Senin, akhir bulan Januari, kamu mendapatkan sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Nomor yang tidak disangka-sangka akan memberimu harapan perihal masa depan yang menjanjikan. Setidaknya sampai saat itu, dirimu merasakan bahwa Dewi Fortuna sedang berpaling padamu, dan menawarkan keberuntungan yang ditunggu-tunggu. Seseorang menelponmu dengan nomor tak dikenal, yang suaranya mengingatkanmu pada tetanggamu. Tanpa curiga, kamu menyebutkan nama tetanggamu itu, yang dilanjutkan dengan persetujuan yang melanjutkan pada sebuah berita. Berita bahagia, atau lebih tepatnya kesempatan langka, begitu pikirmu, saat itu.
Lewat telepon yang berdering berulang kali, Dia menawarkan padamu sebuah kesempatan bisnis yang menurutmu Tidak ada salahnya untuk dicoba. Semuanya dijelaskan olehnya, perihal jenis, perihal harga, perihal segala tetekbengeknya bisnis yang ditawarkannya. Semuanya diawali oleh cerita, perihal saudaranya yang sedang terlilit masalah hutang dengan bank dan tidak membayarkan pinjaman bank. Alhasil, saudaranya itu terpaksa melelang seluruh asetnya, termasuk toko elektronik yang dimilikinya. Sampai titik ini, dirimu masih mendengarkan, sampai kemudian dia menawarkan, sebuah ide untuk membeli asset eletronik yang ada di toko saudaranya dengan separuh harga, lalu menjualnya lagi dengan harga normal. Betapa menguntungkannya, pikirmu saat itu, tanpa curiga, kamu setuju saja.
Entah kenapa, kamu mudah percaya, dan iya-iya saja. Termasuk ketika orang yang mengaku tetanggamu itu memberi nomor orang yang juga tak dikenal olehmu. Kamu diminta untuk mengaku sebagai sodaranya tetanggamu yang asetnya disita oleh bank. Dan, bodohnya, kamu iya iya saja, seolah di kepalamu yang dipikirkan hanya keuntungan semata.
0852xxxxx509, Ini nomor juragan elektronik di Roxy, begitu katanya.
Telpon saja, dia kenalanku, dia lagi butuh barang elektronik
untuk mengisi lagi tokonya, lanjutnya.
Tanpa curiga, kamu telpon itu nomor. Tersambung, dan terdengarlah suara seorang lelaki dengan logat mandarin kental, dia mengenalkan dirinya sebagai Koh A Siong, juragan elektronik di Roxy, kenalan tetanggamu. Terjadilah percakapan seputar bisnis yang entah kenapa juga, kamu iya-iya saja, dan seolah tersetir oleh perbincangan dengan Koh A Siong. Dirimu seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, yang menurut apa saja yang diminta oleh dia. Bolak-balik kamu telpon tetanggamu dan Koh A Siong, membicarakan perihal harga, membicarakan perihal bisnis, dan seterusnya.
Sampai pada akhirnya, Koh A Siong menyimpulkan bahwa dirinya mau pesan beberapa jenis elektronik dengan total semuanya sampai lebih dua ratus juta. Sedangkan modal awalnya, hanya seratus dua puluh juta. Selisihnya sekitar delapan puluh juta, lalu dibagi dua dengan tetanggamu. Hasilnya sekitar empat puluh juta, untuk tiap orang. Yasalam menguntungkan sekali. Di momen ini, logikamu sudah mati, isi kepalamu sudah tidak waras lagi. Di kepalamu hanya ada angka-angka keuntungan yang akan didapatkan. Semua itu membuatmu tidak waspada, sampai pada akhirnya tetanggamu menelpon lagi, dan mengatakan bahwa modalnya itu kurang sekian belas juta. Lalu, kamu diminta mencari sisanya itu, dan bodohnya kamu menurutinya. Kamu sampai rela meminjam uang kepada sodaramu, kepada perusahaan istrimu.
Pada momen ini, kamu masih belum sadar, kepalamu masih disibukkan oleh informasi-informasi terbaru yang diberikan oleh tetanggamu dan Koh A Siong. Kepalamu dipaksa mencerna segala informasi yang ada, tanpa mencurigai perihal nomor rekening yang diberikan tetanggamu, yang ternyata nomor rekeningnya tidak sesuai dengan nama tetanggamu. Bedebahnya, tetanggamu berkilah bahwa itu nomor rekening bank milik bendahara bank yang mengurusi pelelangan bank. Bodohnya lagi, dirimu iya-iya saja tanpa curiga. Sampai akhirnya dirimu setuju mentransfer uang sekian belas juta ke rekening tadi. Masih tanpa curiga, dirimu masih sibuk telpon dengan keduanya. Dan, akhirnya kamu berjanji untuk bertemu di depan lobi salah satu mall di ibu kota. Kamu menyetujuinya.
Siang itu begitu panas menyengat, dana kamu begitu semangat. Memacu kendaraan dengan sekencang-kencangnya, menuju Stasiun KRL terdekat, menuju Ibu Kota. Lewat jam makan siang, dirimu masih di dalam KRL, dan telponmu berdering, tetanggamu mengabarkan bahwa modalnya masih kurang tiga juta lagi, lalu kamu diminta untuk mencarikan lagi karena jika modal tidak mencukupi maka transaksi batal. Dalam kepanikan yang mendadak kamu menelpon sodaramu untuk meminjam uang lagi, dan mudah saja, sodaramu memberi pinjaman, tanpa curiga. Lalu, setelah uang terkumpul, lalu kamu telpon lagi tetanggamu itu untuk mengabarkan bahwa uangnya sudah ada, lalu kamu diminta untuk lekas mentransfernya ketika sudah sampai di Ibu Kota.
Tak berselang lama, Koh A Siong menelpon dan menanyakan dirimu sedang apa, lagi dimana, sama siapa, semalam berbuat apa, lalu kamu menjawab bahwa itu lirik lagu Yolanda. Sialan! Bukan itu maksud saya. Kamu menjawab bahwa sekarang kamu sedang di perjalanan. Dia menjawab oke-oke, ditunggu ya. Kabar-kabar saja kalau sudah sampai. Sampai disitu, kamu masih belum curiga. Setelah turun dari kereta, kamu lekas mengabari tetanggamu itu, bahwa kamu sudah sampai di Ibu Kota. Dia memintamu untuk lekas mentransfer uang kurangnya tadi karena ini bendahara sudah menanyakan mau bagaimana. Tanpa pikir panjang, kamu menuju atm terdekat, dan lekas mentransfer sesuai nominal yang dia minta. Dirimu kemudian diminta untuk menunggu di depan lobi, salah satu mall di ibu kota.
Sesampainya di depan lobi, kamu menelpon tetanggamu, lalu kamu diminta menunggu, karena tetanggamu beralasan sedang mengemas barang-barang yang dipesan Koh A Siong. Tak berselang lama, Koh A Siong menelponmu, dan menanyakan kamu ada dimana. Masih dalam perjalanan menjadi alasanmu, terjebak macet, begitu kilahmu. Panik, kamu mengabari tetanggamu, dan mendapati nomor tetanggamu itu sudah tidak aktif lagi. Berulang kali, kamu menelpon nomor tetanggamu, tapi hasilnya sama saja, nomornya sudah tidak aktif. Dicoba lagi, lagi, dan lagi, suara yang sama menjadi jawabannya:
Mohon maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Mohon dicoba sekali lagi.
Kamu berdiri sendiri di tengah lobi, di salah satu mall di ibu kota. Siang itu, lobi begitu ramai pengunjung, semua saling berseliweran di depanmu, tidak ada yang mengenalmu, tidak ada yang ingin tahu apa urusanmu. Semua lewat begitu saja, di depanmu, bagaikan ingatan-ingatan yang pada akhirnya menyeretmu sampai ke ibu kota. Ingatan yang menyadarkan, ingatan yang melemparkan kembali kesadaran dan logika yang tadi entah kemana. Semakin lama kamu menunggu, semakin besar kepanikan yang tercipta. Dicoba telpon tetanggamu sekali lagi, tapi jawabannya tetap sama saja, nomornya sudah tidak aktif.
Pada akhirnya, hari itu datang juga. Hari dimana kamu harus merasakan rasa yang begitu kamu takutkan selama ini. Kena Tipu. Iya, hari itu kamu kena tipu.
Uang sekian belas
juta yang kamu pinjam dari sodaramu, dari perusahaan istrimu, sudah dibawa lari
oleh orang yang mengaku tetanggamu. Tanpa membuang tempo, kamu lekas menuju ke
bank terdekat untuk mengabarkan perihal kasus yang menimpamu dan meminta bank
untuk memblokir nomor rekening yang diberi tetanggamu. Namun, bank sudah tutup,
dan satpam bank menjelaskan kepadamu, jika ingin memblokir rekening orang, harus
memiliki suraat laporan dari kepolisian. Dan, ketika kamu di kepolisian, kamu
mendapatkan fakta yang mana akan sangat sulit mengharapkan uangmu kembali.
Karena di kepolisian pun sudah banyak orang mengantri, karena menjadi korban
penipuan juga. Pulang dengan tangan hampa, pulang dengan membawa kesadaran yang
nyata, kesadaran bahwa dirimu baru saja kena tipu.
Kesedihan berubah bentuk, tapi tidak pernah berakhir. Orang-orang seringkali salah paham akan hal itu. Bahwa katanya, apa yang hilang akan tetap hilang, dan tidak akan pernah kembali lagi. Seperti halnya ketika kamu kena tipu. Mereka keliru, ketika kamu kena tipu, maka yang bisa merasakan itu hanyalah dirimu. Orang lain hanya menyediakan simpati dan empati untukmu, tapi tidak akan paham apa yang hanya bisa dirasakan olehmu.
Olehmu, yang baru saja kena tipu.
wah ceritanya relate banget yaa sama kehidupan sekarang ini. dari cerita ini kita bisa belajar untuk selalu berpikir rasional apapun itu dan nggak terburu-buru dalam mengambil keputusan. nggak ada yang namanya hasil yang memuaskan dengan usaha yang minimalis itu tidak realistis banget. nah yang kedua jangan mudah percaya sama orang. terkadang orang yang sudah kenal dekat dengan kita saja belum tentu berlaku jujur sama kita apalagi sama orang yang baru kita kenal. be smart gaess.
ReplyDeleteWah menarik banget ide ceritanya mbak
ReplyDeleteSangat related dengan kehidupan sehari-hari
Memang ya, berpikir rasional itu penting banget
Tidak boleh terburu-buru dalam mengambil keputusan
Biar nggak menyesal di kemudian hari
Ini bener-bener relate banget sama kejadian saat ini. Mirisnya, orang kalau sudah menjadi korban penipuan apalagi berupa uang akan susah mendapatkan keadilan, dalam hal ini mendapatkan uangnya kembali. Pernah dengar cerita, kalau pelakuknya tertangkap dan masuk penjara, berarti dia sudah tidak bertanggung jawab lagi mengembalikan uang para korbannya. Apalagi kalau pelakuknya sudah gak punya apa-apa lagi.
ReplyDeleteLagi-lagi korban cuma bisa gigit jari. Syukur-syukur tidak jadi stress dan gila.
modus penipuan emang banyak terjadi ketika kita lengah dan sedang mengharapkan sesuatu sih. Jadi ya tanpa pikir panjang, tanpa kroscek sana sini, terjadilah semuanya, dan kena deh.
ReplyDeletewaktu itu juga hampiiirr kena tipu, untungnya disadarin orang, trus kroscek sendiri deh.
sekarang kudu hati-hati, makanya ku pake aplikasi spam call gitu he he he
Wah keren ceritanya, related sama kehidupan sehari-hari, memang kita biasanya takut menghadapi sesuatu sampai menunda-nundanya. Sampai pada akhirnya hari di mana kita harus menghadapinya akan datang :)
ReplyDeletekisahnya banyak terjadi di kehidupan nyata
ReplyDeletekadang kesal jg dengan mereka yg mudah tertipu
tak memikirkan secara logika
hanya nafsu tergiur sesuatu
duh semoga ini bukan kisah nyata penulis yaa. heu. memang sekarang banyak banget modus penipuan lewat telepon kalau dulu pakai modus anak kecelakaan sekarang pakai modus bisnis yaa. trus mereka itu kayak punya hipnotis gitu bikin penerima telepon percaya sama cerita mereka. semoga aja kita dihindarkan dari penipuan begini
ReplyDeleteYup! Korban penipuan kadang tuh bingung mau gimana langkah selanjutnya karena prosesnya panjang. Saya buka JNE dan sering ada customer yang dapat resi bodong. Kasihan.
ReplyDeleteMembaca ini tanpa sadar sedang dalam fiksi. Tenggalam karena sangat familiar dalam keseharian. Mereka Yangs ering multi tasking Dan tidak fokus. Om ku pun pernah seperti ini .
ReplyDeleteSeriuuss..
ReplyDeleteAku pernah mengalami hal serupa dengan nama yang sama pula, Koh A Siong.
Jadi investigasi kebenaran itu bermula dari kenapa si tetangga dan Koh A Siong ini bisa bergantian telepon dalam selang waktu yang tidak lama, bagaikan janjian alias kong kalikong.
Ternyata memang begitulah.
Modus penipuan yang memanfaatkan janji-janji manis.
Itu kisah nyata ya gaes, saya kena tipu orang via telepon, seperti kisah di atas. Uang sekian belas juta dibawa kabur.
ReplyDeleteYa allah ini pengalaman nyata ya ternyata, semoga Allah mengganti dengan yang lebih ya Kak. Btw, setuju banget dengan paragraf terakhir tuh, hanya kita yang bisa merasakan rasanya kehilangan ya
ReplyDeleteKalau ingat nama Koh A Siong jadi keinget nama penipu barang elektronik yang pernah hampir nipu aku juga. Haha ini nama umum penipu apa ya.
ReplyDeleteEmang yaa zaman skrng tuuu kudu bisa rasional, gak ada dapat uang tanpa kerja keras dan berta, kalau terlalu gampang kudu dicurigai yaa
Kisah nyata kah kak? Hiks sedih sekaligus kesal. Aku pernah ngalamin juga. Ngaku temen kuliah ku zaman dulu. Suaranya mirip banget pula. Bilang ibunya sakit. Dia tertahan di bandara dll. Untung diselamatkan sama anakku, di ajak tidur. Aku ga jadi transfer deh
ReplyDelete