Menulislah, Seolah-olah Besok Kamu akan Melupakannya

Saturday, April 15, 2017

Tulisan Tanpa Arah

Akhir-akhir ini, saya merasa ada sebuah pusaran kasat mata yang menyedot segala bentuk semangat yang ada pada diri saya.

Dimulai pada suatu hari, dimana tanpa sengaja ada sebuah benda kasat mata yang datang dan menghantam tepat di tengkuk belakang kepala. Tanpa sengaja, keakuratannya telah memicu aktif sebuah lubang tersembunyi yang ada dalam diri saya, yang terbuka perlahan, menyedot segala sesuatu secara perlahan. Sekiranya, sejak hari itu saya merasa ada yang berubah, tanpa bisa dicegah. Terasa ada sesuatu yang salah.



Gejala pertama dimulai dengan enggannya mata terpejam di waktu malam. Lubang kecil terasa telah tercipta di balik sudut mata, yang kadang kala selalu menghantui lewat gelapnya. Gelap yang tak biasa, gelap yang mampu membuat kesadaran lari terbirit mengadu kepada kedua mata, untuk segera terbuka, dan mengerjap cepat meraba dan mencari saklar di pojokan kamar. Biasanya mata akan tetap terjaga sampai jelang waktu setengah dua, tepat dimana gerobak nasi goreng terakhir bergelegak jalannya, lewat tepat di depan jendela kamar saya.


Awalnya, terasa biasa saja, yang mana saya mengira ini semuanya hanyalah efek badan lelah semata. Namun nyatanya, ini semua telah berlangsung sejak beberapa waktu yang lalu. Kesulitan mata terpejam di waktu malam, ternyata menjadi awal dari sebuah kemerosotan kinerja akal pikiran dalam mengatur satu persatu anggota badan. Satu persatu anggota badan mulai memberontak, ada yang berontak menyasar otak, ada pula yang tenang semarak. Memberontak tanpa suara, namun berbahaya. Selayaknya gerakan separatis yang memberontak dari dalam, secara perlahan.

Satu persatu, anggota badan mulai memisahkan diri dari cengkeraman kekuasaan pusat. Bukan terpisah secara terbelah atau terbedah, tapi terpisah karena kontrol kuasa yang mulai melemah. Dari waktu ke waktu, segalanya terasa semakin serba salah. Salah, jika membiarkan seluruh tubuh memberontak. Entah, perihal apa yang hendak diperbuat. Pada akhirnya yang tersisa hanyalah lelah dan pasrah. Seolah menanti uluran tangan asing untuk membantu menumpas segala masalah.

Gejala kedua dimulai dengan seringnya kepala memikirkan sesuatu yang bukan tugasnya. Dimulai dari gejala pergeseran fungsi anggota badan, yang mulanya otak bertugas untuk memilah mana masalah dan mana berkah, kini terganti oleh sesuatu yang disebut hati. Terkadang otak menciptakan logika sesat yang membuat saya sering kali tersesat dalam sebuah labirin kasat mata, yang terkadang sering membuat saya terpekur lama, tanpa mengindahkan sekitarnya, dan membuat saya semakin masuk tersesat ke dalam jebakannya.

Diawali dari sebuah tepukan hangat yang menyasar pundak, yang seolah menyadarkan saya bahwa selama ini di kedua pundak, terpanggul sebuah beban kemanusiaan. Banyak orang menyebutnya sebagai sebuah kritikan, banyak orang pula menganggapnya sebuah hinaan, adapula orang yang menganggapnya sebuah tantangan, tapi bagi saya itu sebuah ujian. Ujian yang diberikan oleh seorang guru kejam bernama pengalaman, yang mana memberimu ujian terlebih dahulu dibandingkan memberi sebuah pelajaran.

Gejala ketiga bermula dengan ditandainya sebuah rasa, rasa dimana segala sesuatu terasa baik-baik saja, padahal aslinya tidak. Inilah masa dimana lubang telah terbuka mendekati sempurna. Menciptakan sebuah perasaan dimana kondisi genting sekalipun akan terasa baik-baik saja. Seperti halnya fase pelana kuda dalam gejala penyakit demam berdarah, fase dimana semua terasa baik-baik saja justru menyimpan bahaya yang sesungguhnya. Jika dalam Fase Pelana Kuda adalah Fase Kritis, maka di fase gejala ketiga inilah dimana semua rasa sudah masuk fase bodo amat. Fase dimana segala sesuatu tak ubahnya bagai angin lalu, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Secara perlahan, lubang mulai menyedot segala kesadaran yang saya miliki. Menciptakan lengah yang parah, menjadikannya seperti orang yang kehabisan darah. Tanpa semangat, muka layu sayu, tatapan kosong, adalah beberapa tandanya. Tujuan hidup sudah tidak ada, yang tersisa hanyalah remah-remah semangat yang masih melekat erat. Menjadikan saya seperti robot yang bergerak otomatis, seperti sudah ada yang menyetingnya.

Sesekali saya merasa semangat, namun dengan mudahnya akan jatuh terduduk lemas. Hidup menjadi sedikit sulit bagi saya, karena ketika tubuh sakit yang dibutuhkan adalah obat, namun bagaimana jika jiwa yang sakit? Atau jika Hati yang merana? Tampaknya saya kurang mengerti apa yang saya tidak tahu dan yang sebenarnya saya tahu dengan begitu baik, perihal bagaimana untuk hidup. Ya, saya pikir itulah awal segala sesuatu dimulai.*


(*) dikutip dari buku The Fall karya Albert Camus, hal 51

11 comments:

  1. Jujur, aku bacanya merinding dan langsung teringat aku sendiri.

    ReplyDelete
  2. Kok serem yak, lalu aku mulai membayangkan. Plus mbayangin gerobak nasi goreng lewat dimana muka penjualnya rata. Aaaaak!!

    Etapi nasi goreng malem malem itu enak sih.

    ReplyDelete
  3. Kl hati / jiwa yg merana, sepertinya kita cukup bersandar ke sang pencipta kita. Menurutku ya :)

    Salam,

    Timo
    Blog: Kadungcampur.com

    ReplyDelete
  4. keren isi kutipan bukunya. Ada sedikit rada horor tapi saya suka. Kayanya bagus nih buku ya. coba cari ah nanti bukunya

    ReplyDelete
  5. Kadang kala saya pun mengalaminya. Seperti hilang arah. Tapi kemudian menemukannya lagi. Mungkin semesta sengaja, agar kita bertanya, kemudian mencari, lalu menemukan, aku komem apa sih ini :D

    ReplyDelete
  6. Hati2 jika terlalu banyak pikiran, karena bisa menyebabkan penyakit tubuh. Psikosomatis.

    ReplyDelete
  7. Membacanya perlu waktu lama untuk mengerti kalimat demi kalimat dan kata demi kata hahaha

    ReplyDelete
  8. Dalem banget, ya. Kalau novel Indonesia kayak Stefani Hid.

    ReplyDelete
  9. Ketika seusiamu #ciee (emangsekarangusianyaberapabuk) saya sering merasakan ini. Lubang yang dalam, mencekam segala sendi. Lalu memakan ingatan, merajam nadi. Tapi tidak. Dirimu benar fan. Ini memang fase pelana kuda, tapi jelas bukan pelana yang sama. Karena jika kamu melewatinya dengan pasti, dirimu akan mendarat manis pada tujuan yang tak lagi tanpa arah...

    ReplyDelete
  10. Buku The Fall ini bercerita tentang apa? Sastranya tingkat tinggi banget :D

    ReplyDelete
  11. Kalau jiwa sakit katanya yang dibutuhkan adalah memperbanyak dzikir dan lantunan ayat Al Quran.
    Ga usah seumuran Fandhy, aku pun masih kerap kali merasakan hal seperti ini.

    ReplyDelete