Senja di Bulan
Juni, tampak begitu indah semburatnya. Pesonanya yang selalu aku suka sejak
pertama kali berjumpa. Laksana candu yang membuatku ketagihan selalu. Tiada
hari tanpa melihatmu, tak peduli sedang turun hujan ataupun turun salju. Dimana
aku melihat langit, disitu aku selalu teringat akan sosokmu, sosok senja yang
seolah mengingatkanku pada sosokmu. Sosok yang dulu selalu ada untukku, bersama
menatap senja dan menghabiskan secangkir kopi madu, kesukaanmu, kesukaanku,
kesukaan kita dahulu.
Senja di Bulan
Juni, awal bulan di hari yang tak sengaja. Tak sengaja kenapa aku berhenti di
tempat itu, kafe pinggir kota yang menghadap langsung ke arah cakrawala. Kafe
Senja, begitulah orang menyebutnya. Entah karena apa, awalnya aku tak tertarik
untuk mendatanginya. Namun hari itu, aku tahu kenapa kafe itu diberi nama Kafe
Senja. Kafe Senja, yang hanya ramai tatkala waktu senja. Kursi di pinggir
jendela, hanya itu kursi yang tersisa, itu pun tanpa sengaja aku harus berebut
paksa dengan seorang wanita. Namanya juga anak muda, tak pernal rela untuk
melepasnya karena dia pikir dia yang pertama mendapatkannya. Dan dia pun
ternyata berpikiran yang sama, sama ngototnya, sama kerasnya, akhirnya kita pun
sepakat berbagi tempat. Aku kursi kiri, kamu kursi kanan. Di depannya
tersanding senja yang ternyata begitu indah terlihat dari sana.
Senja di Bulan
Juni, langit tampak memerah, menyebar karena cahaya sang surya yang perlahan
menghilang di balik cakrawala. Seperti warna bibirmu yang merah berpadu dengan
kulit putih dengan rambut hitam yang tergerai gemulai. Kebanjiran kata, tatkala
aku dan kamu saling berebut kursi hanya demi sepotong senja di seberang
cakrawala. Satu kata, Sepakat. Hanya
satu katu yang terucap dari bibir kita tatkala pelayan kafe menengahi perdebatan
kita, ketika dia berkata “Kenapa tak
dibagi rata saja? Toh kursinya ada dua.” Kita hanya diam, merunduk malu,
secara tak sengaja kita lalu berkata satu kata sama “Sepakat!”.
Senja di Bulan
Juni, senja telah berlalu. Tercetak jelas jejaknya di ujung langit yang kembali
merindu, laksana sebuah sisa perjumpaan sepasang kekasih yang lama tak jumpa.
Selalu saja ada kata, dibalik sebuah pertemuan yang tak sengaja. Seperti aku
dan kamu yang tak sengaja bertemu. Bedanya, senja menawarkan banyak kata, dan
kita ternyata sebaliknya. Saling diam tak bicara, diam tanpa kata, hanya
pikiran yang mengular kemana-mana, mencari kata untuk memulai awalnya. Tanpa
sengaja, lagi-lagi kita pun mengucap kata yang sama “Mbak, kopi madunya satu.” Terkaget, tertegun, tergelak, lalu kita
berdua tertawa terbahak. Seluruh kafe melihat kita tertawa, tapi aku tak
peduli, kau pun sama, sama sama tak peduli. Untuk kali pertama, aroma
perdamaian menguar di antara kita.
Untuk kali
pertama, kita saling bertatap mata. Perlahan seulas senyum mengembang, melembut
bersama tatapan mata, yang berlanjut dengan potongan kata, yang terucap dari
bibir sang pelayan, menyajikan pesanan kita “Ini mas mbak pesanan kopi madunya. Selamat menikmati.” Ah sialan,
merusak suasana saja. “Terima kasih,
mbak.” Lagi-lagi, kita mengucapkan kata yang sama. Sumpah demi apa! Entah
kenapa ini sudah kali ketiga aku dan kamu mengucapkan kata yang sama. Apakah
ini sebuah pertanda? Atau hanya kebetulan semata? Tapi katanya, kebetulan hanya
berulang dua kali, tapi kenapa ini sudah ketiga kali. Apa kita sengaja? Atau
memang sebuah pertanda. Terasa aneh, tapi ... Ah sudahlah. Lagi-lagi kita hanya
bisa tertawa berdua.
Tanpa nama,
awalnya kita tak peduli akan sebuah nama. Siapa kamu, siapa aku, siapa yang
peduli. Tanpa nama, hanya saling berebut tempat yang sama, hanya untuk
menikmati senja seorang diri saja. Tapi ternyata, senja tak sudi melihat kita
saling berperang kata, rebutan satu meja, dan kursi yang tersisa dua. Tanpa
nama, akhirnya berakhir juga, tatkala kita tak sengaja menyebutkan kata-kata
yang sama dalam tiga waktu yang berbeda. “Mahmud
Arabika” untuk kali pertama aku yang berucap kata. Dia hanya membalas “Rima Dunarsih”. Dua kata, hanya dua
kata, yang cukup mengakhiri perang di antara kita. Tiada kata yang terucap selanjutnya,
hanya isapan-isapan pelan menikmati kopi madu di tiap cangkirnya.
Koleksi Pribadi
Hanya diam yang
menjadi teman keduanya, saling bertatap tanpa bicara, sibuk dengan tiap
analisa. Siapakah dia? Dia siapa? Semua pertanyaan hampir bernada sama, saling bertanya,
siapakah dia? Mendadak buram, seribu kataku haling, lari lintang pukang tanpa
sisa, hanya diam yang aku bisa. Tak tahan dalam diam, akhirnya dia beranjak
juga. Tanpa kata, hanya tatap mata yang bicara, lalu pergi begitu saja. Seperti
senja di Bulan Juni, kau pergi tanpa menoleh kembali.
Waw tulisannya rapih, muantappp banget nih.
ReplyDeleteterima kasih kak :D
DeleteBacain ini jadi teringat cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku-nya SGA, jadi pengen baca. Btw, tulisanmu keren bro....
ReplyDeleteJangan lupa buku "Negeri Senja" karya SGA juga tuh hehe
Deleteterima kasih X)
Bacanya enak nih ^^
ReplyDeletemakasih mbak ananta X)
DeleteKebayang rebutan kursi demi lihat senja, btw belum pernah minum kopi madu fhan :D
ReplyDeletecobain aja deh minum kopi madu, enaaakkk X)
DeleteSuwer, ini enak banget aku bacanya :)) kereeen mas :D
ReplyDeletehehe makasih :))
DeleteWaah ternyata fandy romatis juga.. bikin melo suasana :D
ReplyDeletehahaha makasih makasih mbak
Deletewih mahmud arabika.
ReplyDeleteapakah nama bapaknya mahmud robusta? hihihi
haha bukanlah, bapaknya sih ada deh namanya
DeleteIndah banget kata2nya :')
ReplyDeleteJd trbayang lg minum kopi madu sambil ngeliat senja... Pake rebutan kursi sgala lg sm org.. Psti seru. Hehee.
Kopi madu itu rasanya kyak apa? Blm prnah nyobain:/
Kopi madu rasanya ya kayak kopi madu hahaha campuran pahit dan manis getir, ya gitu.. cobain saja X)
Deletenice jepretan broo.. hahaha, senja itu indah dan terkadang menghanyutkan
ReplyDeleteiya jev senja memang begitu X)
DeleteSejauh membaca baru tau dan malah jadi pengen merasakan nikmatnya kopi madu. Ah mungkin sedikit bereksperimen abis ini. Nikmat~
ReplyDeletehaha bikin aja bang jung, kau kan juragan kopi :D
DeleteKenapa cuma menatap dan memberi pertanyaan dalam hati? Kenapa gak memulai pembicaraan? *lah ya terserah yang nulis dong Fasy*
ReplyDeletehaha namanya juga pertemuan yang tak disengaja X)
DeleteCakep banget tulisannya. Yakin banget banyak cewek-cewek yang baper sama senja. Btw, kopi madu itu keren juga. Manisnya madu, pahitnya kopi. Gila. Nabrak banget.
ReplyDeleteSemua terjadi pasti ada alasannya rob, santai saja baru sekedar baper, bukan minta nikah haha
Deletesenja.. sekata macem pagi..
ReplyDeletetetep saja bagus kan :')
DeleteBaca ini senyum senyum sendiri, serasa lagi ngejalanin.
ReplyDeleteSenja, diam, lucu, ber-uneg. Ah Bagus tulisannya, saya suka :')
willynana.blogspot.com
trus aku kalau gini kudu komen apa :')
ReplyDeletelah wong suka dengan tulisannya, komennya cukup "nice"
wkwkwkwk :D
Fotonya cakep bangets...
ReplyDeleteaaaak keren. sebagai pecinta senja, aku merasakan indahnya lewat tulisan ini. :')
ReplyDeleteBang, napa aku ngerasa salting gini ya pas bacanya .-.
ReplyDeletePotret gambarnya iiihhhh, bikin betah ngeliatnya. :')
Salah banget baca ini pas siang :))
ReplyDelete