“Mulailah menulis, jangan
berpikir. Berpikir itu nanti saja. Yang penting menulis dulu. Tulis draft
pertamamu itu dengan hati. Baru nanti kau akan menulis ulang dengan kepalamu.
Kunci utama menulis adalah menulis, bukannya berpikir."
Terkadang, jauh lebih mudah menuliskan sesuatu
dengan bebasnya tanpa perlu memakai batas-batas tulisan yang bernama kerangka.
Seperti halnya dulu, ketika Gusdur masih menjadi orang nomor satu, Bahasa
Indonesia adalah pelajaran favoritku, mengarang bebas adalah keahlianku. Namun
dulu adalah dulu, dan kini adalah kini. Semakin banyak aku merasa tahu, semakin
banyak pula aku tidak tahu, salah satunya adalah tentang bagaimana menulis yang
baik dan benar. Baru sadar, ternyata tulisanku masih banyak kekurangannya.
Suatu waktu, seorang Lelaki Tua pernah berkata
kepada sahabatnya, “Barangkali aku harus
bercerita dengan duka suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa persimpangan
seperti jalan bercabang dua. Dimana aku telah berjalan pada salah satunya,
jalan yang jarang sekali dilalui. Dan disitulah perbedaan kita...”*
Seperti halnya kini, perbedaan yang aku sadari,
ternyata sudah terlalu banyak perbedaan. Tentang bagaimana cara tiap orang
menuliskan suatu cerita, setiap orang punya cara dan gaya yang berbeda. Ada
yang menuliskannya dengan kata-kata melankolia penuh drama laksana seorang
pujangga; ada pula orang yang menuliskannya dengan tulisan bermakna dua
layaknya seorang filsuf buta, yang perlu meraba-raba tiap katanya untuk
mengerti makna yang tersirat di dalamnya. Namun sayangnya, gaya tulisanku tak
masuk kriteria keduanya.
Barangkali, sesekali memang barangkali, perlu
sedikit waktu tambahan lagi untuk sedikit banyak memulai menulis kembali dengan
alur yang berbeda, dengan alur yang sedikit lebih cepat dari biasanya, dan lebih
sedikit memiliki susunan cerita yang jelas, tak lagi asal dalam mengutip kata dari
udara, seperti sebelumnya. Dan, setidaknya aku harus menyisihkan sedikit waktu,
untuk membaca ulang setiap tulisan yang aku tulis. Sedikit waktu saja, cukup
dibaca lagi, kata demi kata, pahami alur ceritanya, lalu koreksi dan revisi
sana sini, setidaknya self editing itu memang perlu.
Dahulu di suatu negara, membaca buku bisa
membuat seseorang meringkuk lama dalam penjara. Namun itu masa lalu, kini
membaca buku adalah kebebasan yang hakiki, semua orang boleh dan bebas membaca segala
buku. Kanan atau kiri tak jadi soal, asal tidak mengganggu ketentraman orang,
membaca buku bisa dilakukan dimana saja.
Seorang penulis terkenal pernah berkata,
bahwa “Untuk bisa membaca banyak buku diperlukan dua hal dimana uang dan waktu
tidak termasuk diantaranya. Dua hal tersebut adalah gairah dan kerendahan hati
bahwa kita banyak tak tahu.”** Sekiranya aku pun setuju dengan pendapatnya,
namun setidaknya ada sedikit tambahan yang mana dalam membaca buku, harus jeli
dalam membaca, tidak asal membaca saja. Harus bisa melihat sudut pandang lain
yang ingin disampaikan oleh Sang Penulis.
Setidaknya
dengan membaca buku, aku bisa menyerap segala pemahaman yang ditawarkan dari
sebuah buku yang dibacanya. Tanpa terfokus pada satu sisi, diksi ataupun ceritanya
saja. Namun bagaimana, jika ternyata selama ini ketika membaca buku ternyata
yang aku serap itu lebih banyak bagian diksinya, tanpa pernah meresapi akan
alur ceritanya?
Ya
terjadilah, sedikit banyak dari tulisanku yang terbaca hanya bagian
diksi-diksinya saja, cenderung
mengambang, kurang mengena dari maksud yang ini dituliskan. Terlihat dari
tulisanku, bahwa tulisanku hanya
menuliskan sastra saja, tanpa menceritakannya. Menuliskan dan menceritakan
itu berbeda tapi sama. Suatu simalakama yang menyenangkan, tapi sukses
membuatku pusing bukan kepalang. Sampai suatu waktu, kuputuskan untuk menghentikan
sementara segala kegiatan menulisku. Sebagian waktu kualihkan dengan membaca
buku, diulanginya lagi dan lagi, demi sebuah pemahaman yang lebih terperinci
akan sebuah cerita, tak lagi terfokus pada pilihan diksi semata.
Tiada
hal yang bisa aku lakukan saat ini, selain membaca buku dan berlatih menulis
lagi. Menulis dengan bebas, tapi dengan sedikit campuran berbagai
sudut pandang serta dengan tambahan sedikit kombinasi penerapan akan kerangka menulis
sesuai dengan tema. Toh setidaknya memetik kata dari udara masih tetap aku
lakukan. Bagaimana mungkin, merubah kebiasaan gaya menulis seseorang yang sudah
bertahun-tahun tertanam di kepalanya? Terlihat sukar untuk dilakukan, rasanya
seperti memaksa ikan untuk berlari cepat selayaknya kuda, ataupun sebaliknya.
Setidaknya, aku memilih belajar untuk mengkombinasikan antara kerangka menulis,
diksi, alur cerita dan menulis bebas sesuai sudut pandang yang aku inginkan. Serta
menambahkan sedikit waktu untuk melakukan koreksi kembali, karena aku baru
tahu, ternyata dalam dunia penulisan, self
editing itu perlu.
“Mulailah menulis, jangan berpikir. Berpikir itu nanti saja. Yang penting menulis dulu. Tulis draft pertamamu itu dengan hati. Baru nanti kau akan menulis ulang dengan kepalamu. Kunci utama menulis adalah menulis, bukannya berpikir." James Whitfield Ellison
Pernyataan
James Whitfield Ellison
di atas aku kutip kembali untuk mengingatkanku akan pentingnya arti Menulis yang
sesungguhnya, dan dasar ini ternyata yang aku terapkan sedari dulu. Dulu, waktu
pertama kali aku menganyam kata, jarang sekali aku memikirkan bagus atau
tidaknya hasil tulisanku, yang penting menulis dulu. Dan, aku menulis
semata-mata untuk menulis, menulis selayaknya arti menulis itu sendiri, menulis
dengan hati, tanpa tendensi itu akan berbau prosa ataupun sastra.
Selayaknya
anak muda yang sedang labil jiwanya, tulisanku pun kebanyakan berisi tentang curahan
hati seorang anak muda. Lalu, setelah membaca buku, sedikit demi sedikit, aku
pun menyadari pentingnya menulis ulang dengan kepala, tak hanya sebatas hati. Membaca
banyak buku ternyata pengaruhnya tak terlalu besar dari tulisanku. Ya, karena
ternyata aku hanya fokus pada menyerap diksinya saja, bukan pada sudut-sudut
lain yang aku dapat dari membaca buku. Disana-sini masih banyak kekurangan yang
perlu diperbaiki, seperti tulisan yang terlalu membosankan, kalimat
pembuka yang terlalu biasa, alur cerita yang lambat, tulisan
sastra yang terlalu dituliskan bukan diceritakan, serta susunan
kata dalam kalimat yang kurang mengena, masih terlalu mengambang, dan perlunya
menyisihkan sedikit waktu untuk self editing. Dalam menulis, self editing itu sangat penting, karena untuk
melakukan koreksi dan revisi, salah satu caranya ya dibaca ulang lagi dan lagi.
Tapi
bersyukurlah, setidaknya aku masih punya cukup waktu untuk belajar lebih jauh
lagi tentang bagaimana menulis cerita yang baik dan benar. Bersyukur, setidaknya
aku masih punya kawan-kawan dengan hobi yang sama, hobi menulis, yang dengan
senang hati memberi saran dan kritik pada tiap tulisanku. Berkat mereka, aku
tahu bahwa setelah menulis, setidaknya aku perlu melakukan self editing tiap kali aku selesai menulis, dan melakukan
fermentasi tulisan, sekedar memberi jeda agar nantinya tercipta peralihan sudut
pandang yang jelas dari aku sebagai penulis menjadi aku sebagai pembaca. Berkat
mereka, aku tahu bahwa menulis itu tidak hanya sebatas asal menulis.
#NB:
Tolong tegur kembali, jika tulisan ini ternyata penuh dengan alasan, sebagai bentuk pembelaan.
Terima Kasih.
Karawang, 24 Maret 2017.
(*)
Dikutip dari hasil terjemahan puisi The Road Not Taken karya Robert Frost.
(**)
Kutipan dari Helvy Tiana Rosa
Bahasan yang menarik, Fan. Ada yang pernah bilang, penulis yang baik adalah editor yang baik bagi tulisannya. Draf pertama kita sering kali kita anggap sampah. Tapi sampah bisa diolah, kotoran bisa dijadikan pupuk.
ReplyDeleteEaaa.
Membaca tulisan Mas Fandy, buat saya mengingat-ingat hasil tulisan saya selama ini. Pembukaannya terlalu umum dan biasa. Alur ceritanya pun kurang mengalir. Kadang saya sendiri gak puas dengan hasilnya.
ReplyDeleteMungkin bener kata Mas Fandy, saya harus banyak membaca lagi. Makasih sharingnya.
Dan seperti biasanya, tulisan Mas Fandy bagus, ngalir dan enak dibaca 😊
ini menarik! "Menuliskan dan menceritakan itu berbeda tapi sama." - Iya yah, menulis itu gampang, tapi yang membaca belum tentu mengerti cerita yang dimaksud.
ReplyDeleteSetujuuuuu! Ini tulisan menyentil aku yang kalau nulis, suka banyak pertimbangan. Huhuhu. Satu ide bisa diendapin berhari karena kebanyakan mikir. Dan itu menghambat produktivitasku dalam menulis. Bisa mempengaruhi mood juga. Jadi ya, kita baiknya tulis apa yang mau kita tulis. Jelek atau enggaknya itu belakangan. Karena bisa diedit. Ternyata memang benar ya, menulis itu baiknya jangan sambil mengedit. Harus ada gilirannya masing-masing gitu demi mencapai kekomplitan tulisan yang hakiki, pake hati dan pake kepala. Yuhuuuu. Terima kasih atas pencerahannya, Mas Fan! :)
ReplyDeletebetul karena penulis senirilah yang tahu apa yang dituliskan, kalau editor mungkin saja salah dalam mengartikan maksud penulis
ReplyDeleteBener sich fan, tapi sering bingung kalau self editing. Baca ulang makin galau perlu di post atau gak dan butuh waktu lama. Sekarang paling cuma baca sekilas aja trus post
ReplyDeleteinformasi yang menarik dan sangat bermanfaat.. tergantung pula dengan siapa yang kita tuju, kalau mengeditnya, harus bisa dicerna pembaca kita. Untuk brand, tentu mereka minta persuasif dan juga sedikit atau tak ada typo. Untuk "curhat" dan opini, mngkn kalimat2 slank boleh digunakan, sesuai style blogger itu sendiri. Setiap blogger dan tulisannya, biasanya keliatan stylenya seperti apa.
ReplyDeleteDulu yang sebelum publish sebuah artikel selalu saya edit dl.. maklum jadi editor mas hehehe..
ReplyDeleteTp klo nulis di blog mending apa adanya aja
self editing dampaknya juga begitu besar buat pembaca
ReplyDeleteBlog aku sih lagi nyari editor sendiri nih *lah
ReplyDeletemembaca dan kemudian menuliskannya kembali itu adalah tehnik yang sangatlaah bagus yang mana apabila di lakukan terus menerus kita akan terlatih dengan sendirinya untuk mengingat isi apa yang kita tulis kembali tersebut
ReplyDeleteBener nih. Self editing itu kadang lebih lama dari waktu nulisnya sendiri. Soalnya saya mau yang terbaik dari pembca saya. Asiq.
ReplyDeleteSelf editing kalau di blogku bisa sampai entah berapa belas kali hahaha itu baru perihal tulisan, belum gambar dan pendukung lainnya. Memiliki teman-teman yang peduli terhadap kemajuan langkah kita memang sangat menyenangkan. Bisa menjadi teman diskusi dan mungkin mengeluh jika mendapat kesulitan. Yuk terus belajar biar makin dan makin baik lagi~
ReplyDeleteSelf editing atau proof reading emang perlu banget buat penulis jangan sampai pembaca gak ngerti apa yang kita tulis ya mas...
ReplyDeleteSelf editing is maybe the most exhausting process in your writing life. It is also the most important part where you can reflect or see whether you are wrong or right, or is it perfect enough for you or not. Once in college life, I learned that what makes perfect writing is editing. Tulisannya bagus Fan informatif banget, satu hal yang disayangkan. Judulnya kenapa harus bahasa Inggris sementara kalau dibaca sampai bawah bahasa Indonesianya bagus sekali. Coba dicari padanan self editing hehe
ReplyDeleteMenyukai pelajaran Bahasa Indonesia sejak dini. Memiliki kegemaran membaca yang luar biasa. Pemilihan diksi yang apik.
ReplyDeleteDan menulis. Kombinasi yang luar biasa. Membaca ulang, mengolahnya kembali adalah penutup yang aduhai. Marilah kita sama sama belajar lagi
Sbnernya menulis itu gampang2 susah, merangkai kata2 yg ada dipikiran kadang harus diulang2,sampai pas ap yg kita fikirkan dgn apa yg ingin disampaikan pd pembaca.
ReplyDeleteSelf editing memang penting menurut aku, krna tulisan harus bisa dipahami dr berbagai sudut pandnag.
Penyakitku, nulis edit. Trus galau mau lanjutin alurnya. Nulis2 aja, edit di akhir. Dan self editing itu perlu bgt meski nanti ada editor yg bakal bantu edit
ReplyDeleteSaya sebisa mungkin jg melakukan editan sendiri
ReplyDeleteMenurutku, saat menulis ya udah tulis aja, enggak usah mikir typo-nya, salah eyd-nya, kalimatnya nyambung atau enggak. Pokoknya semua yang ada di kepala, tuliskan aja. Baru nanti setelah itu dibaca ulang, dirapikan, diedit. Karena kalau nulis, dari awal udah kebanyakan mikir teknis, tar enggak jadi-jadi. :D
ReplyDeleteDan diriku suka keder duluan kalau sudah harus edit lagi dan lagi... Typo pun masih berlanjut padahal yakin sudah diedit. Makasih Fan sudah diingatkan
ReplyDeleteSecara ngga langsung jadi pengingat diri sendiri juga :')
ReplyDeleteMemang dalam menulis itu tidak dituntut dengan aturan 'gini gitu', tetapi memang ketika tulisan itu disajikan untuk pembaca secara umum yaaa kita juga sebisa mungkin membuat tulisan itu "nyaman" ketika dilihat dan dibaca.
Hahaha.. Nyindir niiiih
ReplyDeleteTapikan yg kemarin itu tweet, nah loh? Masuk kriteria nulis juga sihhh.
Oke, ini pengingat ajasih ya.. Thankyou 😘
hahaha nyindir yang mana nih lus?
Deleteaku udah lupa wkwkw
btw ini template baru yang bawaan dari blogger ya? seneng liatnya. mau ganti juga aaahh wkwkkw
ReplyDeletebtw, bermanfaat banget nih tulisan buat blogger pemula kek aku. kadang aku lupa atau karena deadline jadi abis nulis langsung publish. tau-tau pas baca langsung stres, lah kenapa gini katanya wkwkwk
“Mulailah menulis, jangan berpikir. Berpikir itu nanti saja. Yang penting menulis dulu. Tulis draft pertamamu itu dengan hati. Baru nanti kau akan menulis ulang dengan kepalamu. Kunci utama menulis adalah menulis, bukannya berpikir." the best quotes bangettttt :)
haha iya ini template baru sep, didapat secara gratis dari blogger hahaha
Deletehaha cobalah sedikit demi sedikit berlatih untuk melakukan self editing ^^
Wow. First of all, this is a great article.
ReplyDeleteMembaca sebuah buku itu punya makna berbeda bagi setiap orang. Apa yang kita tangkep sehabis membacanya, belum tentu sama seperti yang orang lain pikirkan.
Saya kutip: "... ternyata aku hanya fokus pada menyerap diksinya saja, bukan pada sudut-sudut lain yang aku dapat dari membaca buku" --> Well, tenang aja, hal ini masih bisa dikembangkan kok ke depannya. Semakin banyak baca, khususnya buku dari beragam genre (bukan tipe itu-itu aja), insya Allah dengan sendirinya otak kita akan terlatih nangkep sudut pandang lain yang ingin disampaikan penulis. Bonusnya: dapet kosakata yang berlimpah.
Ya, merubah kebiasaan gaya menulis emang ga mudah, tapi untuk perubahan yang lebih baik, sah sah aja. Yang penting, jangan sampe kehilangan jati diri. Kalo merubah gaya menulis dengan ngilangin jati diri, cenderung memaksa di luar batas, malah ga nyaman nulisnya.
Saya setuju sama kalimat ini: "... setelah menulis, setidaknya aku perlu melakukan self editing tiap kali aku selesai menulis". Self editing lebih untuk menghargai pembaca dan juga diri sendiri. Kita juga pasti lebih nyaman baca tulisan yang bersih dari typo dan tertulis dengan lancar, kan?
Tulisannya bagus, Mas :-)
selamat datang mas bayu...
DeleteYa sebagaimana namanya prosesi pembelajaran. Kadang ada saja pelajaran baru yang bisa dipelajari, ya seperti halnya menulis dengan berbagai gaya menulis, ada saja yang berubah.
Dan terkadang semakin banyak membaca buku, terlihat atau tidak terlihat tetap saja ada perubahan dalam menulis. Perihal editng, sayang sangat setuju dgn bagian ini "elf editing lebih untuk menghargai pembaca dan juga diri sendiri. Kita juga pasti lebih nyaman baca tulisan yang bersih dari typo dan tertulis dengan lancar, kan?"
Iya, terasa lancar dan bersih dari typo... ^^
Aku kok ya gimana baca ini, jadi sedih sendiri gitu walaupun pada akhirnya juga jadi belajar juga sih. Aku mah masuknya ke yang nulis aja dulu (saking malesnya editing). Terus sekarang jadi (pengen nyoba), nulis aja dulu, edit kemudian. Gitula. Semoga bisa :"
ReplyDeleteSegalanya butuh proses, menulis pun tak terkecuali. Ya sekiranya memilih untuk mengedit kemudian itu kembali pada selera masing2 :D
DeleteSebagai seorang blogger yang tugasnya aadalah menulis, memang bebnar sekali apa yang diutarakan oleh si penulis ini. menusli bebas dulu nanti baru dio editing, ini keren!
ReplyDeletekunci utama dari menulis adalah menulis,,, yah iyalahhh,,, kalo membaca itu kunci utama dari membaca
ReplyDeleteaku baru nemu tulisan ini itu kemaren, dan aku langsung jatuh cinta sama cara penulisan:) semoga aku bisa seperti anda ya:) salam kepenulisan :D
ReplyDelete