Aku ingin
bercerita tanpa menjadi orang pintar terlebih dahulu. Aku ingin bercerita tanpa
menjadi orang bijaksana seperti dahulu. Aku ingin bercerita dengan segala
kebodohanku, dengan segala kedunguanku tentang pernik kehidupan. Pernik
kehidupan yang dijungkirbalikkan oleh mereka, mereka yang menganggap dirinya
lebih tahu, lebih pengalaman. Kalau saja berpamer menjadikannya mereka seperti
raja, lalu aku ini apa?! Kalau saja aku lebih paham dan lebih mengerti
dibanding mereka, layakkah aku menjadikannya seorang raja? Raja di antara para
raja. Lalu apa gunanya semua itu, jika tak lain hanya sekedar kepuasan nafsu.
Aku ingin
bercerita lewat tubuh ini, tanpa menjadikannya seperti daun kering yang
mengalir di antara sela batuan kali. Aku ingin bercerita dengan apa adanya,
tanpa melebihkan apalagi melawan arus kehidupan. Ku utarakan ceritaku dengan
lidah dan mulutku yang barangkali tak terlalu banyak berkata bijak. Bercerita
tentang betapa kerdilnya jiwa mereka yang menganggap dirinya agung, sok
berpengalaman, dan sok mengerti soal kehidupan. Aku tak mengerti kenapa mereka
lebih banyak berbicara yang tak perlu, mengumbar sesuatu yang tak ingin semesta
dengar. Aku tak tahu.
Apa dasarnya,
bagi mereka yang selalu menjustifikasi orang pendiam itu tak tahu apa-apa? Apa
dasarnya, bagi mereka yang menganggap orang yang diam itu seolah mengiyakan
saja apa kata mereka? Apa dasarnya, bagi mereka yang gemar berceloteh seolah
dirinya tahu segalanya dan meremehkan orang pendiam yang dianggapnya tak tahu
apa-apa? Apa dasarnya?!
Sang Pencipta
sangat berbaik hati memberi kita tempat yang sempurna, tempat yang sempurna
bagi setiap jiwa manusia. Alangkah baiknya Sang Pencipta memberi kita tubuh
yang sama, sama-sama sempurna. Tanpa kurang, kecuali satu kegunaan yang nayat.
Kegunaan akan tubuh yang mereka punya. Terdengar remeh, namun siapa kira
remeh-temeh ini menjadikannya remah-remah ampas, karena seringkali itu akhirnya
menentukan.
Kita adalah
manusia, mahluk yang sempurna dibalik ketidaksempurnaannya. Kita adalah
manusia, mahluk sosial yang selalu merasa besar dibalik kekerdilannya. Kita
adalah manusia, mahluk fana yang selalu mengharap bahagia diatas segala rasa.
Kita adalah manusia, mahluk pecinta yang selalu merasa kurang di depan
dunianya. Kita adalah manusia, manusia di sekitar manusia yang lainnya.
Menjadikannya ada, menjadikannya tidak ada tergantung cara pandangnya akan alam
semesta di sekitarnya.
Aku ingin
bercerita tentang apa gunanya punya dua mata, mata yang lebih layak disebut
indera dibanding sebuah cindera, cindera mata yang menjadikannya seperti
oleh-oleh dari alam semesta, menjadikannya seolah tak berguna bagi mereka yang
tak tahu kegunaannya. Mata itu untuk melihat secara luas, bukan untuk
menghakimi, bukan untuk menjustifikasi. Apa gunanya mata tatkala lebih suka
tertipu dan terlena akan pantulan sampul muka yang begitu mempesona? Banyak di
antara kita yang lebih suka menghakimi secara gamblang tanpa maksud untuk
melihat secara dalam, melihat dengan sungguh bahwa apa yang mereka lihat itu
salah. Tapi punyakah mereka sedikit waktu untuk menyadarinya?
Aku ingin
bercerita tentang apa gunanya dua telinga, telinga yang kau sebut itu sebagai cantelan
kepala. Menjadikannya tiada guna, selain sebagai penghias semata. Dua telinga
yang mana punya maksud bahwa kita seharusnya lebih banyak mendengar, lebih
banyak memahami tentang apa yang terjadi. Bukan hanya bisa menghakimi, apalagi
hanya bisa menghakimi dengan modal gosip kanan kiri. Apa gunanya kedua telinga
tatkala mulut jauh lebih berkuasa?
Aku ingin
berbicara tentang keengganan mereka untuk lebih banyak mendengar, dibanding
lebih banyak bicara. Karena banyak bicara sedikit mendengar bagiku itu tidak
berguna. Menjadi diam terkadang begitu menjemukkan, namun menjadi berisik
bagiku jauh lebih memuakkan. Sangat membingungkan tatkala banyak dari mereka
menganggap diamku sebagai arti ketidaktahuan, menjadikanku layaknya bocah lugu
yang perlu diberi guru penuh ilmu.
Terkadang ingin
sekali menabrak mereka dengan diamku, bahwa menjadi diam terkadang bukan karena
tidak tahu tapi karena justru lebih banyak tahu. Bukankah Macan di belantara
hutan jauh lebih ditakuti ketika mereka diam? Diam bukan berarti tidak tahu, bukankah
sudah jadi pertanda bahwa air tenang menghanyutkan? Bukankah sudah jelas, kalau
air beriak tanda tak dalam? Bagaimana soal tong kosong yang berbunyi nyaring?
Diam bukan berarti tidak tahu banyak, tak punya pengalaman banyak. Diam itu
lebih banyak isi. Tanaman Padi sudah banyak menjelaskannya, karena padi dalam
hidupnya semakin berisi semakin menunduk.
Berhentilah
menganggap orang pendiam itu tidak tahu apa-apa, sebelum mereka tertawa
melihatmu tertunduk malu karena kebodohanmu menganggapnya begitu.
saya pun juga bingung apa guna mata ini kalau suka tertipu oleh daya tariknya...
ReplyDeleteaku siap untuk mendengarkan dengan seksama ketka engkau hendak bercerita, betap setiap ceritamu pasti mampu mengantarkan ku ke pembaringan malamku.
ReplyDeleteSELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 SYAWAL 1436 H.
TAQABBAL ALLAHU MINNA WA'MINKUM
Terima Kasih
DeleteLalu aku bisa apa?
ReplyDeletehaha baca saja kak
Delete"Aku ingin bercerita dengan apa adanya, tanpa melebihkan apalagi melawan arus kehidupan."
ReplyDeleteBegitukah?
Maka aku akan bersedia menjadi pendengar setia :)
aduh makasih :')
DeleteJadi ingat, saya suka bilang begini sama anak saya yang super ceriwis: kita itu dikasih 2 telinga dan satu mulut, supaya lebih banyak mendengar daripada bicara :)
ReplyDeleteJust keep writing :)
hehe makasih
Deletediam bukan berarti bodoh, banyak bicara bukan berarti sok kuasa hehe
ReplyDeleteorang pendiam justru biasanya lbh bnyk tahu, krn biasanya pemerhati yg teliti
ReplyDeleteitu benar bu :))
Delete