Masih ada saja
yang terjaga di malam yang semakin malam, yang tersisa hanya desiran angin dan
gemerisik sayup bunyi ranting di kejauhan. Terdengar sengal nafas tak beraturan
dari sosok yang berlarian dikejar bayang. Bayang-bayang mentari pagi yang terus
mengejarnya. Menjadikannya tampak nyata dan menjadikannya debu seketika. Ah
sekiranya hantu pun berlarian tatkala melihat dirinya. Sekiranya aku ini apa ?
Ah aku cuma nisan tua di tengah hutan, menanti sang empunya pulang meski pagi
sudah hampir datang menjelang.
Akan aku katakan
apa yang harus aku katakan. Tanpa hentakan, tanpa paksaan, semua hanya soal
kerelaan. Kerelaan untuk mengatakan yang sebenarnya, tanpa tersirat ataupun
tersurat pengaruh kuasa. Menjadikannya kebal menjadikannya kebas, tanpa pernah
merasa akan siksa yang menantinya. Tatkala mulut terucap perlahan kebebasan pun
seolah terhisap masuk dalam setiap dengung suaranya. Suara yang menuntut
pembebasan, suara yang menuntut pembenaran.
Terhalang oleh
tembok yang tak kasat mata, membuatnya hanya bisa meraba, merasa, menghantamnya
lalu menyerah seketika. Menyerah tatkala ternyata kuasa temboknya begitu
perkasa, tanpa bisa digoyang apalagi ditembusnya. Menjadikannya kerdil dibalik
tubuh yang terlihat tegap perkasa. Tembok kuasa yang bernama harta, harta yang
menjadikannya penguasa tahta akan kewarasannya. Menjadikannya selir,
menjadikannya wanita seolah tuannya. Semua manusia mengalaminya, namun hanya
segelintir yang menyadarinya. Begitulah tipu daya dunia, tipu daya dunia yang
bermacam rasa.
Buku-buku di
lemari seolah berteriak mencaci maki, memaksa lemari untuk membuka blokadenya.
Mengharap bantuan kaca yang menjaga setiap bagian lemari, menjadikannya harapan
yang enggan. Mengharap menjadikannya sekutu untuk melawan kuasa lemari yang
kian lama kian membelenggu. Tapi apa daya tatkala kuasa lemari berhasil
ditumbangkannya, sebuah percik api segera menghanguskannya layaknya revolusi
yang diberangus paksa oleh dewan revolusi itu sendiri. Begitu menyedihkan,
berniat mencari kebebasan malah mendapat sebuah pemusnahan.
Di tempat lain,
kebebasan begitu terasa menyegarkan, laksana angin malam yang menyusup masuk
dalam tiap pori jendela kehidupan. Menjadikannya semarak, menjadikannya mudah
untuk beranak-pinak. Satu persatu saling bersuara, saling mengadu dan menjadikannya
arena beradu. Tersamar dalam keremangan malam, terselip dua mata yang
mengintip, menunggu waktu yang tepat untuk tampil di muka. Menjadikannya
penjilat luar biasa akan kegaduhan yang tercipta karena kebebasan tanpa batas.
Seketika kebebasan tanpa batas berubah menjadi ajang cari muka. Demi sebuah
kuasa akan tahta, harta, dan tentunya wanita.
Di dekat
pengungsian korban perang saudara, Anak-anak bermain dengan begitu riang, tanpa
peduli terik matahari atau keping ranjau darat. Semuanya berteriak bebas lepas,
tanpa takut, tanpa malu, menjadikan tanah lapang layaknya medan perang
kesenangan. Sekedar untuk melupakan nestapa yang menimpanya. Menjadikannya guru
untuk setiap orang dewasa yang ada, perihal kebebasan kehidupan yang nyata
walaupun menjadi korban perang kuasa akan sumber daya. Pada akhirnya rentang
usia tak menjadi tolak ukurnya, bagaimana caranya bergembira dibalik wajah yang
bermuram durja.
Hallooo, Kak Fandhy!
ReplyDeleteYuk, ikutan Lomba Blog "Terios 7 Wonders, Borneo Wild Adventure".
Tiga blogger terbaik akan diajak menjelajah Kalimantan dan berkesempatan mendapatkan grand prize, MacBook Pro.
Info selengkapnya klik: http://log.viva.co.id/terios7wonders2015
Jangan sampai ketinggalan, ya!
hahaa makasih kak
Deletebahaya ranjau darat... sekali kena abis tuh.
ReplyDeletehaha kaki buntung kalo kena ranjau darat
DeleteDalam perang jangan libatkan anak2. Hak mereka hanyalah untuk bermain.
ReplyDeleteyeah anda benar
Deletehmmm... horor ya kalau main ada ranjau darat .____.
ReplyDeleteiya bahaya tuh -__-
DeleteDan anak-anak tetap bermain riang :")
ReplyDeleteiya namanya juga anak anak :))
DeleteTulisannya mantep
ReplyDeleteIya, saya juga setuju, Mak.
DeleteKeren, Mas.
haha Terima Kasih :D
Delete