Aku ingin bercerita tentang suatu masa, dimana ada
seorang anak lelaki yang nekat pergi seorang diri, menuju rimba industri di
sebuah kota kecil dekat ibu kota. Kota yang tak dikenalnya, kota yang tak
pernah terlintas di kepalanya, kota yang berjarak delapan jam perjalanan dari
kota asalnya, kota yang tak pernah disangka akan memberinya sebuah pengalaman
langka, berlayar di bawah senja.
Berlayar di bawah senja, baginya adalah pengalaman
yang langka. Dengan menikmati hiruk pikuknya deburan ombak, yang seolah saling
bersahutan dengan deru mesin kapal, di tengah lautan, nikmat Tuhan mana yang
dia dustakan? Sebagai orang asli pegunungan, lautan adalah khayalan yang sering
dia impikan, selayaknya surga yang dirindukan, selayaknya kamu muara segala
kerinduan, lautan adalah kemustahilan yang selalu dia usahakan. Sekiranya
semesta sedang berbaik hati padanya, dia pun kembali bertemu lautan, tak hanya
bertemu, dia pun berlayar di tengahnya, dengan tujuan pulau seberang, ditemani
langit senja yang tak pernah bosan, dalam menawarkan keindahan.
Dia berlayar tak seorang diri, dia tergabung dalam
rombongan tempatnya bekerja. Tiada yang tahu, bagaimana dirinya begitu sibuk
menatap hamparan lautan biru di depannya. Desau angin laut, goncangan kapal
tatkala membelah gelombang, bukanlah sebuah halangan, namun justru sebuah pintu
gerbang pertama bagi dirinya untuk masuk ke dalam sebuah dunia, dunia aksara.
Berlayar di waktu senja adalah sebuah kebahagiaan, karena baginya itu adalah
momen dimana tiga kenikmatan bisa dinikmati dalam satu waktu, lautan, aksara
dan senja. Ah bung, nikmat Tuhan mana
yang kau dustakan?
Talk Less, Read
More... Empat kata yang dia
anggap sebagai pedomannya. Baginya membaca buku bisa dilakukan dimana saja,
namun membaca buku di atas kapal yang berlayar, di tengah lautan, dengan langit
senja yang menghampar di depan mata, adalah pengalaman yang langka. Berbahagialah
mereka yang pernah merasakannya. Dahulu semua itu hanyalah imajinasi, khayalan
masa kecilnya, namun siapa sangka hari itu dia berhasil mewujudkannya. Memang
benar kata penasehat negara, selama kita
mau dan mampu menjaga bara mimpi tetap menyala, maka kita masih memiliki
kesempatan untuk mewujudkannya. Dan hari itu, dia berhasil mewujudkannya.
Dia banyak membaca buku karena dia tahu bahwa
dirinya tak ahli dalam menampilkan kata. Dia berlagak acuh padahal sejatinya menyimak
semuanya, dia hanya tak bisa berkata dan mengutarakan apa yang ada di
pikirannya. Karena ketika dia membuka mulutnya, orang-orang akan meninggalkannya,
dan menyebutnya sok pintar, karena kerumitan dan ketidakjelasan akan makna
dibalik kata-katanya. Ini yang seringkali membuatnya heran, Bagaimana mungkin dirinya
merasa pintar, jika bodoh saja tak punya?*
Selain membaca buku, di atas kapal, dia pun lebih
banyak diam. Dia lebih banyak melihat, lebih banyak menatap hamparan biru
lautan, lebih banyak meratap dalam diamnya. Tak ada yang tahu, tak ada yang
menyadari, meskipun mulutnya terkunci, namun pikirannya mengembara, terbang entah
kemana. Pertama, dia singgah ke kampung halamannya, tempat dimana keluarga
menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada
tempat yang lebih menyenangkan daripada kampung halaman dan tidak ada komunitas
yang lebih eksklusif daripada keluarga.**
Kedua, dirinya akan mengembara ke sebuah lubang,
tempat dimana segala perasaan tercampur aduk dalam-dalam. Tentang perasaan
cinta, asmara, rindu, harapan, ataupun sebuah penantian, yang masih saja belum
ditemukan muaranya. Terkadang dia merasa layak untuk dicintai, dirindukan, dan
berbahagia, tapi terkadang dia juga merasa bahwa segala sesuatu yang dilakukan
ditujukan untuk siapa? Dan dirinya pun sadar, bahwa Hidup tidak bisa dijalani dengan pikiran semata karena ada bagian dari
hidup yang harus dia lalui dengan menggunakan perasaan.** Tapi bagaimana
dengan dirinya kini? Entahlah.
Dan, tempat terakhir yang dia tuju lewat angannya
adalah sosok di masa depan yang masih terlihat samar, sosok wanita yang layak
dijadikan muara atas segala doa dan kerinduannya, Selayaknya seorang lelaki yang mengharapkan malaikat sebagai istrinya,
tapi dia sadar wanita itu seperti dirinya... Penuh dosa, tidak bijak, dan penuh
kekurangan, tapi juga seperti dirinya, penuh perjuangan untuk hal-hal yang
lebih baik.*** Dan dia percaya, bahwa dirinya tidak perlu tergesa-gesa,
karena Tuhan selalu punya jeda yang pas untuk setiap pertemuan, perpisahan, dan
masa depan.
Lautan bagai sebuah cermin raksasa yang memantulkan
cahaya senja, dengan aksara, dirinya dituntun untuk menikmati segala
keindahannya. Siapa yang mengira, dengan menatap senja dirinya bisa mengembara
ke berbagai tempat. Menyajikan berbagai macam cerita tersembunyi yang tidak
banyak orang mengetahuinya. Sekiranya memang benar kata sebuah peribahasa, air
tenang menghanyutkan. Dalamnya lautan bisa diukur, namun dalamnya hati
seseorang, siapa yang mampu? Apakah kamu
mampu? Apakah kamu tahu siapa dirinya?
Wat zeg je? Oh...
Ik weet het niet! (Apa yang kamu
katakan? Oh... saya tidak tahu!)
Sialan, ternyata sedari tadi aku bercerita pada Orang
Belanda, pantas daritadi dia diam saja!
Karawang, 23
April 2017
(*) Dikutip dari judul buku Merasa Pintar, Bodoh
Saja Tak Punya. Kisah Sufi dari Madura karya Rusdi Mathari.
(**) Dikutip dari buku Istana Negara Selalu
Menghadap ke Timur karya Anak S-E-N.
(***) Dikutip dan dialih bahasa dari bagian tulisan
Robert Louis Stevenson yang berjudul Virginibus
Puerisque.
waaaaaaaaaaaaaaaaah tulisannya kereeeeeeeeeen :')
ReplyDeleteAku pengen bisa nulis begini.
Gimanalah bisa nulis lautan, senja, dan membaca dalam satu waktu dengan tulisan sepanjang ini tapi tanpa menggunakan kata 'saya'.
Ah sukaaaa :D
btw setuju sama quotes yang ini -> "tidak ada komunitas yang lebih eksklusif daripada keluarga."
Oh ini yang senja aku salam balik ya fan~
ReplyDeleteUntung yg baca ini ngerti bahasa sastra indonesia jd mengerti. Mengeti membacanya tp lum trntu paham makna tersirat dr tulisan nyastra ini.. yg penting enjoy mmebaca tulisan kontemplasi macam ini. Dahsyat.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletefandy aku gagal fokus ma fotomu apikkk jjadi pengen
ReplyDeleteDaku hanya bisa berkata, aku paham rasanya jadi kau mas Fan
ReplyDeleteSalam anak rantau!!!
Pantang pulang sebelum sukses!!!
Ha-ha-ha... Endingnya kocak banget mas.. padahal itu pasti dah ngarep bs ngobrol sama cewek cakep hehe..
ReplyDeleteBaca buku di tengah lautan pasti rasanya seru banget mas. Apalagi di bawah senja yang sangat membahagiakan
melihat senjata di atas kapal seru juga ya apalagi feelsnya dapet buat yang berpasangan hihihi tp kalo jomblo beda lagi hihihi mencari kesibukan lain pastinya ajib
ReplyDeleteseneng banget bacanya. serasa beneran ada di atas kapal ditemani laut dan senja.
ReplyDeletebtw... jadi ngebayangin raut muka orang belandanya -_-
Asyik nih bersantai di atas kapal, sambil membaca buku :)
ReplyDeleteKupercaya bahwa senja memiliki berbagai makna yang berbeda bagi setiap orang. bahagia bisa menikmatinya sembari bercemin, diam, mematung dan bersyukur
ReplyDeleteSemuanya nyata.
ReplyDeleteTapi endingnya bikin greget.
hahha....bikin chapter 2 nya, Fan.
Orang yang suka baca, pastilah lama-lama bisa nulis. Nih, buktinya tulisannya bagus kok.. :D
ReplyDeleteOke, layaklah masuk ke komunitas #HotDudeReading. :))))
kren bro, produktif bgt, sambil nunggu sampai tujuan. di kapal, nulis tulisan cakep kek gini. keren :D
ReplyDeleteHehehe endingnya lucu banget :D
ReplyDeleteSeru ya berlayar gtu, aku lupa kapan terakhir naik kapal, kyknya pas SMP saat nyebrang ke Bali hehe.
Btw justru baca buku kan bisa bikin kaya kata, ya, kan? :D
Banyak kutipan, keliatan banget banyak baca, keren.. Keren!
ReplyDeleteAku kok jadi keinget diri sendiri ya baca postingan ini. Secara diirku juga anak kampung yang nekat hijrah ke kota untuk menuntut ilmu dan pengalaman hidup :)
Mas Fan, pelis deh.. Makin bagus aja ini rangkaian kata-katanya :(
ReplyDeleteAku amat terkesima. Ini ceritanya pake sudut pandang 2, yak? Padahal lagi nyeritain diri sendiri? Hihihiii
Aku sebenarnya bingung dan kadang mikir, kenapa orang sangat suka senja. Aku nanya beberapa orang jawabannya kurang memuaskan. Menurut kamu, kenapa kamu suka senja?
ReplyDeleteWah, mulai Asyik nih, Fan. Ceritanya udah dapet banget. Keren. Kalau diksi, sih, ndak perlu ditanya, ya.
ReplyDeleteJadi keingetan, bukunya Rusdi belum gue baca --_-- "
Bang fandy stapel dulu yah
ReplyDeletentaaapp :)
ReplyDeleteMantap banget lah mas fandhy ini. Di mana dan kapan pun, pasti menyempatkan untuk baca. Slogannya juga gak kalah keren. "Talk less, read more."
ReplyDeleteSukses selalu buat si anak lelaki yang lagi merantau ke kota industri :)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteyg ada di pikiranku soal membaca buku di tengah lautan, terus kapalnya pasti goyang2... dijamin bukannya menikmati malah eneg pasti sayaa tida sangghupp toloonggg.. saya team pembaca dalam suasana damai dan tidak "tergoncang" wkwkw. asik ihh, parahh, cerita tntng diri sndiri pake sudut pandang ke tiga. coba ahh~ berasa baca fiksi banget ini diksinya man entabhh !
ReplyDeleteAku mau kasih komentar pada tulisan ini dalam bentuk 3 poin.
ReplyDelete1. Tulisannya keren banget
2. Aku suka tulisan pada paragraf ke 5
3. Gagal fokus pada tulisan terakhir, haha kocak benar - benar gak kepikiran loh