “mending
jalan sama kamu”, tidak lebih dari itu. Jika saja aku langsung membalasnya
dengan ungkapan perasaanku, aku yakin dia langsung pergi meninggalkanku saat
itu juga. Oleh karena itu, daripada merusak suasana menyenangkan, lebih baik
niatan itu aku telan lagi dalam-dalam.
Sampai
suatu malam di akhir pekan, setelah mengerjakan tugas kuliah, aku dikagetkan
oleh suara ketukan pintu. Dan, ketika pintu terbuka, Dewi berdiri di depan
pintu. Dengan senyumannya yang khas, semakin membuat jantungku kebat-kebit tak
karuan. Kontrakanku masih berantakan, tak sempat dibereskan, jadi ketika Dewi
menawarkan bantuan untuk membereskan kontrakanku. Aku hanya mengangguk, dan
mempersilahkan dia masuk. Dalam hati, aku benar-benar bingung. Sekalipun sering
ketemu di kampus, pesona Dewi tidak pernah berkurang sedikit pun untukku. Dia terlihat
cantik, walau wajahnya hanya dipulas riasan tipis.
Setelah
selesai membereskan kontrakan, kami lalu duduk di sofa depan. Malam semakin
larut, dengan suara burung malam yang saling bersahut di kejauhan. Kami ngobrol
sebentar soal urusan tugas kuliah. Lalu kemudian ia bercerita tentang telepon
dari orang tuanya. Perihal datangnya tiga lamaran ke rumah orang tuanya. Semuanya
berasal dari lelaki yang memiliki satu ikatan keluarga.
Lamaran
pertama datang dari seorang lelaki paruh baya yang sudah memiliki istri tiga, dikenal
sebagai juragan tanah kaya raya di kampungnya, yang sedang mencari istri
keempat untuk menggenapi sekaligus mengikuti sunah nabi. Lamaran kedua datang
dari seorang lelaki berkepala tiga, seorang dosen muda di kampus tetangga, yang
tak lain tak bukan ternyata adalah anak dari istri pertama lelaki juragan tanah
tadi. Belum juga habis rasa terkejut orang tuanya. Tak lama berselang datang lamaran
ketiga dari kampung sebelah. Lamaran ketiga datangnya dari seorang lelaki yang
mengaku sebagai pengusaha batubara, yang tidak lain tidak bukan adalah anak
kedua dari istri kedua dari lelaki pertama. Dalam satu hari, orang tuanya menerima
tiga lamaran yang berasal dari tiga lelaki, satu akar keluarga yang sama.
Sungguh wajar jika Dewi menjadi pujaan banyak orang, namun sungguh tidak wajar
jika yang datang melamar berasal dari satu keluarga yang sama.
Dewi
masih saja bercerita, ketika aku membelai rambutnya, spontan, hanya sekedar
untuk menenangkannnya. Dia tersenyum, tanpa aku duga, dia malah membaringkan
kepalanya ke pangkuanku. Aku kaget sekaligus senang. Dewi melanjutkan
ceritanya, namun dia mengisyaratkan agar tanganku terus membelai rambutnya.
Sampai
semuanya berawal dari satu bagian, bagian yang mana membuat segalanya menjadi
awal. Awal segalanya, yang mana membuat aku semakin berani, dan terus membelai
rambutnya lagi.. Sampai pada akhirnya aku tidak tahan lagi. Aku usap wajahnya. Aku
cium pipinya. Mata Dewi seketika terbuka, dan tersenyum, lalu kembali memejamkan
mata. Seperti mendapat angin segar, tanganku semakin berani. Jariku menari
turun membelai hidungnya yang seperti dipesan dari surga, memencet pelan hanya
untuk mendengarnya terkikik kegelian. Perlahan jemariku turun ke arah bibirnya,
merasakan betapa lembut bibirnya, sembari membayangkan betapa nikmatnya jika
bibir itu aku pagut. Dewi diam saja, matanya semakin terbenam bagai sedang
bertamasya ke alam lain. Gairahku pun semakin menjadi-jadi.
Gairah
ini salah, pikirku. Namun gairahku semakin tidak tertahankan. Tanganku perlahan
turun, merayapi lehernya yang putih bersih. Dewi hanya menggeliat kegelian,
namun matanya masih terpejam. Aku semakin berani, tanganku bergerak semakin
jauh menuruni kemejanya, bergerak menyusuri kelembutan kulitnya, tanpa bisa
menghentikan tanganku yang bergerak ke dada Dewi. Seakan berkomplot dengan tangan, bibirku spontan memagut lembut bibirnya Dewi.
Dewi
terlonjak kaget dari pangkuanku. Dia lalu mendorongku. Wajahnya berkeringat dan
pucat pasi. Tangannya bergegas mengancingkan kemejanya, yang kancing atasnya
sudah terbuka. Suaranya bergetar. Dia menangis.
“Fan!
Fania! Ka…kamu…”
Suara
Dewi menghilang bersama dengan suara pintu yang berdebam kencang.
-----------------------------------------------------------
(*) Tulisan ini terinspirasi oleh
tulisan Yusi
Avianto Pareanom yang berjudul “Sengatan Gwen” di dalam buku Rumah Kopi Singa Tertawa.
Faniaaaaa ternyata kamu gilaaaa. Ya pantas saja Dewi mau kemana2 sama kamu Fania. Wong kamu cewek.
ReplyDeleteHaha kejutan!
DeleteFaniaaaaaaaaaaaaaaa................... Duh aku boleh ga komen segitu aja? Udah mewakili rasanya. Kuingin menjitak kepala pemilik blog ini rasanya
ReplyDeleteBahahaha ya ampun dah mbak
DeleteHih! Aku gak nyangka twistnya kayak gini. Padahal dulu pernah baca ceritamu juga yang mirip ini. Duh... Kukira namanya Fandi. Hahahaha....
ReplyDeleteBahahahaha surprise!
DeleteIdem deh sama di atas, aku kira namanya fandi, nyebelin ini kejebak sama fania haha
ReplyDeleteHadooh Fandiiiii!! Saya kira itu Fandiii, kok malah Faniaaa!!
ReplyDeleteGubraaak, deh!!
Hahahaha kejutan!!
DeletePlot twistnya bikin geregetan hihi.. pantesan ya si dewi bisa sampai akrab banget gitu dan curhat segala soal lamarannya, ternyata oh ternyataaa..
ReplyDeleteYah namanya juga usaha mbak wkwkw
DeleteHahaha...Fania menjebak, pantesan Dewi mau beresin kosan kamu
ReplyDeleteKuterjebak.... Ternyata sesama. Aduh, Fan. Tiwas kupikir kamu sepetti laki-laki lain yang memimpikan Dewi.
ReplyDeleteEalah...
Hahaha kejutan ya mbak
DeleteSastra Ananta memetik bunga edelweis hey apaka diperbolehkan? wkwkwk, ini plot twistnya keren si aku terkejut-kejut kaget hahaha ya ampyun. Sempet terpikir gimana awalnya deket jalan bareng, kan pasti nggak natural tuh. Ternyata jawabannya ada di akhir
ReplyDeleteYa boleh dong, asal tidak ketahuan, dan sangat tidak dianjurkan, untungnya hanya sebatas tulisan 🤣
DeleteSy msh kurang paham alur ceritanya, jdi bacanya berulang" baru deh mengerti... Hehehe
ReplyDeleteTpi aku tertarik juga sama dewi... Bisa jdi dia primadona sekampung..
faaaaaaaaaaaaaannnnnnn hey faaaaannnnn
ReplyDeletewah kamu membuyarkan imajinasiku, huh!!
Hahaha kena kau!
DeleteAduuuhh Mbak Faniaaaa why why whyyyy :D
ReplyDeleteTapi emang gtu sering terjadi yang ganteng yang cantik belum tentu "normal" dalam urusan romansa gtu, hedeehh, padahal td ngarep namanya Fandy kek siapa kek heuheuheu
Gagal nafsu, ternyata lesbong Faniaaa
ReplyDeleteHahaha surpressss madefaker!!! Hahaha
DeleteHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA
ReplyDeletehihihi saya pikir cewek..fania kamu bikin dewi takut aja deh....tapi klu saya jadi dewi juga takut hiks
ReplyDeleteGua udah mau coli. Eh gak jadi😴😴
ReplyDeleteBangke! Haha
DeleteFania ini cewek?
ReplyDeleteBisa jadi ada nama Fania cowok?
Nah disini bebas memberikan arumwn maisng-masing ya ...
Pemilihan kata katanya aku suka. Udah berfikiran kemana mana owh ternyata fania. Eh tapi btw geli juga kalo punya temen begitu
ReplyDeleteplot twist banget meski bikin agak merinding baca endingnya. ada lanjutannya kah?
ReplyDeleteHihihi seru ceritanya ada plot twistnya..
ReplyDeleteEndingnya itu lho, wkwkwk
astaga endingnya plot twist banget. pantas aja nih dewi mau kemana-mana dan dibelai-belai sama fania. kabur langsung deh kalau gitu. heu
ReplyDeletetolonggggggg, aku paling ga bisa bikin cerita fiksi hvft! kamu keren mas! bisa bikin cerita fiksi, bisa soft dan banyak teka tekinya juga hahahaha
ReplyDeleteCoba artikel ini di Blogwalking sama orang yang namanya "Fania", kalau gak ditabok hahaha..
ReplyDeletesy bacanya gemesh-gemesh gimana gitu, endingnya tetap buat penasaran. kalau tidak di baca sampai akhir eman, hhhhha
ReplyDelete