Setelah
kesana kemari melakukan pencarian, akhirnya tiap orang akan kembali bertemu
dengan sebuah tempat dimana ia memulai (pencarian) untuk kali pertama. – T.S.
Elliot
Agenda
sebelum kembali ke tanah rantau, adalah menata apa yang sudah ada. Termasuk
menata rasa ikhlas untuk meninggalkan sementara kenangan bahagia yang
terwakilkan oleh aksara, yang tertumpuk rapi di dalam lemari tua. Menatapnya,
bagiku merupakan bahagia yang sederhana. Terasa sederhana, namun begitu
nelangsa. Sekiranya andai aku bisa menambah waktu liburan lebih lama, dengan
sangat rela, akan aku habiskan untuk membaca setumpuk buku baru yang belum
terbaca. Atau setidaknya mengenang kembali kisah cinta Alamanda, di dalam buku
Cantik itu luka.
Selain
orang tua, tumpukan buku-buku inilah yang selalu mengingatkanku akan kata
pulang. Mengingatkan akan sebuah mimpi lama, yang sampai sekarang belum
terwujud juga. Rumah. Tempat segala rasa kembali berpulang, tempat merubah
segala gundah menjadi remah-remah penuh hikmah, Rumah, tempat dimana segala
lelah terasa begitu mudahnya, lenyap begitu saja. Dan tidak ada tempat yang
paling menyenangkan daripada kampung halaman (rumah) dan tidak ada komunitas
yang lebih ekslusif daripada keluarga.(*) Dan semua itu, untuk sementara hanya
bisa aku temukan disini, di kampung halaman. Jauh di pelosok negeri.
Ada
beberapa buku yang tercecer di tanah rantau, yang sengaja ditinggalkan, agar
tahu bagaimana rasanya mengejar jejak-jejak mimpi yang perlahan memudar. Namun tetap
berpijar, seperti suar, meninggalkan tanda, yang menguar dan menyebar. Memberi tanda,
bahwa setidaknya masih ada harapan di luar sana. Harapan akan terkabulnya sebuah
cita-cita lama, yang terlupa.
Sedikit
penyesalan tercipta, tatkala aku kembali ke tanah rantau, aku tak bisa
menghabiskan waktu lebih lama dengan adikku satu-satunya. Ya setidaknya menjadikan
dia sebagai adik paling berbahagia di seantero Pulau Jawa. Tapi sayangnya, aku
malah memilih mengorbankan waktu yang sedikit itu dengan acara-acara tak
bermutu. Waktu dan kesempatan itu memiliki sifat yang sama, sekali dia melaju
maju, maka dia takkan mampu lagi untuk memutar kembali. Kecuali kalau dia itu Doraemon
atau Syahrini. Tentu ceritanya akan lain lagi. Namun ini bukan tentang
Syahrini, tapi tentang kesempatan yang terkadang hanya datang satu kali, dan
takkan datang dua kali.
Aku
belum pernah melihat patung atau gambarnya, tetapi aku sering mendengar ada
kebudayaan yang mempercayai adanya Dewa Kesempatan. Dewa Kesempatan itu punya
sayap dan hanya bisa berjalan maju, tidak bisa berjalan mundur. Ia punya kepala
dan wajah seperti manusia, tapi anehnya rambut panjangnya tumbuh di kening
menutupi matanya sehingga ketika berjalan, ia tidak melihat jalan yang akan ia
lalui. Sementara kepala bagian belakangnya polos tanpa rambut. (*)
Meskipun
bukan termasuk dewa yang berpenampilan necis, Dewa Kesempatan punya kharisma
yang harus diperhitungkan. Dewa Kesempatan hanya bisa berjalan maju, jadi
kesempatan yang sudah lewat tidak bisa diharapkan untuk kembali lagi. Ditambah lagi,
Dewa Kesempatan itu punya sayap, jadi ia bisa datang dengan cepat, lalu pergi
secepat ia datang. Eloknya, Dewa Kesempatan tidak bisa melihat karena matanya
tertutup oleh rambut panjangnya, jadi dia bisa mendatangi siapapun tanpa
pandang bulu. Dan celakanya, jika sudah berlalu, Dewa Kesempatan tidak bisa
kita pegang atau kita gapai karena kepala bagian belakangnya licin tanpa
rambut. Intinya, kesempatan harus kita songsong sebelum dia datang, bukan kita
kejar. Kesempatan berpihak pada orang yang siap.(*)
Dan,
ternyata aku belum siap.
Tiada
sesal yang abadi, selain sesal melihat diri berkubang dalam penyesalan akan
sebuah kesempatan yang tak bisa terulang kembali. Sebuah kesempatan yang terlewat
begitu saja, seperti halnya sebuah rest
area di jalur mudik yang terlewat begitu saja meskipun kau tahu ujung
selangkanganmu sudah menggedor memaksa. Seperti halnya kesempatan berlibur dengan
adik satu-satunya, yang tak pernah aku manfaatkan dengan betul-betul. Kesempatan
yang sudah berlalu tak bisa dikejar kembali, hanya bisa disesali, dan berharap
semoga di lain waktu, aku sudah siap menerima dan menggunakan kesempatan itu
tanpa malu-malu.
Setidaknya
kini, dengan selamat aku sudah kembali di tanah rantau. Tempat dimana aku akan
merangkai kembali mimpi-mimpi, menyiapkan diri untuk kesempatan yang aku
percaya akan datang lagi. Tanpa terasa,
waktu liburku sudah hampir habis. Tersisa beberapa jam lagi, dan aku rasa setidaknya
masih cukuplah untuk membaca lagi salah satu buku Haruki Murakami, atau menikmati
beberapa puisi karya Bapak Sapardi. Dan, semuanya akan terasa nikmat jika ditemani
secangkir kopi. Secangkir kopi buatan istri, namun sayangnya aku belum punya
istri, maka jadilah secangkir kopi buatan sendiri. Secangkir kopi pertama di
Bulan Juli.
Selalu
ada jalan bagi mereka yang enggan menyerah bagi siapapun yang tidak sudi takluk
dengan cuma-cuma. Tak peduli sesederhana apapun cara mereka dan berjuang.
Ralph
Waldo Emerson
Karawang, Minggu Dinihari, 2 Juli 2017
(*) Dikutip langsung dari buku
ketiga ANAK SEN yang berjudul Istana Negara Selalu Menghadap ke Timur, halaman
101.
Kadang memang saat pulang kita harus berkorban untuk kesenangan semata. Selamat menjalankan aktivitas di rantau lagi ya fandy
ReplyDeleteTulisan dengan tema ringan tapi penyampaian berat. Kurang bisa kunikmati, padahal diksinya ntaps! Entah mengapa. Aku mah baca Ali Oncom di Poskota aja lieur =(
ReplyDeleteMenjadi perantau itu akan selalu merindukan untuk pulang. Merindukan apa yang ada dan tersisa di kampung halaman. Merantau tetap harus berjuang dan semnagt menatap hari esok demi bisa pulang kembali ke kampung asal.
ReplyDeleteSalah satu kenikmatan bagi seorang perantau adalah merasakan rindu akan pulang dan menghargai waktu di rumah. Salam untuk adiknya!
ReplyDeleteSelamat datang kembali di tanah rantauan, tempatmu meniti serta merajut mimpi-mimpimu!
Bener ya kak, kl kesempatan sudah hadir, ada baiknya dipikir cepat apakah cocok dan baik utk kita, dan segera ambil. Emang sih kadang suka menyesal, kenapa kala dulu ga ambil kesempatan ini dan itu, tp ya udah, udah lewat juga, ga bisa balik lagi, jd ga blh menyesal :)
ReplyDeleteWaktu memang gak bisa berulang. Liburan dengan adik, sebaiknya dilakukan secepatnya. Tidak perlu menunggu hingga waktunya liburan tahun depan
ReplyDeleteBahasanya "berat" banget ya, tapi maksudnya ternyata mudah dipahami. Penyesalan datang bisa di belakang, kalau di depan namanya pendaftaran #eh
ReplyDeleteAdiknya sekali2 diajak ke tanah rantau dong.. Melihat seperti apa kota tempat kakaknya merajut mimpi & menenggak secangkir kopi sambil ditemani sepi. LOL
ReplyDeletesaat jauh dari rumah barulah terasa bahwa kampung halaman sangat indah dan banyak cinta hadir disana. tulisan hangat diakhir minggu
ReplyDeletebagi perantau, kembali ke perantauan artinya menikmati geliat dua rasa sekaligus, nelangsa meninggalkan keluarga (rumah dan orang-orang terkasih), juga semangat berjuang kembali tuk meraih mimpi.
ReplyDeletesemoga kelak saat kembali pulang ke rumah bisa memanfaatkan waktu bersama adik ya. salam anak rantau :)
Jadi gini, inti yang aku tangkap dari tulisan ini adalah semacam penyesalan karena kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama adik yang jauh tidak dimanfaatkan dengan baik. Tapi, kok dibawa muter-muter jauh banget ya, Mas? Cara berceritamu masih tidak efektif. Kalau yang baca gak jeli, jatohnya cuma bingung doang. Cobalah, Mas, sekali-kali kamu buat tulisan yang lebih lugas kalimatnya. :/
ReplyDeleteSaya kemarin pulang kampung seminggu rasanya pas tgl 2 Juli gak mau balik ke Jakarta utk merantau lagi mas.. udh capek.. apalagi brkt ke jkt sendirian karena istri masih pengen agak lama di Jogja hehe..
ReplyDeleteTapi ya life must go on, saya harus kembali ke jkt untuk mendapatkan sebongkah berlian raksasa haha
Aku baca tulisannya scroll ke bawah, nemu komentar Tiwi. Hahaha. Bener yang dibilang Tiwi, tulisan ini agak susah saya pahami. Alasannya entah apa, pas baca komentar ternyata kurang efektif dibeberapa bagian. Semangat ya, Fandy. Tetap belajar menulis dan tetap menulis.
ReplyDeletesalah fokus sama diksinya, hahahaa ntapsoulll
ReplyDeletetapi iya, bener, kata tiwi dan teteh, rada mbingungin, karena muter2. hihihi
derita anak rantauan, kalau jauh dari rumah, wang sinawang, tetep semangat ya Fandy.
Selamat merantau!
Wah, penulis dari udara favoritku bangkit kembali!!
ReplyDeleteJudulnya kenapa tidak "Dewa Kesempatan" saja sih, Fan. Lebih bikin penasaran. Menarik soalnya cerita tentang Dewa Kesempatan itu. Oiya, selamat merantau lagi, Fan. Hunting kekasih dong Fan sekali-kali mumpung di rantauan. Hunting buku mulu. DIbaca juga jarang. Wkwkw
Merantau ini penuh dengan survive banget. Semuanya dikorbanin terutama kebersamaan bersama keluarga. Akan tetapi, apabila kita mampu dan kuat dalam kehidupan rantau pasti hati merasa tenang apalagi teknologi sudah canggih. Klo kangen tinggal video callan dengan dikampung halaman deh
ReplyDeletePulang kampung adalah momen yang paling diunggu oleh para perantau. Aku pun demikian, setiap kembali ke kampung halaman, ada rasa berat untuk kembali ke perantauan. Tapi tapi... Hidup kadang tidak selamanya sesuai dengan yang kita inginkan. Nikmati saja prosesnya sampai akhirnya keinginan kita bisa terwujud tanpa harus menggunakan kata tapi
ReplyDelete