Hujan pertama di
pagi hari. Gerimis, dingin, dan
menggigil, seperti halnya kisah manis yang setiap mengingatnya terasa begitu
pahit. Datang terlalu dini, tanpa permisi, lalu menari sesuka hati, menjebak setiap
manusia di bilik selimut hangatnya, enggan untuk beranjak dari lelap, memilih
menderu, memanaskan, dan memacu mesin tidurnya.
Dua per lima
manusia, pernah mengaburkan
sebuah berita demi keselamatan dirinya. Entah itu berita buruk yang dianggap
baik, atau berita baik yang dibuat buruk. Segalanya dilakukan demi sesuap nasi,
katanya sebagai upaya untuk mengepulkan asap di dapurnya. Entahlah mana yang
benar, dan mana yang salah, semuanya menjadi nampak tak kasat mata batas
kebenarannya. Apalagi ketika disangkut-pautkan dengan masalah keyakinan,
segalanya rela dipertaruhkan, demi sebuah pembenaran, demi membela
keyakinannya, begitu katanya.
Rintik hujan pertama, turun di kala mentari masih
tergelung dalam tidurnya, di ufuk timur, di balik Pegunungan yang tampak
menggundul. Nampaknya tiada yang menyangka, di balik derasnya rintik, masih
saja ada manusia yang terjebak dalam dunianya. Menanti di tepian, tak lagi
mengincar sekeping rupiah seperti niat semula, terganti semuanya oleh keinginan
untuk pulang segera ke rumahnya. Berkumpul dengan keluarganya, berpeluk hangat
dengan anaknya. Semuanya masih sama, tatkala gincu merah itu perlahan memudar
dari bibirnya, yang membuatnya tak lagi repot untuk memulasnya kembali,
diambilnya tisu dari dalam tasnya, dalam satu gerakan ringkas, dibersihkan sisa
gincu dari bibirnya. Perlahan dia memakai penutup kepalanya, dan berlari kecil
menuju tempat adzan shubuh bermula. Dengan rambut setengah basah, dia mendekati
Sang Wanita tua yang ada di dalamnya, lalu berkata “Permisi bu, boleh pinjam mukenanya?”
Langit masih gelap, tatkala tanpa pertanda,
sekonyong-konyong datang angin malam yang basah. Kencang, dingin, dan berair,
seperti halnya sebuah kisah cinta dirinya yang bermula karena sebuah kata paksa
dari keluarganya. Karena hutang yang sedemikian menggunung, tiada jalan lain
selain menjodohkan (menjual) anak gadisnya yang paling sulung. Kepada Juragan
Tua, kepada dedengkot bau tanah, yang masih saja rakus menjarah daging yang
masih merah. Seperti halnya Pegunungan Kapur di ujung timur, yang masih tegap
berdiri, menatap dingin, kepada nasibnya kini yang getir. Dijual keluarganya,
hanya untuk dijadikan sebagai bintang bisnis lendir. Anjing betul, setelah
menikmati yang pertama, juragan tua kini melelangnya bagai sebuah lukisan karya
pelukis ternama. Tawaran tertinggi,
silahkan nikmati dirinya sesuka hati, tanpa peduli lagi akan sosok nurani
yang kini lenyap dari dalam hati.
Setangkai pelepah kelapa jatuh tepat di depan kamar
anak bayinya, mengagetkannya sekaligus menyadarkannya, bahwa sekiranya pohon
kelapa itu sudah terlalu berbahaya untuk dia, dan anak bayinya. Selayaknya
pemikiran yang tak boleh berkembang atas dasar trauma yang mendalam, dicetuskan
esok bahwa sebelum petang, pohon kelapa itu harus tercabut sabut sampai
akarnya. Tanpa terkecuali, bila perlu lubang kosong yang tertinggal diisi tiang
ayunan. Agar semua pemikiran tercabut seluruhnya, sekaligus sebagai pelajaran
bahwa pemikiran yang terlalu bertentangan harus (segera) dilenyapkan. Enyahkan!
Secarik kain putih terhanyut terbawa ombak, setelah
menjelajahi lima lautan, maka sampailah kini di tepian Desa Kemosari, di
Seberang ujung Pulau Padi. Tempat dimana, desa itu pernah musnah ditelan
gelombang pasang efek letusan Gunung di tengah lautan yang memisahkannya dengan
pulau seberang. Secarik kain putih,
yang penuh misteri, hanya berisi sebaris kata-kata yang tak mampu dipahami oleh
warga desa, namun dari warna tulisannya menyadarkan mereka, bahwa di ujung sana
sedang terjadi pergolakan menjelang pemilihan. Hitam di atas putih, seperti
halnya sebuah perjanjian yang kini terjadi lagi, demi sebuah upeti awal atas
sebuah dukungan dari sebuah pencalonan. Siapa bela siapa, siapa bela siapa,
semuanya sama saja bagi warga Desa Kemosari. Secari kain putih, kini tak lagi
bermandikan asin garam di lautan, namun kini terjerang angin pantai yang
mendayu sepoi menyegarkan, sekaligus mengeringkan. Seketika warna hitamnya
melumer, menjadikannya putih seutuhnya, selayaknya kisah usang tatkala sang
pilihan kalah, lalu berpaling memihak kepada yang terpilih. Bagai sebuah kertas
putih, mereka rela melakukan segalanya.
Pantai berpasir
itu nampak sepi, yang tersisa
kini hanyalah gulungan ombak yang datang bergantian, angin yang mendayu sepoi datang
sesekali menerbangkan pasir ke segala penjuru. Nampak di bawah kaki langit, setitik
bintik hitam perlahan menghilang. Itulah kapal transpor, harapan terakhir yang
dia lewatkan, sengaja hanya untuk meresapi bagaimana rasanya terbuang, diasingkan
di pulau tanpa nama, yang kini disebutnya sebagai penjara. Penjara atas
kejahatan yang tak pernah dia lakukan sebelumnya. Sekiranya sebaris kata yang
tertulis di atas pasir pantai cukup menghiburnya, meskipun ia tahu bahwa
seketika itu juga bergulung-gulung ombak akan meringkusnya, menghapusnya,
melenyapkannya, tanpa sisa. Harapan untuk selamat itu ada, namun bagaimana
mungkin dia berteriak lantang, hanya dibalas dengan deburan ombak yang semakin
kencang, melenyapkan suaranya?
Saya bertanya
kepada semesta, akankah adalagi perdu
yang tumbuh merumput di tepian lubang galian tambang? Seperti halnya pemikiran
yang tumbuh subur di tengah lingkungan lubang akan trauma yang mendalam akan
suatu masa. Saya bertanya kepada aksara, apakah rasa rinduku yang diwakilkan
olehmu tersampaikan kepada dirinya? Apakah salah, sekirnya saya bertanya pada
pewarta berita, perihal mana berita benar dan mana berita bohong? Sekiranya langit
cerah pun menyimpan badai di dalamnya, apalagi jika ditambah dengan angin-angin
kabar burung yang menyesatkan, yang makin kisruh juntrungannya, makin kencang
hembusannya, seolah sedang berusaha menggoncang penguasa yang duduk manis di
singgasana. Tanpa perasa, sekali tabok, penyebab guncangan lenyap seketika. Itu
guncangan apa nyamuk kesasar? Mudah sekali dibasmi.
Adalah salam permisi, kalimat utama dan pertama yang
biasa diucapkan oleh anak muda di desanya ketika meminta jalan atau sekedar melewati
orang. Namun sekiranya kini, berkat keindahan bayangan yang ditampilkan dari
benda kotak dalam genggaman, adat sudah ditinggalkan. Sekarang yang tersisa
hanyalah tatapan kosong para orang tua yang dilewatinya, seolah membatin “Dasar anak urakan, tidak tahu sopan santun!”.
Dalam sepasang penyumbat telinganya, terdengar alunan musik yang berdegup
kencang sembari sesekali dia menimpali “O
aja ya kan!”
Kopi terakhir di
waktu senja, hitam, hangat, namun
pahit pekat. Seperti sebuah cerita usang yang diulang lagi dan lagi, tentang
sebuah hubungan berumur lebih satu dasawarsa, yang di dalamnya dibaluri
berbagai macam intrik putus nyambung, enak di atas enak di bawah, pas sayang
digoyang pas marah ditendang, ketika jauh merindu ketika dekat mengajak beradu,
dua manusia dua hati, satu rasa dua dilema, semua dijadikan landasan bahwa
sudah terlalu lama masalah yang awalnya hangat, namun terlalu lama dipendam
pada akhirnya menjadi luka berkarat nan pahit. Korban waktu, korban rasa,
korban segalanya, kini mau tidak mau, dia harus merelakan bahwa dirinya kini
sudah terjarah lepah. Hanya bisa meratapi selembar kertas merah muda yang kini
digenggamnya. Dengan tatapan sendu dia membaca sebaris nama yang dia kenal,
yang kini bersanding dengan sebaris nama asing, bukan dirinya. Dulu ketika dia
ditawari berulang kali, dia tidak begitu menginginkannya, tapi sekarang dia
begitu menyesalinya. Sebagaimana roda berputar, akan ada masanya segalanya akan
berbalik arah melindasmu, sampai rata dengan tanah. Sekiranya tiada rasa yang
paling menyakitkan selain rasa penyesalan, karena telah membuang sebongkah
berlian demi sebuah paku karatan.
Man, you wouldn't believe the most amazing things that can come from some terrible nights... Fun, Some Nights.
Tumben, mas Fandhy....
ReplyDeleteKali ini, aku gak menemukan benang merah antar kisah di atas.
*apa aku sedang kurang Aq*a yaa...??
Saya ingin bertanya kepada Mas Vandy Eko Utomo,ini prosa kah? Atau opini Mas Vandy Eko Utomo yang disamarkan menjadi simbol-simbol tertentu?
ReplyDeleteJika pun ini cerita, saya perlu beberapa menit untuk lanjut dari satu paragraf ke paragraf lain. Entah lah, mungkin aku pun sedang kurang aqua...
bodo amat!
Deletehemmmm
DeleteLagi baca enak-enak trus aku nemu “O aja ya kan!” jadi inget yanglek makan ayam. Maafkan aku, kak :(
ReplyDeleteSaya juga ingin bertanya pada semesta. Tentang rintik itu. Tentang gelombang yang menghapus perdu. Pada pantai berpasir. Pada desa bernama kemosari. Adakah segelag kopi di senja itu tersisa untukku?
ReplyDelete:-)
Keep writing mas.
Mas.... aku bertanya kepada bapak presiden dan bapak Kapolri. Apakah pilkada kita aman dan tenteram? *eh lapar
ReplyDeleteMas.... aku bertanya kepada bapak presiden dan bapak Kapolri. Apakah pilkada kita aman dan tenteram? *eh lapar
ReplyDeletesaya juga ingin bertanya kepada semesta kenapa rintik hujan selalu turun dikala waktu yang tidak tepat
ReplyDeleteMas Fandhy, aku mau ngritik sedikit. Aku agak bosan bacanya. Awalan yang Mas Fan buat dengan konsep suasana demikian kayaknya mesti ada perubahan. Coba buat membuka cerita dengan cara yang lebih bikin, "Apaan, nih?" gitu. Yang lebih menarik rasa penasaran untuk baca sampai ceritanya selesai. Kalau buat diksi dan isi, udah cukup.
ReplyDeleteSaya bertanya pada Fandhy. Lagu apa, sarapan apa, dapat followback siapa yang mengiringimu menulis secercah harapan ini?
ReplyDeleteBegitu memukau sampai-sampai nasi goreng yang begitu panas kembali mendingin dan memutih sebelum kusantap.
Fandhy. Bukankan elok nan mempesona jika kita bercengkrama lewat wassap dengan metafora unggul macam ini?
Semilir angin malam yang menerpaku menyiratkan sebuah kesan mendalam. Aku tak punya kritik apapun, tulisanmu kunikmati karena aku bukan seniman, Aku hanya penikmat tulisanmu..
ReplyDeletePolitik, sopan santun yg kini terlupa. Mas, coba nulisnya pake percakapan
ReplyDeletesaya bertanya sama dek vandy, apakah vandy solat?
ReplyDeletebagaimana puasamu?
jangan lupa menabung karena sudah mulai bekerja :) ingat masa depan.
Yeah, penyesalan selalu datang terlambat huhuhu
ReplyDeleteemang penyesalan datang terlambat ya Mas
ReplyDeleteBaca berulang emang ga nemu benang merahnya. Akhirnya kalau aku boleh membuat kesimpulan, ini memang sekedar kumpulan pertanyaan Fandhy pada alam semesta ya?
ReplyDelete