Sejatinya hari ini adalah hari pernikahanku, sejatinya,
jika aku tak memilih pergi, meninggalkan semuanya. Meninggalkan semuanya,
termasuk kedua orang tuaku yang menangis terharu tatkala tahu, aku tak pernah
datang ke pesta pernikahanku, pernikahan settingan
mereka. Sekiranya, jika dikutuk menjadi batu adalah hukuman terberat bagi
seorang anak durhaka, niscaya aku akan segera membeku, mematung jadi batu,
tepat di depan pintu pesawat, yang akan membawaku terbang pergi, meninggalkan
Indonesia.
Pulasan make up masih saja membekas di sekujur
wajahku, terlihat jelas bekas aliran air mata yang membasahi kedua pipiku, tanpa
peduli lagi menyekanya, tanpa peduli lagi untuk menghapusnya. Ku tatap lekat
awan yang berjejer dari balik jendela, yang berbaris rapi dengan sesekali
terganti lautan yang membiru. Entah datang darimana jiwa pemberontak ini. Seumur
hidupku, aku selalu menurut pada orang tuaku, soal inilah soal itulah, pilihan
pendidikan, pilihan tempat kerja, semua ditentukan oleh mereka. Namun ketika mereka
mencampuri masalah hati, maaf aku tak bisa, sekali lagi maaf aku tak bisa,
karena aku sudah punya pilihanku sendiri. Dan sialnya, mereka tak
menyetujuinya, alasannya biasa, klasik, masalah kelas sosial, kata mereka dia
itu tidak sebanding dengan keluarga kita. Sialan.
Di ufuk barat, perlahan, matahari pamit undur diri.
Menyisakan sebaris cahaya merah yang kata orang disebut sebagai senja. Senja
yang tertancap sementara di ujung langit, menghentikan waktu, memaksa kedua
mataku menatapnya lekat, lalu memejam bersama tenggelamnya Sang Surya, dan aku
menyukainya. Terasa begitu magis, seolah-olah perhatianku tersedot habis hanya
untuk menatapnya, sampai cahaya merah hanya tersisa sebaris. Terasa begitu
manis, entah dari mana rasa manis itu, aku tak tahu. Aku tak ingat lagi, entah
sejak kapan aku mulai menyukai senja. Namun yang pasti, aku selalu ingat,
pertama kali merasakan sensasi magis senja di pantai paling barat Pulau Jawa, bersama
kamu, sosok lelaki yang dipilih hatiku, namun tidak bagi orang tuaku.
..............................
Teruntuk Sastra Ananta
Pertama kali aku kenal dirimu, ketika sedang
menunggu hujan reda di Kafe Senja, waktu itu kau datang begitu saja membawakan
daftar menu, menawariku untuk memesan sesuatu. Aku masih ingat, waktu itu kamu
datang dengan celemek yang masih menggantung di lehermu, daftar menu di tangan
kanan, dan pulpen di tangan kiri, menyiratkanmu sebagai salah satu pegawai Kafe
Senja.
Dan aku tak tahu sampai suatu hari, temanku memberi
tahu, bahwa kamulah sang pemilih Kafe Senja yang sebenarnya. Ah sialnya, aku
tertipu, aku ditipu sekian lama, namun hatiku bergetar tersipu malu. Duh malunya
aku, Merutuki galaknya aku dulu, waktu pertama kali kita bertemu, ku sodorkan
muka judesku tatkala kau sodorkan daftar menu, tanpa terpengaruh kau tetap
memasang senyuman lugu di wajahmu. Sejak saat itu, duniaku terbalik, kau
menyadarkanku, bahwa jangan menilai seseorang hanya dengan tampilan luarnya
saja. Meski kau tak pernah mengucapkan semuanya, aku sadar diri, bahwa selama
ini hidupku salah, selama ini ajaran orang tuaku salah. Seketika aku merasa
serba salah.
Sejak saat itu, aku jadi pelanggan setia Kafe Senja,
tak peduli betapa lelahnya aku. Tak peduli cuaca panas gerah, hujan, ataupun
badai, selalu ku sempatkan datang ke kafemu, meski hanya sekedar memesan secangkir
kopi hitam tanpa gula yang sudah kau hafal di luar kepala. Aku rela, asalkan
aku bisa berbincang barang sejenak denganmu, sekedar ingin menghapus rasa maluku,
rasa bersalahku dulu, kepadamu, ketika kita pertama kali bertemu. Entah kenapa,
sehari tanpa bertemu dan berbincang denganmu, membuat jam tidurku tak menentu. Entah
sejak kapan, aku mulai menyadari bahwa kini hatiku telah memilihmu, menyadari
bahwa ternyata aku jatuh cinta kepadamu.
Mungkin ini bukan kali pertama hatiku berdegup tak
menentu, namun hanya dirimu yang mampu menerbangkan sejuta kupu-kupu yang
bersarang di hatiku. Bersamamu, aku merasa seperti ada sejuta pasang kupu-kupu
yang berterbangan dalam perutku, membuat perasaanku seketika jadi gegap
gempita. Dan aku sering tersenyum tatkala mengingatnya. Mengingat hari dimana
sekiranya aku pernah punya hari yang berbahagia.
Mengingat semuanya membikin hati semakin sunyi,
seakan tak ada persinggungan mesra dengan lingkungan sekitarnya*, begitulah aku kini yang tak lagi peduli pada
sekitarnya. Nampak di kaki langit, Matahari perlahan hilang tenggelam, senja
perlahan hilang ditelan gelap malam, dan mengingatnya, membuatku terjebak
semakin dalam. Sejenak kaca jendela menampilkan wajahmu, sejenak berganti wajah
orang tuaku, sejenak ku lihat senyuman lugumu, sejenak terganti amarah murka
ayahku, seketika semua kenangan terlintas jelas memantul dari bilik kaca
jendela.
Sejenak masih ku ingat hari itu, tatkala kamu menyarankanku untuk menerima lelaki
pilihan orang tuamu. Waktu itu, aku datang ke kafemu dengan seribu gundah
yang telah bercabang dan berbuah menjadi dilema. Dilema yang nyata, tatkala hatiku
bergulat dengan pikiranku, sekedar memutuskan mau cerita atau tidak kepadanya.
Dan aku pilih opsi yang pertama. Aku ceritakan semuanya, jelas dari pangkal
akar sampai pangkat kuadrat pokok masalahnya. Aku jelaskan semuanya mulai dari
rencana orang tuaku, rencana perjodohanku, sampai tanggal pernikahan yang sudah
ditentukan oleh mereka, Lusa. Dan tanpa reaksi kau tetap mendengarkannya tanpa
pernah melepas senyuman lugu dari wajahmu.
Ketika aku akhiri ceritaku, seketika tatap matamu berubah
jadi teduh sendu, seperti sedang terjadi pergolakan di dalam batinmu. Begitu
rapi kau sembunyikan pergolakan itu, namun kau lupa bahwa matamu menjelaskan
semuanya. Tanpa menjawab, dia beranjak pergi kembali ke bilik belakang meja. Kini
aku merasa serba salah, lusa adalah hari ulang tahun dirinya, dan lusa adalah
hari pernikahanku dengan lelaki pilihan orang tuaku. Orang macam apa yang
begitu tega memberi hadiah ulang tahun dengan buah simalakama? Dan aku salah
satu orangnya, dan semua terasa jadi serba salah.
Tak sampai lima menit dia kembali lagi, dengan muka
dan rambut basah, dengan senyuman lugu seperti biasa, kau beralasan sehabis selesai
ibadah, “maaf, tadi langsung pergi begitu
saja” begitu kilahnya. Bukan bermaksud menabur syak wasangka, namun aku
tahu kau samarkan tangismu dalam air wudhu, karena aku tahu seorang lelaki
takkan mudah mengumbar air matanya di depan seorang wanita, di depanku.
Sejenak dia kembali duduk di tempat semula, diawali
dengan senyuman getir, kau memberi saran, memberi sebuah jawaban. Sampai hari
ini, masih aku ingat dengan jelas, setiap kata yang dia ucapkan kepadaku.
Dan beginilah jawaban dia: “Bagi seorang anak, restu orang tua adalah restu Sang Pencipta. Marahnya
orang tua adalah marahnya Sang Pencipta. Akan jadi serba salah, jika sekiranya
aku menyarankanmu menolak permintaan mereka, permintaan orang tuamu. Bukan
bermaksud mendorongmu ke dalam neraka dunia, tapi sekiranya jika aku menyarankanmu
untuk menolak permintaan mereka, itu sama menjerumuskan kita ke jurang walhala,
neraka akherat, neraka yang abadi. Lebih dari itu, tak hanya kamu yang bersalah
pada orang tuamu, aku pun akan bersalah karena telah merebut paksa dirimu dari
tangan mereka. Aku tak begitu.
Sekiranya aku sudah
pernah melamarmu dulu, tapi kau tahu sendiri apa jawaban mereka terhadap
lamaranku? Mereka menolak lamaranku, menolak mentah-mentah tepat di pintu
rumahmu, bahkan tanpa mengijinkanku masuk ke dalam rumahmu, sekedar mencicipi
empuknya busa sofamu, mereka menolak lamaranku. Tiada asap jika tiada api. Dan itu
menjadi semakin jelas, alasan kenapa mereka menolakku, karena mereka sudah
menyiapkan calon lelaki (yang sekiranya tepat) untukmu.
Apakah aku mesti
menghamilimu terlebih dahulu demi memaksa mereka untuk menerima lamaranku? Tidak,
aku tidak sebejat itu, aku masih punya logika, dan masih sadar akan dosa dan hukum
karma. Aku menyukaimu, tapi jika orang tuamu tak merestuiku, apalah arti semua
itu? Bagiku dalam sebuah pernikahan, restu orang tua adalah segalanya, tanpa
restu orang tua, pernikahan hanyalah sebuah bencana yang berganti muka.
Tolong jangan
sakiti hati orang tuamu, apalagi hati ibumu. Apakah kamu tega, menyakiti hati
orang yang telah bertaruh hidup dan mati demi kamu? Maafkan aku, aku tak sampai
hati jika harus menyakiti hati seorang ibu. Cukup aku saja yang tersakiti, jangan
biarkan air mata ibumu terjatuh karena menangisi ulahmu (yang memilihku), dan
tak bisa kumaafkan diri ini, jika alasan utama ibumu menangis karena ulahku, karena
telah merampas dengan paksa dirimu dari mereka, dari ibumu. Bagiku restu ibu
adalah restu illahi, marahnya ibu adalah marahnya illahi. Maaf, aku tak sanggup
jika harus menghadapi marahnya illahi. Aku lebih memilih menghadapi marahmu,
daripada marah ibumu, marahnya illahi.
Pulanglah, orang
tuamu berhak merasakan berbahagia untuk pernikahan anak gadis satu-satunya. Pulanglah,
aku berdoa semoga kebahagiaan selalu bersamamu, selalu.
Orang bilang, apa yang ada di depan
manusia hanyalah jarak, batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh, ufuk
menjauh. Yang tertinggal jarak itu abadi, di depan sana ufuk juga abadi. Tak ada
romantika yang cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggam dalam tangan,
jarak dan ufuk itu**. Seperti halnya kisah
antara aku dan kamu, dalam versi yang lebih sederhana, yang jadi ufuk itu kamu,
yang jadi jarak itu keluargaku, satu mendekat yang lain menjauh, yang tersisa
hanyalah romantika yang penuh drama.
Dan kini, romantika hanyalah sebatas romantika
belaka. Romantika kisah lama yang selalu
kubaca berulang kali, lagi dan lagi. Dan kini, aku memilih jawabanku
sendiri, aku memilih pergi. Tak peduli lagi akan murkanya illahi, tak peduli
lagi. Sebagaimana halnya dengan setiap benda dan hal, (pasti)
mempunyai bayang-bayang. Begitu pula dengan cinta, dan bayang-bayang cinta itu
bernama derita dan air mata. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali
terang itu sendiri....**.
Di tepian Sungai Vistula, aku tuliskan surat ini. Dengan
harapan akan sebuah kesadaran akan sebuah pemaknaan dari sebuah kebenaran yang
hakiki. Sebagaimana penjelasanmu dulu, sekiranya kini aku mulai menyadari
tentang pentingnya sebuah restu orang tua. Dalam pelarianku yang singkat ini,
mungkin sejenak aku membuat marah ibuku, membuat marah illahi, tapi sekiranya
illahi pun akan mengerti bahwa aku pun berhak mencari jawabanku sendiri. Dan aku
sangat berterima kasih kepadamu, karena telah menyadarkanku.
Sekiranya kini aku mengerti, tiada kata terlambat
bagi sebuah maaf dari kedua orang tua, sekiranya tiada kata terlambat untuk
mencari kembali restu orang tua, restu seorang ibu, restu illahi. Terima kasih
telah menyadarkanku. Sekiranya jika kau membaca suratku ini, mungkin saat ini
aku telah melangsungkan pernikahan jilid kedua yang sebenarnya, setelah
pernikahan jilid pertama kutinggalkan begitu saja.
Sebelum ku tutup surat ini, percayalah bahwa aku
selalu mencintaimu seperti halnya kamu yang mencintai diriku dengan begitu tulus,
begitu lugu. Selamat Ulang Tahun Sastra Ananta, semoga dirimu mendapatkan
wanita pengganti yang lebih baik daripada aku, maafkan atas kelakuan orang
tuaku dulu, maafkan segala salahku. Terima kasih telah menyadarkanku.
Aku mencintaimu, selalu.
Di Tepi Sungai Vistula, Warsawa, Polandia. 11 Maret
2017.
Starla Komalasari
(*) Dikutip dari
buku Jejak Langkah hal 71, karya Pramudya Ananta Toer.
(**) Dikutip
dari buku Anak Semua Bangsa hal 2, karya Pramudya Ananta Toer.
:')
ReplyDeleteminggu pagi udah baca yang seperti ini.
hehe, semoga nggak bikin baper seharian deh.
hmmm perjodohan..
lagi-lagi masalahnya status sosial, atau tidak jarang juga suku.
orang jawa nggak boleh sama orang sunda lah, atau orang batak harus sama orang batak juga.
ya maapkan ya jika sudah merusak minggu pagi kamu dengan tulisan yang agak baper wkwk
Deleteaduh jadi galau minggu-minggu..
ReplyDeleteNyasar di Blog ini jadi Baper deh. Syedih banget.
ReplyDeleteHiks... :"(
ReplyDeleteEh ya Allah, pagi2 gini udah disuguhin novel sedih..
ReplyDeleteBaper bacanya. Membayangkan diri menjadi Starla tentu tak enak. Buah simalakama antara hati dan restu. Bagus cerpennya Mas Fandhy ☺
ReplyDeleteterima kasih atas pujiannya, saya kira tak hanya starla saja yang tak enak, si sastra ananta juga pasti merasa tak enak, pas tahu si starla ngasih kejutan pernikahan di hari ulang tahunnya
DeleteAstaga, jadi kisah starla sama sastra ini nyata ga sih? Cinta yang ga diperjuangkan ya.
ReplyDeleteFan, tapi keganggu sama = > "Dan beginilah jawaban dia" mengubah kata ganti orang pertama dengan kata ganti orang ketiga padahal subjeknya masih sama, dia dia juga, si sastra ananta itu kan? :-D
Jadi, alesan lu sampe sekarang masih sendiri, kayanya gue tahu. ahahaha
sebenarnya ini kisah nyata yang terfiksikan,
Deletebukan gak diperjuangkan bang, ini soal restu orang tua yang jadi penghalang. Dan si sastra tipikal orang yg begitu menghormati orang tua, dia udah pernah melamar starla dan ditolak, karena orang tua starla sudah punya calonnya sendiri. Semua alasannya tertulis jelas di bagian menjawab pertanyaan starla...
hahaha oke bang , makasih sarannya.. iya kalo soal penokohan emang masih jadi kelemahanku bang, masih belum pasti dalam menentukan penokohan via sudut pandang..
hehehehehe...
Setuju sama Mas Dika, keganggu dg kata dia. Tadinya kan aku dan kamu....
ReplyDeleteRibet ya jd org dlm ceritamu, tentang pilihan org tua vs pilihan sendiri. Semoga dpt pengganti yg lbh baik
hahaha iya makasih mbak sarannya, masih belajar dalam penokohan nih hehe
Deletehaha ya beginilah mbak cerita dalam tulisan saya, kadang masih sukar utk dimengerti dan dipahami
Saya tahu rasanya gak direstuin ortu. Sakit....
ReplyDeletehahaha iya sakit, perih euy
Deletekok jadi sedih bacanya ya van. hikz
ReplyDeleteSedih banget mas.. ini kalau cewek yg baca bisa mewek, apalagi klo True story / untold story hehe..
ReplyDeleteO ya ada koreksi di kalimat ini mas "bahwa kamulah sang PEMILIH Kafe Senja yang sebenarnya."
Mungkin maksudnya pemilik ya
hahahaha iya mungkin ya..
Deleteah iya betul mas, saya terlewat koreksi pas bagian itu, makasih mas atas koreksinya
hmmm kisah yang menarik.. soal restu dan soal "budaya" surga dibawah telapak kaki ibu, walau kisah terjadi di Polandia.
ReplyDeleteharap dibaca lagi mas hahaha
DeleteIni seperti kisah cinta kakak aku saat ini, mas.
ReplyDeleteSedih.
Dan gak tau harus berbuat apa.
Pasalnya yang gak setuju adalah keluarga dari pihak laki-laki. Beban berat berikutnya, ada pesan dari Bapak rahimahullah untuk jangan menikah dengan sembarang orang.
*saat baca tulisan ini, saya pun jadi ikut menghela napas.
Sesak dada ini rasanya.
wah ternyata ada kisah nyatanya juga, kirain cuma tulisan ini doang.
DeleteYa emang mbak nyesek rasanya tuh jika tiada restu dari orang tua, makanya tuh si sastra lebih memilih dimarahi oleh starla dibanding oleh ibunya starla,..
bedanya mungkin, dalam cerita ini tuhyg menolak lamaran sastra tuh orang tuanya starla..
Fan Fandhy. Saya sarankan kamu nonton Berkah Cinta di SCTV deh. Lebih perih lagi. Ada kaitannya sama perjodohan. Uniknya orangtua yang saling menjodohkan anaknya ini meninggal dalam kecelakaan padahal belum sempat mempertemukan kedua anak mereka. Maka sepanjang episod isinya dua tokoh ini saling mencari "mana sih jodohnya". Bayangkan Fan. Bagaimana kalau kamu harus menikah sama orang yang tidak kamu kenal bahkan belum sempat diperkenalkan?
ReplyDeleteYa bukannya itu justru mestakung bang? Semesta mendukung!
DeleteYa sekiranya jika jodoh, mau ditelikung elmaut pun tetap akan berjodoh, ya seperti nasib anak yg dijodohakn dan diperjodohkan dalam berkah cinta di sctv..
Tapi sayangnya, saya tak punya tv, jadi ya tidak bisa nonton..
btw terima kasih atas rekomendasinya haha
melihat tulisan ini kaya lagi nonton drama jepang romantis sekaligus sedih jadinya deh
ReplyDeleteSedih bacanya siang2
ReplyDeleteBtw, kisah starla dan sastra ini real ga sih?
Kayaknya ada sedikit pengalaman pribadi ya, walaupun dibalut bumbu fiksi. :p
hahaa kisah nyata yang terfiksikan, sepertinya sih begitu wkwkw :p
DeleteWah ini sudah cocok buat disiapin jadi naskah film pendek nih. Aku siap jadi talent kalo nda ada ya mas. Kayanya bakalan seru nih ya hehehehe
ReplyDeleteWah ini sudah cocok buat disiapin jadi naskah film pendek nih. Aku siap jadi talent kalo nda ada ya mas. Kayanya bakalan seru nih ya hehehehe
ReplyDeletewah ini nih haha emang ya kalo rejeki tuh gak kemana, haha
DeleteRestu org tua adalah segalanya, tapi #imho ya kalau soal pernikahan kan soal ibadah ya, kalau ada yg tdk berkenan menurutku tdk apa tdk dituruti. Apalagi kalau nikahannya settingan. Menikah harusnya krn niat ibadah. Tapi kain lari dgn pacar juga dosa. Ini knp au komen masalah nikahannya ya hehehe. Ya moga diberi yg terbaik ya buat Mbak Starla hihihi
ReplyDeleteinilah dilema simalakama nya mbak, disatu sisi si sastra cinta sama si starla, namun di sisi yang lainnya, lamarannya ditolak oleh orang tuanya starla. Lalu si starla pun sama cintanya pada si sastra, namun pada akhirnya si sastra yang mengalah dengan terbuka dan rela, dia lebih rela melepas si starla, dan menghormati orang tua (khususnya ibunya starla)..
DeleteYa mau gimana lagi ya, pernikahan tanpa restu orang tua, itu bagaikan bencana yang berganti muka saja
Bagusss.. Penasarann. Terus gimana endingnya? Di lompat dari tepi Sungai Vistula?
ReplyDeletemenutup hari dengan sesuatu yang penuh makna. Entah suka entah duka. Yang pasti terharu bacanya. suka karena membaca letupan alur cerita, duka karena baper sama isinya. Ah mungkin karena yang nulis lagi ulang tahun ya. Selamat ulang tahun mas Fandhy maaf ya terlambat.
ReplyDeleteBisa berlanjut jadi novel best seller ini.
hahahah terima kasih atas pujiannya mbak ira, sekiranya belum terpikirkan untuk menuliskan sebuah buku ataupun novel hehe
DeleteMasih suka menuliskan cerita apa adanya
Wah, baru tahu itu ada yang dikutip dari novelnya Pramoedya. Bacaannya keren. Makanya tulisannya bisa sekelam dan bikin baper gini, ya. :))
ReplyDeleteDiperjuangkan dan rela melawan orangtua, tapi malah gitu, ya. Huhuhu.
kalo soal baper atau tidaknya tulisan ini, sih emang baper yog hahaha
DeleteYa tapi gimana lagi ya, cinta itu buta. Kadang bisa membutakan pelakunya, tak bisa bedakan mana cinta mana logika. Pantas saja Agnes Monica menciptakan lagu berjudul cinta tanpa logika...
konflik yang sebenernya udah umum sekali, masalah restu orang tua, tapi alasan dari si cowok yang meminta si cewek nerima lamaran cowok pilihan orang tuanya, itu dalem ya :'))
ReplyDeleteEntah kenapa, gegara alasan si Sastra inilah membuat saya jadi adu diskusi dengan teman perempuan saya. Dia berpendapat bahwa si Sastra itu terlalu naif, karena tidak mau memperjuangkan lebih keras lagi akan cintanya kepada si Starla,..
DeleteTapi ya mau bagaimana lagi ya? terkadang menyediakan jalan untuk kebahagiaan orang itu bisa dinilai salah. karena mengorbankan kebahagiaan sendiri, dan rela berkorban inilah yang mana bisa disebut terlalu naif..
WOY TYPO WOY!!!
ReplyDelete