Kepada ombak di lautan, apakah kabar disana baik-baik
saja?
Bagaimana kabar kedua orang tuaku yang kau ajak
pergi dahulu?
Bagaimana kabar kedua adikku yang kau paksa untuk
ikut pergi juga?
Wahai ombak di lautan, tolong sampaikan kabarku pada
mereka.
Bahwa aku disini baik-baik saja, dan aku rindu berkumpul
dengan mereka.
Namanya Kirana, gadis cantik berkacamata yang jadi
pelanggan setia Kafe Semesta, Kafe yang aku kelola, sebulan setelah wisuda.
Setiap minggu, dia akan datang pada pukul dua lalu pulang pukul enam menjelang
senja, selalu begitu di tiap minggunya. Entah untuk apa, entah ada kepentingan
apa, dan entah sedang menunggu siapa, aku tidak tahu dan (awalnya) aku tak
ingin tahu.
Kafe Semesta, berlokasi di dekat Pantai Laut Utara,
di salah satu kota teramai di Indonesia. aku beri nama Semesta, karena nama Senja
sudah ada yang punya. Jadi tidak etis rasanya jika ikut menjiplak nama Kafe
Senja yang kebetulan dimiliki oleh sodara jauh ayahku. Ayahku suka minum kopi,
dan begitu pula aku. Setiap minggu, jika ada waktu kami habiskan waktu bersama
ayahku, untuk sekedar minum kopi berdua di pinggir pantai, belakang kampung
tempat tinggalku. Di sore hari, menatap ombak di lautan dengan ditemani kopi
hitam tanpa gula, nyatanya terasa begitu menenangkan kami berdua. Beruntung
rasanya jika bisa melihat senja, yang perlahan memudar, lalu tenggelam di ujung
cakrawala.
Kafe Semesta, bagiku adalah manifesto segalanya,
segala mimpi dan cita-cita yang aku punya sejak jaman SMA. Dengan semakin
bertambahnya usia, tidak menghalangi ayahku untuk tetap rutin melakukan
kebiasaan minum kopi di pinggir pantai, seperti yang sering kami lakukan dulu.
Tapi tetap saja, aku tak bisa memaksa beliau untuk menemaniku menghabiskan
waktu berdua, melihat kondisi beliau yang semakin beranjak tua. Maka
tercetuslah ide untuk membuat usaha, membuka Kafe Semesta. Dan akhirnya,
sebulan setelah wisuda berdirilah Kafe Semesta, yang begitu sederhana, nampak begitu
apa adanya, dengan dekorasi layaknya rumah pantai biasa, dengan panggung
berundak sebagai jalan masuk utama, dengan jendela kaca yang menghadap ke
samudra. Dibandingkan Kafe Senja, mungkin Kafe Semesta terasa akan biasa saja. Tidak apa-apa, namanya juga baru usaha, apa
salahnya untuk mencoba.
Perlahan nama Kafe Semesta menjadi bahan obrolan di
kalangan anak muda, khususnya di kalangan mahasiswa dari kampusku dulu. Banyak
di antara mereka yang berkata bahwa Kafe Semesta tempatnya enak buat berdua,
suasana pantainya begitu terasa (ya jelas
toh mbak), tempat yang tepat untuk
menikmati senja, katanya Kafe Senja itu tempatnya instagram-able dan begitulah kata mereka. Aku sih cuma iya-iya saja ketika
mereka berkata tentang saran yang sedemikian rupa.
Dari sekian banyak pengunjung yang pernah datang, ada satu pengunjung yang begitu rutin datang berkunjung ke Kafe Semesta di waktu tertentu saja.
Namanya Kirana, gadis cantik berkacamata yang jadi pelanggan tetap Kafe Semesta, Kafe yang aku kelola. Setiap minggu, dia akan datang pada pukul dua lalu pulang pukul enam menjelang senja, selalu begitu di tiap minggunya. Entah untuk apa, entah ada kepentingan apa, dan entah sedang menunggu siapa, aku tidak tahu dan (awalnya) aku pun tak ingin tahu.
Namanya Kirana, gadis cantik berkacamata yang jadi pelanggan tetap Kafe Semesta, Kafe yang aku kelola. Setiap minggu, dia akan datang pada pukul dua lalu pulang pukul enam menjelang senja, selalu begitu di tiap minggunya. Entah untuk apa, entah ada kepentingan apa, dan entah sedang menunggu siapa, aku tidak tahu dan (awalnya) aku pun tak ingin tahu.
Dia selalu datang seorang diri, mengamati sekilas,
lalu duduk dekat jendela kaca. Jendela kaca yang tepat menghadap ke samudra.
Seperti biasa dia akan memanggil pelayan dengan tangan kanan, lalu secepat
kilat, tanpa suara dia lalu memesan Kopi Flores tanpa gula. Ketika pesanan
datang, dia pun tak langsung meminumnya, tapi tetap dibiarkan di mejanya. Lalu
dalam diam dia angkat cangkirnya dengan tangan kiri, dengan mata terpejam,
mulutnya bergerak seolah sedang berkata atau entah sedang berdoa, lalu dia
hirup aromanya, dan menyesapnya perlahan. Lalu dia kembali diam, menatap ke
balik jendela kaca, menatap samudra.
Entah maksudnya apa, entah sedang mengenang siapa,
entah sedang menunggu siapa. Sudah sebulan ini aku mengamatinya, dan dia selalu
saja nampak seperti biasa, tanpa kata, tanpa suara, hanya duduk diam menatap
samudra. Tak peduli dengan keadaan, secara perlahan aku dekati mejanya. Dengan
membawa secangkir Kopi Hitam, aku bertanya pada dirinya.
“Bolehkah aku
duduk di meja ini, nona?”
Tanpa suara, dia hanya tersenyum, lalu menganggukkan
kepala. Lalu dia kembali diam seperti biasa, perhatiannya tertuju kembali pada
samudra. Aku biarkan saja dia menikmati kesendirian.
Tanpa diduga dia seketika berkata (yang sampai saat
ini aku ingat), “Pernahkah kau menyesap
kopi dari balik gulungan ombak?” Terkaget, dan belum siap menjawabnya, aku
memilih diam saja.
Lalu dia kembali berkata “Pernahkah kau sadari, rasa pahit kopi itu tak seberapa jika
dibandingkan dengan pahitnya kenangan masa lalu?” Hanya diam saja, aku tak
bisa menjawab apa, aku kehabisan kata-kata.
Seketika dia tersenyum, dan mengucapkan kata yang
menyadarkan, sembari menjulurkan tangan dia berkata “Ah iya namaku Kirana, maafkan segala apa yang aku tanya.”
Sembari menerima uluran tangannya, aku menjawabnya “Aku Sastra, Sastra Ananta. Iya tidak
apa-apa, aku hanya kaget saja ditanya pertanyaan yang tak biasa.” Aku terkekeh,
dia hanya tertawa tanpa suara. Duh ternyata dia cantik juga ketika tertawa.
Sejenak kami pun berbicara banyak, soal menu favorit
di Kafe Semesta, soal Kuliah S2-nya yang ternyata susah juga, cerita soal berita
kasus sianida yang tiada habisnya. Dan ternyata dia suka bicara juga, sedari
tadi aku hanya sesekali menimpali dan lebih banyak diam menatap kedua matanya,
menatap wajah cantiknya. Aduh kok jadi begini jadinya. Pada akhirnya kami pun
berpisah, tentunya setelah bertukar nomor telepon.
Kami berjanji untuk bertemu pada pertemuan
selanjutnya. Dia kembali datang, berbeda dengan sebelumnya, dia datang dengan
suasana berbeda. Tak seperti biasanya, Tanpa mengamati sekitarnya, dia langsung
masuk, dan datang ke mejaku. “Hai Sastra,
apa kabar? Boleh aku duduk disini?”
“Silahkan saja
nona.” Lalu sejenak pelayan datang mendekati kami. Dengan menu di tangannya,
tanpa dia duga, aku berkata pada pelayan “Kopi
Floresnya satu ya mas, tanpa gula.”
“Loh kok kamu
tahu pesananku?” Dari ekspresi
mukanya, dia jelas kaget aku tahu apa yang akan dia pesan. Dan lebih kaget ketika mendengar jawabanku.
“Iya aku tahu,
karena ini sudah minggu ke dua puluh lima kamu datang kesini, dan selalu
memesan Kopi Flores tanpa gula. Aku hafal di luar kepala.”
Tanpa menunggu lama, pesanannya sudah tiba. Bukannya
menbalas apa yang aku tanya, dia malah diam saja, lalu tanpa aku duga, dia
malah menangis. Menangis sesenggukkan, tanpa aku kira, lebih nyata dibandingkan
video tangisan gadis muda yang menangis diputus pacarnya, yang kemudian menjadi viral
dan ditonton ribuan penduduk Indonesia.
Gelagapan, kebingungan, segera aku ambilkan tisu di
depannya, lalu dengan bodohnya aku bertanya “Kenapa kamu menangis, nona?”
Dengan suara bergetar dia menjelaskan semua, tentang
kenapa dia selalu memesan kopi flores tanpa gula, tentang kebiasaannya
memandang samudra, tentang segala pertanyaan minggu lalu yang membingunganku.
Ternyata semua ada muaranya, ternyata semua ada sebabnya. Dengan mata
berkaca-kaca, dia menatapku, dan dia berkata:
“Ingatkah
kamu soal pertanyaan anehku dulu?”
Pernahkah
kau menyesap kopi dari balik gulungan ombak?”
Pernahkah
kau sadari, rasa pahit kopi itu tak seberapa jika dibandingkan dengan pahitnya kenangan
masa lalu?”
Dia lalu bercerita soal Bencana Tsunami Flores di
tahun sembilan dua. Waktu itu, dia masih berumur delapan tahun. Dia bercerita
tentang kedua orang tuanya yang hilang terbawa ombak, tentang kedua adiknya
yang terhanyut entah kemana, semuanya hilang tanpa sisa, termasuk dirinya yang
hanyut sampai ke tengah samudra. Dan, beruntung dia diselamatkan oleh orang
Jakarta yang kebetulan menjadi relawan bencana, dan sekarang menjadi kedua
orang tua angkatnya.
Dia bercerita tentang alasan kenapa dia selalu
memesan kopi flores tanpa gula. Dia memesannya hanya untuk mengingat kembali
kesukaan ayahnya, mengingat kembali rasa pahit masa lalu, yang baginya masih terasa begitu nyata.
Meskipun sudah lewat hampir berpuluh-puluh tahun setelahnya, baginya sosok ayah masih begitu nyata. Ayahnya, seorang nelayan sederhana yang terbiasa meminum kopi flores tanpa gula, sepulangnya setelah mencari nafkah di tengah samudra. Dengan ditemani ibunya, Sang Ayah seringkali bercerita tentang nikmatnya meminum kopi di tengah samudra. Ditemani gulungan ombak, sembari menunggu jala penuh ikan, ayahnya menghabiskan waktu dengan menyesap kopi hitam tanpa gula.
Ayahnya pernah berkata, tiada kenikmatan di dunia yang bisa menandingi nikmatnya minum kopi di tengah samudra. Dan, beliau selalu bercerita akan hal yang sama kepada dirinya dan berjanji suatu saat akan mengajak dia menikmati kopi di tengah samudra. Namun sayang seribu sayang, sebulan kemudian datanglah bencana tsunami yang menyapu desanya, menyapu segalanya, menghanyutkan rumahnya, menghanyutkan kedua orang tuanya, kedua adiknya, serta dirinya. Dan, hanya dirinya yang selamat.
Oleh sebab itulah, dia selalu memesan kopi flores tanpa gula. Baginya, Kopi Flores tanpa gula adalah gerbang utama menuju ingatan akan sosok ayahnya. Setiap sesapnya, setiap aromanya, hanya menjadi ajang bernostalgia saja. Dia membayangkan bagaimana sensasi perahu yang bergoyang, diombang-ambing ombak, dan menyesap kopi hitam bersama ayahnya. Namun sayang, tiada sempat terlaksana, ayahnya terburu hilang ditelan bencana, tersapu hanyut entah kemana, bersama ibunya dan dua adiknya.
Meskipun sudah lewat hampir berpuluh-puluh tahun setelahnya, baginya sosok ayah masih begitu nyata. Ayahnya, seorang nelayan sederhana yang terbiasa meminum kopi flores tanpa gula, sepulangnya setelah mencari nafkah di tengah samudra. Dengan ditemani ibunya, Sang Ayah seringkali bercerita tentang nikmatnya meminum kopi di tengah samudra. Ditemani gulungan ombak, sembari menunggu jala penuh ikan, ayahnya menghabiskan waktu dengan menyesap kopi hitam tanpa gula.
Ayahnya pernah berkata, tiada kenikmatan di dunia yang bisa menandingi nikmatnya minum kopi di tengah samudra. Dan, beliau selalu bercerita akan hal yang sama kepada dirinya dan berjanji suatu saat akan mengajak dia menikmati kopi di tengah samudra. Namun sayang seribu sayang, sebulan kemudian datanglah bencana tsunami yang menyapu desanya, menyapu segalanya, menghanyutkan rumahnya, menghanyutkan kedua orang tuanya, kedua adiknya, serta dirinya. Dan, hanya dirinya yang selamat.
Oleh sebab itulah, dia selalu memesan kopi flores tanpa gula. Baginya, Kopi Flores tanpa gula adalah gerbang utama menuju ingatan akan sosok ayahnya. Setiap sesapnya, setiap aromanya, hanya menjadi ajang bernostalgia saja. Dia membayangkan bagaimana sensasi perahu yang bergoyang, diombang-ambing ombak, dan menyesap kopi hitam bersama ayahnya. Namun sayang, tiada sempat terlaksana, ayahnya terburu hilang ditelan bencana, tersapu hanyut entah kemana, bersama ibunya dan dua adiknya.
Dia lalu berkata: Hidup itu ternyata lucu, karena semakin aku
berusaha untuk melupakannya, semakin terasa rasa perihnya, semakin melebar luka
yang menganga. Mengingatnya hanya membuatku kembali terluka. Lagi, lagi, dan
lagi aku pernah mencoba semuanya, tapi tetap saja tiada gunanya. Jadi, aku
biarkan saja, aku serahkan semua pada waktu dan semesta. Dan, aku
jadikan kopi flores sebagai pengingat saja. Bahwa aku pernah punya mimpi yang tak sempat jadi nyata. Sebagai penanda bahwa aku pernah berduka.
Sejenak dia berhenti bicara, tanpa suara lalu dia
menuliskan sesuatu pada lembar kertas, lalu melipatnya, tanpa kata dia menyerahkannya padaku. Setelah itu, dia
pamit, dan undur diri.
Setelah kepergiannya, aku buka lipatan kertasnya, dan aku baca. Di dalamnya tertulis berbaris-baris kata yang aku sendiri tak tahu apa maksudnya.
Kepada ombak di lautan, apakah kabar disana baik-baik
saja?
Bagaimana kabar kedua orang tuaku yang kau ajak
pergi dahulu?
Bagaimana kabar kedua adikku yang kau paksa untuk
ikut pergi juga?
Wahai ombak di lautan, tolong sampaikan kabarku pada
mereka.
Bahwa aku disini baik-baik saja, dan aku rindu berkumpul
dengan mereka.
Dan ternyata, itulah pertemuan terakhirku dengan Kirana. Setelah hari itu, Kirana menghilang layaknya gelombang pasang, yang datang hanya untuk menghanyutkan segalanya. Sejak saat itu, aku kehilangan sosoknya, aku hubungi nomor teleponnya namun sayang hanya suara merdu mbak-mbak operator yang menjawabnya. Tanpa kabar, dia menghilang begitu saja.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Ini cerita beneran atau bohongan fan?
ReplyDeletehehee..
BTW, alur ceritanya menarik... agak tersedu2 aku membacanya.. hehehee...
sukses yah kompetisinya.. moga menang :)
Haha ceritanya ini fiksi bang, tapi kalo histori bencana tsunami flores 1992 sih emang beneran :D
DeleteTerima kasih mas :D
menarik isinya mas. sendu ya isinya, bacanya agak baper jdnya :D
ReplyDeletekirana, sosok wanita yg dirindukan namun antah dimana keberadaannya kini yaa..
sukses lombanya mas sastra, moga menang.
kafe semesta dan kafe senja, nama yg unik dan bagus. di dekat tepian pantai pula..
Iya terima kasih mbak...
DeleteIya kirana pada akhirnya menghilang tanpa bekas, pergi tanpa pamit, mungkin untuk lain cerita akan dijelaskan lagi :D
Bener bener menarik bacanya. Masuk ke hati jadi tersedu sedu juga huhu
ReplyDeleteAgak sedih dan kaget pas baca dari setiap alurnya.
Ah ini cerpen menarik pokoknya lah! hehe
Oiya sukses kompetisinya. Semoga menang ;)
willynana.blogspot.com
duh mbak nana, makasih..
Deletehehe makasih makasih, dan maap kalau bikin baper pas bacanya :D
terima kasih doanya
Agak mirip ya, Mas, sama punyaku setting-nya satu tempat doang. Aku kira awalnya di Aceh, oh ternyata Flores. Baru tau malah aku, makasih lho hehehe
ReplyDeleteMau saran, sedikit. Kayaknya kamu perlu pendalaman lagi soal preposisi, Mas. Masih ada beberapa yang salah.
Kalau soal isi cerita.... yakan aku bilang juga apa, kamu mah bisaan nulis dua jam jadinya kayak gini. Aku mah apaan dari siang aja gak maksimal :(
Ketika kakak editor turun tangan. Mantap ah~
DeleteHahahaha lagi dikejar deadline wi, iya ambil yang sederhana aja dulu, menyingkat waktu yang semakin singkat dan dekat deadline jadi pilih satu tempat aja, dan pilihannya kopi flores :))))
Deletehahaha iya makasir sarannya :D
hehe ini rekor pribadi, nulis 4 halaman dalam waktu yg relatif sebentar , kurang dari 2 jam :D
hahaha iya itu rob, gakpapa saran membangun itu perlu :D
DeleteWih, kakak editor langsung mengambil peran. Boleh kakak sarannya :D
Deletehahaha iya bang jung :D
DeleteSaran untuk colab ditampung dulu wkwk
Wow, ternyata lagi diikuti dalam kompetisi cerpen, toh? Semoga menang, bang Fandhy~
ReplyDeletehehehe iya nih rob, terima kasih doanya :D
Deleteterlihat penulis sangat sabar ketika menulis cerita..semoga sukses kompetensinya...
ReplyDeletepadahal ini aku nulisnya dikejar deadline mbak, kagak sempat mikir banyak banyak hehe :D
DeleteAku kok sedih ya bacanya. Kisahnya menarik. Tulisannya indah.
ReplyDeleteDan aku pun terbayang-bayang pengen menikmati senja menatap lautan lepas ditemani secangkir kopi di Kafe Semesta.
Semoga berhasil menang dan jalan-jalan ke Aceh ya. Kalau ga salah hadiahnya ke Aceh atau Toraja kan ya?
iya kak ini tulisan buat lomba hehe terima kasih mbak atas dukungannya :D
DeleteCerpen nya menarik untuk dibaca :D
ReplyDeletenice bang :D
DeleteKirana berambut pendek,ga? Kalo iya salam ya =)
ReplyDeleteKopi Flores kalo di kafe-kafe jarang dijual, ya? Dibanding kopi Aceh, Toraja, atau luwak, rasanya kopi Flores kalah tenar. Semoga tahun depan bisa ke Wae Rebo, katanya di sana ada kopi Flores yang enak.
Walah, di kedai kopi biasa aku ngopi malah kuhampir selalu pesan kopi Flores, lho, Mas Yos. Yang laku banget di tempat biasa aku ngopi itu Gayo~
Deleteiya bang yos, kok tau kalo kirana rambutnya pendek? :o
DeleteDia rambutnya sebahu bang, oke bang. Mau aku titipin salam biasa atau salam tempel?
Iya bener jarang2 yg jual, bukan masalah tak laku atau tak enak, tapi emang belum biasa aja kopi flores. Rata2 ya kopi gayo kalo gak kopi bali yg laris :D
Udah pernah minum kopi flores asli dari Flores belum?? hhaha
ReplyDeleteCerpennya lumayan :D Semoga menang yah :D
belum terlalu sering nyicipin rasa kopi floresnya mbak jen, seringnya kopi bali dan lampung :D terima kasih dukungannnya
DeleteAkuuuu pernah ngincip kopi flores saat berkesempatan ke Ruteng, Manggarai. Anehnya gak ngaruh di perutku yg punya maag. Mbak Ajen tinggal di sana ya? #malahngobrol :))
DeleteBtw Mas Fandhy moga sukses ya lombanya, aku suka cerpennya krn ada unsur pengetahuan soal tsunami itu. Aku malah tahu dari ceritamu TFS :)
keluargahamsa(dot)com
iya mbak, emang terkadang ada jenis kopi yang tidak membuat peminumnya menjadi begah atau kambuh maagnya :D
Deletehehe iya mbak makasih, ini ide muncul juga karena dikejar deadline X)
Ceritanya badai, jadi pengen nyoba kopi Flores. Bagaimana rasanya yah?
ReplyDeletehehe terima kasih, silahkan mencoba rasanya kopi flores yg bagaimana rasanya :D
Deletepahit kopi masih lebih pahit kenangan masa lalu ya mas xixiixixi...
ReplyDeletesuka sama penamaan kafenya. kafe senja dan kafe semesta. di medan dulu ada namanya kafe rimba.
hehehe iya mbak namanya Kafe Semesta, kalo Kafe Senja itu milik sodara ayahnya sastra :D
DeleteDeskripsinya keren. Pembaca seolah berada di kafe semesta dan terlibat dalam pembicaraan sastra
ReplyDeleteterima kasih kak :D
DeleteOhh temanya memang kopi ya..
ReplyDeleteaku tertipu baca ceritanya.
kirain ttg cinta2an, ternyata antimainstream!
good jobb...
Bagusss!!! semoga menang yaaaaaaaaaaaaaaaa
hahahah iya kak, ini temanya emang kopi, semua demi lomba :D
DeleteTerima kasih kak
Kirana itu mengingatkan saya pada sosok gadis dalam sebuah lagu. Apakah ada hubungan antara mas dengan kirana di dunia nyata? jadi penasaran dengan rasa kopi flores ya... semoga sukses lombanya ya mas
ReplyDeletehahaha sebenarnya kirana adalah sosok nyata sekaligus tak nyata, yang ada hanya di balik logika dan kata-kata saja, namun tetap saja dalam setiap linimasa, namanya tetap menjadi gaung utama, yang menggema perlahan tanpa pernah hilang
DeletePernahkah kau sadari, rasa pahit kopi itu tak seberapa jika dibandingkan dengan pahitnya kenangan masa lalu?”
ReplyDeleteaku suka kata-kata ini.
karena tidak ada yang lebih pahit daripada masa lalu.
Luka bisa di sembbuhkan, bukan denganmu atau dengan dia. tapi biarlah luka disembuhkan oleh waktu. karena tanpa disadari, luka akan mengering ketika waktunya untuk berlalu. Bukan perihal aku tak mau melupakan perih yang terasa, tapi percayalah, semakin dilupakan, maka akan semakin terasa dan terngiang.
Pada akhirnya kenangan masa lalu hanyalah menjadi genangan, yang mampu membasahkan sekaligus menjadi cerminan, mau seperti apa masa depan kelak
DeleteJadi keinget filmnya Delisa habis baca ini.
ReplyDeleteAh, Mas Fandhy sukses bikin baper max. Aku baperan kalau baca tentang orang tua :(
aduhh aduhhh salah kayaknya aku nulis beginian wkwkw :l
DeleteAku suka pemilihan katanya dan juga jalan ceritanya. Moga sukses buat lombanya, kak ✊😆👍
ReplyDeletehhehe terima kasih kak :D
DeleteSedih aku bacanya...
ReplyDeletewkwkwkwkw
DeleteHehh.. selesain ceritanya. Penasaran sama Kirana itu ngabur kemana. Semoga enggak nyusul keluarganya ke laut. >.<
ReplyDeletehahahaha ya kirananya emang pergi, dan tak pernah kembali lagi :D
DeleteHambok ya sebelum Kirana pergi itu ditanya dulu, "Mau kemana?" Gitu.
ReplyDeleteKalo bisa ya ditemenin.
Tapi, apa ya benar kalo ngopi di tengah samudera akan semenyenangkan itu? Penasaran :)
Ayo kita ngopi di tengah samudera sob. Samudera Pasai.
Deletehahahaha lha kalo tau kirana mau pergi, sih udah ditanya dari dulu bang :D
Deletecoba tanyakan pada kirana rasanya bagaimana itu ngopi di tengah samudra X)
anjayy samudra pasai :D
Deletejalan ceritanya asik yah, apalagi idenya diambil dari kejadian nyata tsunami di flores kirain ini kisah nyata juga hehe, sukses ya mas untuk kompetisinya :)
ReplyDeleteiya mbak ini idenya diambil dari bencana tsunami flores 1992..
Deleteterima kasih dukungannya mbak :))
Ternyata jika sedang merenungkan sesuatu atau mengenang sesuatu, bisa lebih asyik ditemani aroma kopi dan menyesapnya,ya:)
ReplyDeleteDari semua cerita tentang kopi, pasti mengulas tentang asyiknya menyesap kopi. Seperti kisah di sini, sosok Kirana yang menikmati kopi sambil mengenang kepergian keluarganya. Jadi ikutan sedih :(
iya terkadang dengan aroma kopi, kenangan masa lalu akan dengan mudahnya terpantik dan menguar ke permukaan jiwa, menjadikannya mengingat masa lalu menjadi sebuah rutinitas ketika minum kopi
DeleteKenapa Kirana milih cerita sama Sastra? Lalu hilang setelah bercerita. Duh, lanjutin dong
ReplyDeletehahaha sudah jadi orang ke berapa ini yg meminta untuk dilanjutkan ceritanya :D
DeleteWahh ini kompetisi juga. Semoga sukses ka fan :')
ReplyDeleteNah ini, pembicaraan soal kopi ini yang membuatku penasaran nyicipin rasa kopi dan jadilah tulisan suka suka soal kopi itu. Nah kan juga, dari kopi bisa jadi puisi, dan cerita seperti ini..
iya kak ini lomba :D
Deleteterima kasih dukungannya kak rini
Wahh ini kompetisi juga. Semoga sukses ka fan :')
ReplyDeleteNah ini, pembicaraan soal kopi ini yang membuatku penasaran nyicipin rasa kopi dan jadilah tulisan suka suka soal kopi itu. Nah kan juga, dari kopi bisa jadi puisi, dan cerita seperti ini..
tapi sayangnya aku kalah dalam lombanya haha :D
DeletePenasaran dengan kopi Flores...
ReplyDeleteAda sejuta cerita di balik secangkir kopi.
hehe iya mbak
DeleteSaya baru kali ini denger Kopi Flores, tapi boleh juga tuh mas :)
ReplyDeletesilahkan dicoba kopi floresnya kakak :D
DeleteAh... kopi sedap dan pahitnya sungguh yang di cari. Kenangan masa laluntentu tak sepahit kopi. 😄 bahagia sekali membacanya seperti ada sedikit curhat didalamnya
ReplyDeleteSelalu ada rasa dibalik sebuah kata, selalu ada makna dibalik sesapan kopi pertama
DeleteJangan2 Kirana itu salah satu korban tsunami. Makanya setelah curhat langsung hilang, kembali ke alamnya *kayak di film2* :)
ReplyDeleteKirain kisahnya nyata ternyata hanya fiksi
Aduh aku baca ini komentarnya kok jadi ngeri ya, merinding haha
DeleteBang Fandhy ma Kak tiwi duet aja gih, bikin tulisan sambung menyambung gitu *alias cerbung* kayanya seru deh :'D
ReplyDelete*saran
Tiwinya baca, nih. Hahaha
DeleteMas fandhy-nya udah baca belum, yaaa? Hahaha.
DeleteParagraf awal, awal banget, bikin aku ingat sama kondisi Aceh juga saat tsunami beberapa tahun silam. Ingat sama film hafalan sholat delisa juga yang menceritakan tentang tsunami Aceh.
DeleteDan sekarang kopi beserta tsunami dikemas dalam cerpen begini. Ide yang keren.
Btw bang, itu di isi kalimat yang Kirana tulis dalam secarik kertas, ada kata Tolong yg ditulis dgn awalan huruf kapital setelah tanda koma (,) mungkin Bang Fandhy silap yaa. Hehehe.
Hae? haha baru ingat, bahwa ada ajakan collab nih :D jadi baru balas komen-nya
DeleteWhahahaa iya rencananya sih emang mau collab gitu :))
alur ceritanya keren dan tidak membosankan. dan sedikit sedih sendu gitu, untuk kompetisinya semoga menang ya kak
ReplyDeletehahhaa makasih atas dukungannya, tapi sayangnya kalah di lombanya :D
DeleteDuih, emang ya, coba kalian kolaborasi deh Fandy sama Tiwi, ada jiwa yang bergentayangan melalui kalimat indah kalian
ReplyDeleteDua orang minta kita kolab nih, Mas Fan. 😂
Deletemungkin sudah waktunya kita bikin tulisan kollab wi X)
DeleteAwal membaca baper
ReplyDeleteEntah terbawa suasana
Tapi tulisan ini sangat bagus,
terima kasih kak bima :D
DeleteTulisan tentang kopi mu menawan hati.
ReplyDeleteBagi penyuka kopi pasti langsung suka.
Ada sendu , ada harapan tapi bagaimana dg harapan yang telah lama terpendam di lubuk hati yg terdalam.
#Kandida
hehehe terima kasih kak :D
DeleteSelesai membaca tulisan ini. Saya langsung pindah ke mesin pencarian, mencari tahu tentang flores 92. Barangkali menemukan nama Kirana di sana.
ReplyDeleteAnd yes. Semoga cerita ini membuahkan hasil dari kompetisi yang diikutin.
Mulai asik nih nulis cerpennya, Fan. Cuma untuk dialog, rasanya tidak perlu dicetak miring. Cukup beri tanda kutip cukup. Kecuali tulisan Kirana di akhir cerita, gak masalah kayanya mau dicetak miring.
haha ya begitulah bang, tulisan yang terilhami dari kisah nyata, bencana flores :))
Deleteoh oke bang, makasih sarannya :D
Ini fiksi atau non-fiksi? Ceritanya asyik. Pengin nmeikmati juga rasanya kopi Flores sambil memandang indahnya samudra di kala senja.
ReplyDeletemuehehehe cerita fiksi kok bang :D
DeleteAwal membaca nama Kirana, aku langsung inget temenku namanya Oase Kirana Bintang, dan dia juga penyuka Kopi bahkan ingin menjadi barista.
ReplyDeleteMemang selalu ada cerita dibalik secangkir Kopi!
Good luck mas!
iya mbak, selalu ada cerita dibalik secangkir kopi :)))
Deleteaku penasaran sama Kafe Semesta yg katanya tempat asyik utk berdua, lumayan utk malam mingguan :p
ReplyDeletehahaha cari aja rus, ada kok tempatnya :)))
DeleteSpoiler alert.
ReplyDeleteAda awkwkwkwk disini :D
Smoga menang mas fandi dan mbak tiwi :)
(komen diamankan) :D
tapi sayangnya kalah hehe
DeleteGood job, Mas Fandy. Fiksi mininya menarik untuk dibaca. Meski tema tentang kopi dan kenangan adalah hal yang jamak ditemukan dalam karya sastra. Oya, juga ada sedikit koreksi untuk kalimat di bawah ini.
ReplyDelete"Namun sayang, tiada sempat terlaksana, ayahku terburu hilang ditelan bencana, tersapu hanyut entah kemana, bersama ibunya dan dua adiknya."
Ada kesalahan kata ganti (-KU) pada kalimat di atas, Mas Fandy.
Good job, Mas Fandy. Fiksi mininya menarik untuk dibaca. Meski tema tentang kopi dan kenangan adalah hal yang jamak ditemukan dalam karya sastra. Oya, juga ada sedikit koreksi untuk kalimat di bawah ini.
ReplyDelete"Namun sayang, tiada sempat terlaksana, ayahku terburu hilang ditelan bencana, tersapu hanyut entah kemana, bersama ibunya dan dua adiknya."
Ada kesalahan kata ganti (-KU) pada kalimat di atas, Mas Fandy.
hahaha makasih kak rindang atas koreksinya ;D
Deletehehe iya ini juga masih latihan
Wah, baru tahu ada kopi Flores juga to?
ReplyDeleteSetiap ada varian kopi daerah, jadi gagal fokus deh.
Maklumlah, pecinta kopi pasti akan mengicar kopi yg elok. Hehehe.
Monggo mampir ke kedai saya juga, Mas.
wah udah punya kedai kopi juga :D
DeleteIya ada kok varian kopi flores
jd makin suka kopi tanpa gula, aniwei beneran ya ada kopi flores? jd penasaran pingin cobain. tulisanya alurnya enak.
ReplyDeletesmg menang ya nanta ��
Aih.."tiada ketikmatan yang menandingi secangkir kopi" ah dalemm mah ini.. kirana.. beruntung sekali dirimu punya kenangan yang menghubungkan dengan ayah. Kopi.. padanya tersimpan imaji, menyedumu adalah candu.
ReplyDeleteSukses lombanya ya..
mau komen apaan ini... -_____-
ReplyDeletetolong ya nulis tentang aku *dicelupin ke oreo*
jangan berusaha melupakan tapi berusaha untuk berdamai dengan masa lalu dan diri sendiri *tsaaaah
Bikinnya berapa lama, Fan? Gila nih cerita. Penuh makna. Nyesek banget ditinggal keluarga gitu. :(
ReplyDeleteHuhuhu.
Bisa-bisanya nyelip kesedihan Awkarin. Wahaha.
Oiya, gak pernah coba gimana rasanya Kopi Flores. Saya mah good day beli di warkop aja udah. :(
kirana jamah aku, jamahlah rinduku kemudian nyanyikk
ReplyDeleteaku ikut terhanyut dl ceritamu mas haha
btw itu bukan 160 karakter ya? eh twitter donk hahah