Jika
dipikir-pikir lagi, terkadang aku merasa bahwa aku telah dilahirkan di tempat
yang salah, di lingkungan masyarakat yang salah. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, ada relik
panjang yang membuatku berpikiran seperti itu tanpa melihat kembali lewat sisi
yang lain, sisi yang mana mengatakan bahwa “Dirimu
lebih baik diam saja. Dan, terima nasibmu!”
Aku tidak tahu siapa yang mengatakannya. Logikaku
berpikiran bahwa yang mengatakan semua itu adalah hati kecilku, namun ketika
diperhatikan dengan seksama hati kecilku ternyata masih meringkuk dalam tidur
nyenyak. Lalu, siapa yang tadi berkata?
Nuraniku menganggap yang mengatakannya adalah
seseorang lain yang terjebak dalam diriku. Tapi, siapakah itu? Ketika aku tanya
keduanya, mereka lenyap. Mereka diam tanpa suara, meninggalkanku berdua dengan
prasangka.
Jauh sebelum berpikiran macam-macam, sudah aku
peringatkan kepada keduanya agar tidak mengungkit pembahasan yang sejak
jauh-jauh hari sudah aku singkirkan. Namun, namanya juga Logika, dia selalu
butuh penjelasan, perihal kenapa aku selalu menghindar ketika ditanya soal ini
itu. Logika selalu membutuhkan penjelasan yang masuk akal, dan tidak asal
mencari alasan, hanya sekadar untuk mencari penghiburan, bukan jawaban.
Sedangkan Nurani, jauh mudah tergelitik dan terpengaruh oleh
isu-isu dari luar. Dia menjadi mudah terhanyut, menjadi mudah tersentuh, dan
mudah terenyuh. Jauh dari semua itu, keduanya saling terkait dan terpengaruh
satu sama lainnya. Justru yang masih murni, dan belum terpengaruh hal hal lain
adalah hati kecilku. Namun, sialnya dia masih saja terlelap dalam tidur
lelapnya.
Dan, yang menjadi pengganggu keduanya adalah
prasangka. Prasangka yang mana seringkali menjadikan segala harapan menjadi
angan-angan semata. Menjadikannya negatif, tatkala segala sesuatunya sudah
dirancang dan direncanakan secara positif. Bagaikan nila setitik yang merusak
susu sebelanga, itulah dahsyatnya kekuatan prasangka. Namun sialnya, prasangka
selalu terlalu kuat untuk dilawan. Jika dibiarkan dia menjadi diktator
perasaan, jika dilawan dia menjadi penguasa lalim yang akan memberangus
semuanya tanpa perasaan. Pada akhirnya, aku menjadi budak-budak yang sengsara
oleh prasangka*.
Ada sebab musababnya perihal kenapa aku lebih suka
mendiamkan segala keluh kesah yang mengganggu pikiranku, dan mengasingkan
semuanya jauh di ujung relung hati yang sering aku sebut sebagai Gulag
Distorsi. Gulag Distorsi luasnya tak bertepi, dan seringkali menjadi
tempat favoritku untuk melarikan diri, jika segala kenyataan tak sesuai dengan
harapan.
Gulag Distorsi dalam diriku, dipenuhi oleh nuansa misty yang menjadikannya penuh misteri,
dan tidak bisa dimasuki oleh orang selain diriku sendiri. Terkadang, gerbangnya
aku kunci rapat-rapat, terkadang aku buka sedikit sekedar mencari udara hangat
penuh cinta, agar menjadi sedikit semarak, namun terkadang yang didapat adalah
angin-angin keparat yang menjadikan pelecut terciptanya revolusi, meski itu
hanya sesaat.
Terkadang, aku begitu muak dengan segelintir orang
yang mengaku sebagai teman dekat, namun sibuk mengurusi hidup lain. Sibuk
bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan keparat yang terkadang tiada manfaat,
selain membuat orang yang ditanya menjawabnya dengan hati mengumpat.
Sebagaimana mana mestinya hidup di masyarakat, terkadang kita harus mengikuti
apa yang diinginkan masyarakat.
Jika air hujan harus turun dan membaur bercampur
dengan aliran sungai, sampai ke muara agar bisa menjadi dirinya sendiri lagi.
Namun bagaimana jika memiliki keinginan yang sedikit berbeda dari kebanyakan
masyarakat, ya mungkin akan mendapat pergunjingan. Begitu juga dengan air hujan
yang meluber ke segala arah, akan menjadikan banjir bandang yang merepotkan.
Bagaimana mungkin, seorang manusia untuk memilih
tempat dimana dia akan dilahirkan. Sedangkan hanya Tuhan yang bisa menjadikan
segalanya tampak mudah untuk dilakukan. Jika hanya berharap keberadaan deus ex machina tentu tidak akan ada
habisnya. Bagaimana jika pada akhirnya ternyata suatu ketentuan masyarakat yang
tercipta karena suatu kebiasaan yang telah lama terjadi, menjadi suatu
kewajiban bagi mereka yang hidup di dalamnya. Padahal jika dituruti kata hati
kecil mereka, banyak dari sebagian mereka yang memiliki pilihan sendiri, dan
berbeda dari kebanyakan orang. Salah satunya adalah Persepsi soal ada atau tidaknya
resepsi pernikahan?.
Sungguh, suatu keniscayaan bagi mereka yang memiliki
keinginan untuk menikah namun terganjal oleh aturan tak tertulis yang ada di masyarakat. Aturan tak tertulis,
perihal pernikahan yang diharuskan diselenggarakan dengan
suatu resepsi pernikahan yang meriah, dan memakan banyak biaya. Dan, entah
disadari atau tidak, hal ini sudah menjadi budaya yang semakin lama semakin
kental pengaruhnya di kalangan orang tua. Dan menjadikan sebuah kewajiban bagi
mereka yang ingin menikahi anak gadisnya, mesti wajib menyelenggarakan resepsi
sesuai dengan keinginan mereka.
Bagi kalangan kaum muda, yang secara ekonomi belum
mapan, tentu hal ini sangat menyulitkan niat mereka untuk segera mempersunting
gadis pujaan mereka. Sudah banyak kasus yang terjadi, dimana banyak anak muda
yang menunda pernikahan mereka karena ketiadaan dana untuk mengadakan resepsi
pernikahan sesuai pesanan orang-orang
luar. Jauh di lubuk hati mereka, terselip prasangka penuh dilema yang
memberatkan dirinya untuk melaksanakan niat sucinya, meminang gadis pujaan
hatinya.
Bagaimana aku dapat bekerja dengan baik untuk bangsa dan negara, kalau aku selalu dipusingkan dengan perkara kawin saja! Sedangkan hatiku rasanya penuh cita-cita untuk memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang.– Hamli, Memang Jodoh. Marah Rusli
Sedikit banyak besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
resepsi pernikahan, membuat banyak anak muda merasa ketakutan terhadap
pernikahan. Karena di jaman sekarang, tidak sedikit pernikahan yang diselenggarakan
dengan resepsi pernikahan yang begitu meriah nan mewah, dan tidak murah. Dan,
hal ini kemudian menjadi sebuah hal yang lumrah di kalangan masyarakat. Akan
menjadi tidak lumrah, tatkala sebuah pernikahan diadakan tanpa resepsi
pernikahan.
Belum lagi ditambah dengan urusan perihal besarnya
modal yang dibutuhkan untuk mengadakan sebuah resepsi pernikahan. Itu tentu
akan membuat mereka berpikir seribu kali lagi untuk mengadakan pernikahan. Dan,
akan menjadi sebuah malapetaka bagi suatu bangsa, jika pada akhirnya di kalangan
anak muda banyak yang berpikiran simpel, kalau
mau kawin ya kawin saja, jangan diambil pusing.
Pada akhirnya, jika dipikir-pikir lagi modal pernikahan
itu sebenarnya murah, dan yang membuat mahal itu gengsinya. Makan tuh gengsi!
---------------------------------------
(*) Dinukil dari Buku Love in the Time of Cholera, karya Gabriel Garcia Marquez, hal 600.
Makan tuh gengsi! Hahaha.
ReplyDeleteIni awal sama tengah ke akhir beda ya bahasannya? Apa gue yang nggak nangkep ya. Hahaha.
Btw, I think you should read The Subtle Art of Not Giving A Fuck for that one case at the mid of the paragraph. And, try some meditation (it's for the first)
Iya tuh, sebenarnya biaya pernikahan murah, yang mahal itu biaya gengsi. saingan hantaran antar tetanggga, bermegah-megah saat pesta ckckkckcc
ReplyDeleteHihi..bener banget biaya nikah tuh murah kok, buktinya saya dulu menikah murah meriah, memang sih tanpa pesta megah, tapi alhamdulillah lancar
ReplyDeleteSemoga nanti dipertemukan sama partner beserta keluarga yang tidak mewajibkan kamu menggelar resepsi besar-besaran ketika meminang anak gadisaya :)
ReplyDeleteSemoga masih ada yang berpikiran terbuka, bahwa menikah bukan hanya semata resepsi saja, namun pernikahan sesungguhnya adalah menjalani hari-hari setelahnya ;)
Yaah..begitulah adanya ketika kita hidup di tengah masyarakat. Masing-masing punya pendapatnya sendiri. Dan lebih banyak ikut campur urusan orang lain. Terutama soal nikah. Anggap saja, semua itu bumbu kehidupan.
ReplyDeleteNgomong-ngomong pernikahan, emang bener, tuh. Aslinya nikah itu murah yang mahal adalah gengsinya. Walaupun gue masih bocah, tapi sebaiknya untuk pernikahan gak harus mewah, yang penting sah. Kalo mewah itu bonus dari Tuhan aja yang ngasih jalannya emang begitu. Semangat, broh! :)
ReplyDeleteEmang, sih, kalo mau nikah harus bisa punya pikiran terbuka, bukan cuma acara nikahan aja, harus bisa mikirin gimana kehidupan setelah menikah.
Duh mas... jangan terlalu banyak dipikirkan, toh yang menentukan hidupkan kita. terlalu banyak ngedengarin kata orang malah ngga maju maju kitanya. jalani, nikmati dan ayo pilih bahagia
ReplyDeleteAku dulu pernah berpikir mungkin seharusnya gak lahir di sini, dll. Tapi itu pas masa puber, belasan tahun. Skrg lbh legowo dan tetep strong!
ReplyDeleteDan makan tuh gengsi! Bener banget. Org2 tuh skrg ini lbh mikirin gengsi
Kita enggak bisa memilih dimana kita dilahirkan. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita akan menjalani hidup. Soal resepsi iya sih memang udah kayak kebiasaan. Tapi ada temenku yg akad doang juga gapapa kok
ReplyDeleteHnmm ya gimana ya
ReplyDeleteYaaa kalo aku dan calonku, oke2 aja kalo cuma akad dan tasyakuran biasa tanpa resepsi. Tapi mendadak Ibu.... tanya2 soal gedung pernikahan. Peh tanda dari Ibu kalo Ibu pengen aku resepsi di gedung
Apalagi, setiap datang ke mantenan, ibu selalu menilai dekorasi dan makanannya, terus ibu bilang maunya yang kayak gini.
Peh. Mau gak mau, nabung mulai sekarang.
Setelah hitung2, paling habis 45 juta. Jadilah aku disuruh ngumpulin 15 juta. Calonku juga, Ibu juga.
Fiuh. Nikahannya tahun depan. Setelah aku selesai tesis.
Kata Ibu, gak bisa kalo gak resepsi. Soalnya temen2nya ayah banyak, pada kenal Ibu, dan pada kenal aku. Sementara, ayah gak mau tau soal resepsiku. Ayah masih mikir dirinya sendiri
Jadi yaaaa begitulah
R.U.M.I.T
Jika dipikir-pikir lagi, sepertinya penulis merasa dilahirkan di masyarakat yang salah, yang telah terbiasa dengan adat resepsi pernikahan yang meriah :)
ReplyDeleteJika dipikir-pikir lagi, buat apa dipikir-pikir lagi :)
Get married aja, jangan pikir gensi! Hihihi.
Sebuah keluhan yang sangat dasar tentang namanya, pernikahan. Ya, kenapa kita mesti menghabiskan duit banyak di mana kelak malamnya, kita hanya akan hidup berdua, selamanya, hingga akhir hayat kelak. Kenapa?
ReplyDeleteBahkan ibuku sudah membuat rencana untuk pesta pernikahanku kelak, mereka ingin di hotel mewah, dan semuanya hanya karena membicarakan gengsi belaka. Huft.
Sudah jadi tradisi turun temurun. Gengsi is number one. Bahkan kadang suka miss persepsi antara gengsi dengan harga diri. Ya itu salah satunya terkait dgn biaya nikah. Katanya kalau ga ngadain resepsi mewah, si pengantin pria ga Punya harga diri. Gitu katanya
ReplyDeleteBaru kenal istilah "gulag distorsi" :D
ReplyDeleteSoal pernikahan atau resepsi atau apapun itu kyknya intinya komunikasi, terutama dgn ortu. Soalnya bagaimanapun pernikahan itu yg menjalani adalah diri kita jd kita sendiri yg harusnya bikin rencana/ proyeksi seperti apa, jg masa depan kyk apa :D
Nikah mudah dan murah yang membuat mahal adalah adat kebiasaan dimasyarakat..dengan mewajibkan sesuatu yang terkadang memberatkan..para pria.
ReplyDeleteSalah satu yang membuat pria banyak jomblo ya ini...eh..#becanda