Apa yang tersisa
dari sebuah khayalan masa kecil? Hanya sekerlip kenangan lama yang enggan
beranjak pergi, menganeksasi setiap sudut pikiran. Menipu logika, menciptakan
pola, menikam rasa cinta. Hanya ambisi yang tersisa, ambisi yang membuatnya
tega melakukan segala usaha untuk menggapai bayangannya. Bayangan akan khayalan
masa kecilnya.
Seorang anak
bertanya kepada alam semesta, apa sebaiknya yang kulakukan, dengan tak
ragu-ragu alam menjawab cintailah dirimu. Tetapi ketika anak itu tersenyum alam
membentak, tetapi bukan itu maksudku. Lihatlah segala perbuatanmu yang tidak
pantas untuk ciptaan tuhan, dan pangkas sekarang juga. ~ Mencintai Diri, Putu Wijaya.
Teriakan itu
begitu nyaring terdengar, meskipun mulutmu terbekam dengan keras. Teriakan itu
terasa menggelora, menggemeretakkan gigi, menggetarkan suara, penuh lara penuh
duka. Teriakan itu begitu menggema, meskipun mulutmu disumpal moncong senjata,
memaksamu diam. Teriakan itu terasa memantul, memantul ke segala penjuru negeri
menjadikannya pembebas meskipun sukmamu menjadi taruhannya. Ah peduli setan
soal raga yang tertinggal, baginya kebebasan berteriak adalah tujuan hidupnya.
Terlihat di
ujung jalan, berserak orang-orang yang berteriak lantang, menentang kenaikan
harga BBM yang katanya semakin mengencangkan ikat pinggang. Menjadikannya
beringas, buas, dan seolah berkata bahwa akulah yang pas menjadi pemimpin
negeri ini, akulah, akulah, hanya akulah. Namun semua menjadi sia-sia semata
tatkala melihat jejeran mobil-mobil berlambang kuda, jejeran pakaian bergaya
eropa, dan jejeran perhiasan yang menyilaukan mata. Membuatnya lupa akan
jeritan-jeritannya kemarin di ujung jalan. Sekiranya teriakannya masih saja
bergema, namun nyatanya di depan harta dunia semua laksana angin lalu semata.
Teriakan yang penuh sia-sia.
Segelas kopi
hitam mungkin hanyalah sesesap nikmat yang sementara, tak sebanding dengan
sensasi mengulam senyumanmu. Senyumanmu yang tak pernah habis meski tersesap
dihisap dan dikesap setiap hari oleh dirinya yang begitu beruntung. Semua jadi
tak sebanding memang jika perlu disandingkan keduanya. Segelas kopi hitam itu
nyata, namun senyumanmu itu sudah tak nyata. Kopi hitam habis terhisap pusara
kenikmatan perasa, dan senyumanmu habis terhisap pusara tanah yang memerah.
Baginya, senyumanmu hanyalah kenangan terakhir yang tersisa.
Dalam gelapnya
kegelapan ruangan, terdengar suara pelan, suara desahan, suara erangan yang
perlahan menjadi buram tertimpa pantulan cahaya dari luar. Lantai dan arang
yang menjadi saksi, seolah menjadi bukti. Bahwa pemikiran tak bisa dikekang
oleh gelapnya ruangan.
Tulisanmu
hanyalah remah-remah sejarah, perlahan tersapu dari dasarnya. Menciptakan bekas
yang tak terhapuskan, meskipun bermacam penguasa sudah mencoba untuk
melakukannya. Teriakan lantangmu hanyalah desiran angin lalu, yang terlihat
begitu menipu. Meminta bukti, menagih janji akan para penguasa yang tersemai
tatkala masa kampanye tiba. Masih saja berharap akan kemurahan semesta,
meskipun engkau tahu semesta itu kaki tangan penguasa. Hanya keping ingatan
yang tersisa, tersisa dalam himpitan beban hidup yang begitu menjepit.
Menjualnya atau bahkan mengobralnya pun seolah tiada gunanya.
Pertanyaan itu
membuatnya gila, pertanyaan yang hampir dikuasai oleh kata Mengapa. Mengapa ini
terjadi pada dirinya? Mengapa harus dia yang jadi pilihan alam semesta?
Mengapa? Mengapa pertanyaan ini tercipta? Mengapa harus dia yang mencari
jawabannya? Mengapa bukan aku? Apa jadinya pertanyaan untuknya berbalik
menghajarnya, menjadikannya lemah, membuat semangatnya musnah? Ah tapi apa
pentingnya, memang sudah jadi kodratnya pertanyaan yang terjawab dengan
pertanyaan yang lainnya.
Apa gunanya kata
maaf, ketika itu terucap hanya di mulut saja tanpa ada niatannya untuk
menunjukkannya lewat perbuatan yang nyata. Perbuatan yang nyata tanpa sekalipun
berniat mengulangnya. Tapi dasar manusia, selalu saja lengah akan tipu daya
dunia. Menjadikannya lupa akan janji mereka sebelumnya. Ah sekiranya itu bukan
hanya diriku saja.
Ku tulis segala
yang terlintas untuk disempurnakan ketika tak ada dorongan untuk mencipta tetapi
hidupku memerlukan pekerjaan dan menjadi tukang adalah kewajibanku sebagai
seorang penulis yang bodoh. ~ Penulis
yang bodoh, Putu Wijaya.
kopi hitam memang tak pernah bisa mengalahkan senyumnya. meskipun kopi itu nikmat, tapi senyumnya lebih nikmat. sadis..
ReplyDeletehehehhe
DeleteBaguss.. 😉😉
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBaguss.. 😉😉
ReplyDeleteKenapa harus penulis yang bodoh si kata Putu Wijaya. :(( (gak nyambung)
ReplyDeletehaha ada ada aja dev
DeleteTulislah biar berupa remah. Jejak itu tetap akan tinggal :)
ReplyDeleteremah remah zaman yang perlahan kabur terbawa arus kehidupan
Deletesalam kenal aja
ReplyDeleteyeah salam kenal
DeleteSiip deh buat tulisannya :)
ReplyDeleteSegala sesuatu pasti ada maknanya
ReplyDeleteiya kak :))
Deletetulisannya keren
ReplyDeleteMeskipun tak bermakna tapi indah :D
ReplyDeleteTerima Kasih
DeleteIya ya, manusia memang lengah akan tipu daya dunia padahal dunia ini diibaratkan terminal untuk menuju akhirat
ReplyDeleteiya harusnya memperbanyak membawa bekal
Deleteaku menulis untuk megukir sejarah, meskipun hanya remah - remah aja -_____________-
ReplyDeleteremah remah sejarah
DeleteMenulislah meskipun ternyata tulisan itu hanya remah-remah ^^
ReplyDeletehahaa bisa aja
Deletekata tak bermakna tapi indah .. kereen
ReplyDeletepilihan bahasa yang cerdas. Salam kenal.
ReplyDelete