Akhir-akhir
ini, saya merasa ada sebuah pusaran kasat mata yang menyedot segala bentuk
semangat yang ada pada diri saya.
Dimulai
pada suatu hari, dimana tanpa sengaja ada sebuah benda kasat mata yang datang
dan menghantam tepat di tengkuk belakang kepala. Tanpa sengaja, keakuratannya
telah memicu aktif sebuah lubang tersembunyi yang ada dalam diri saya, yang
terbuka perlahan, menyedot segala sesuatu secara perlahan. Sekiranya, sejak
hari itu saya merasa ada yang berubah, tanpa bisa dicegah. Terasa ada sesuatu
yang salah.
Gejala
pertama dimulai dengan enggannya mata terpejam di waktu malam. Lubang kecil
terasa telah tercipta di balik sudut mata, yang kadang kala selalu menghantui
lewat gelapnya. Gelap yang tak biasa, gelap yang mampu membuat kesadaran lari
terbirit mengadu kepada kedua mata, untuk segera terbuka, dan mengerjap cepat
meraba dan mencari saklar di pojokan kamar. Biasanya mata akan tetap terjaga
sampai jelang waktu setengah dua, tepat dimana gerobak nasi goreng terakhir
bergelegak jalannya, lewat tepat di depan jendela kamar saya.
Awalnya,
terasa biasa saja, yang mana saya mengira ini semuanya hanyalah efek badan
lelah semata. Namun nyatanya, ini semua telah berlangsung sejak beberapa waktu
yang lalu. Kesulitan mata terpejam di waktu malam, ternyata menjadi awal dari
sebuah kemerosotan kinerja akal pikiran dalam mengatur satu persatu anggota
badan. Satu persatu anggota badan mulai memberontak, ada yang berontak menyasar
otak, ada pula yang tenang semarak. Memberontak tanpa suara, namun berbahaya. Selayaknya
gerakan separatis yang memberontak dari dalam, secara perlahan.
Satu
persatu, anggota badan mulai memisahkan diri dari cengkeraman kekuasaan pusat.
Bukan terpisah secara terbelah atau terbedah, tapi terpisah karena kontrol
kuasa yang mulai melemah. Dari waktu ke waktu, segalanya terasa semakin serba
salah. Salah, jika membiarkan seluruh tubuh memberontak. Entah, perihal apa
yang hendak diperbuat. Pada akhirnya yang tersisa hanyalah lelah dan pasrah.
Seolah menanti uluran tangan asing untuk membantu menumpas segala masalah.
Gejala
kedua dimulai dengan seringnya kepala memikirkan sesuatu yang bukan tugasnya.
Dimulai dari gejala pergeseran fungsi anggota badan, yang mulanya otak bertugas
untuk memilah mana masalah dan mana berkah, kini terganti oleh sesuatu yang
disebut hati. Terkadang otak menciptakan logika sesat yang membuat saya sering
kali tersesat dalam sebuah labirin kasat mata, yang terkadang sering membuat
saya terpekur lama, tanpa mengindahkan sekitarnya, dan membuat saya semakin
masuk tersesat ke dalam jebakannya.
Diawali
dari sebuah tepukan hangat yang menyasar pundak, yang seolah menyadarkan saya bahwa
selama ini di kedua pundak, terpanggul sebuah beban kemanusiaan. Banyak orang
menyebutnya sebagai sebuah kritikan, banyak orang pula menganggapnya sebuah
hinaan, adapula orang yang menganggapnya sebuah tantangan, tapi bagi saya itu
sebuah ujian. Ujian yang diberikan oleh seorang guru kejam bernama pengalaman,
yang mana memberimu ujian terlebih dahulu dibandingkan memberi sebuah pelajaran.
Gejala
ketiga bermula dengan ditandainya sebuah rasa, rasa dimana segala sesuatu
terasa baik-baik saja, padahal aslinya tidak. Inilah masa dimana lubang telah
terbuka mendekati sempurna. Menciptakan sebuah perasaan dimana kondisi genting
sekalipun akan terasa baik-baik saja. Seperti halnya fase pelana kuda dalam
gejala penyakit demam berdarah, fase dimana semua terasa baik-baik saja justru
menyimpan bahaya yang sesungguhnya. Jika dalam Fase Pelana Kuda adalah Fase
Kritis, maka di fase gejala ketiga inilah dimana semua rasa sudah masuk fase bodo amat. Fase dimana segala sesuatu
tak ubahnya bagai angin lalu, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Secara
perlahan, lubang mulai menyedot segala kesadaran yang saya miliki. Menciptakan
lengah yang parah, menjadikannya seperti orang yang kehabisan darah. Tanpa
semangat, muka layu sayu, tatapan kosong, adalah beberapa tandanya. Tujuan
hidup sudah tidak ada, yang tersisa hanyalah remah-remah semangat yang masih
melekat erat. Menjadikan saya seperti robot yang bergerak otomatis, seperti
sudah ada yang menyetingnya.
Sesekali
saya merasa semangat, namun dengan mudahnya akan jatuh terduduk lemas. Hidup
menjadi sedikit sulit bagi saya, karena ketika tubuh sakit yang dibutuhkan
adalah obat, namun bagaimana jika jiwa yang sakit? Atau jika Hati yang merana?
Tampaknya saya kurang mengerti apa yang saya tidak tahu dan yang sebenarnya saya
tahu dengan begitu baik, perihal bagaimana untuk hidup. Ya, saya pikir itulah
awal segala sesuatu dimulai.*
(*)
dikutip dari buku The Fall karya Albert
Camus, hal 51
Jujur, aku bacanya merinding dan langsung teringat aku sendiri.
ReplyDeleteKok serem yak, lalu aku mulai membayangkan. Plus mbayangin gerobak nasi goreng lewat dimana muka penjualnya rata. Aaaaak!!
ReplyDeleteEtapi nasi goreng malem malem itu enak sih.
Kl hati / jiwa yg merana, sepertinya kita cukup bersandar ke sang pencipta kita. Menurutku ya :)
ReplyDeleteSalam,
Timo
Blog: Kadungcampur.com
keren isi kutipan bukunya. Ada sedikit rada horor tapi saya suka. Kayanya bagus nih buku ya. coba cari ah nanti bukunya
ReplyDeleteKadang kala saya pun mengalaminya. Seperti hilang arah. Tapi kemudian menemukannya lagi. Mungkin semesta sengaja, agar kita bertanya, kemudian mencari, lalu menemukan, aku komem apa sih ini :D
ReplyDeleteHati2 jika terlalu banyak pikiran, karena bisa menyebabkan penyakit tubuh. Psikosomatis.
ReplyDeleteMembacanya perlu waktu lama untuk mengerti kalimat demi kalimat dan kata demi kata hahaha
ReplyDeleteDalem banget, ya. Kalau novel Indonesia kayak Stefani Hid.
ReplyDeleteKetika seusiamu #ciee (emangsekarangusianyaberapabuk) saya sering merasakan ini. Lubang yang dalam, mencekam segala sendi. Lalu memakan ingatan, merajam nadi. Tapi tidak. Dirimu benar fan. Ini memang fase pelana kuda, tapi jelas bukan pelana yang sama. Karena jika kamu melewatinya dengan pasti, dirimu akan mendarat manis pada tujuan yang tak lagi tanpa arah...
ReplyDeleteBuku The Fall ini bercerita tentang apa? Sastranya tingkat tinggi banget :D
ReplyDeleteKalau jiwa sakit katanya yang dibutuhkan adalah memperbanyak dzikir dan lantunan ayat Al Quran.
ReplyDeleteGa usah seumuran Fandhy, aku pun masih kerap kali merasakan hal seperti ini.