Akan kupadamkan nyala api itu perlahan-lahan di dalam hidupku meski itu terasa tak mungkin bagiku. Teringat betapa sulitnya aku menyalakannya perlahan, menahan angin akan tetap terang, dan menjaganya tetap terjaga meski terkadang nyalanya sudah tak bisa aku jaga. Teringat tatkala nyala api masih begitu kecil, kecil namun menggigit. Tak terasa panasnya, sampai waktu yang mengkobarkannya menjadi sesuatu yang tak bisa aku jaga. Terasa sulit aku melakukannya, bukan hanya karena panasnya tapi juga karena nilainya bagiku selama ini. Nyala api yang nyatanya mampu menerangi tiap sisi sudut hatiku yang semula gelap gulita seketika menjadi cerah jelita. Gelap tapi pasti, nyala api tapi selalu menghantui. Mana yang aku pilih tetap saja menjadi dilema, Tetapi kalau tidak aku padamkan sekarang ia akan semakin liar, liar tak terkendali yang pada akhirnya hanya membuatku terbakar seluruhnya dan bersatu dalam kobaran.
Akan kupadamkan perlahan-lahan sambil menahan rasa sakit karena sunyi yang telah terusir kembali datang kembali membawa rasa kosong yang begitu nyata seluruhnya. Seluruhnya membuatku hampa, bagai raga tanpa jiwa, terasa hidup namun nyatanya mati. Mati terjebak sepi. Sepi yang kembali menggelayut tiap sudut hati yang kembali sepi dan sunyi. Perlahan tapi pasti, kegelapan yang telah terusir kembali lagi. Namun sekarang berbeda, kegelapan terasa tak begitu nyata layaknya fatamorgana yang menipu sebelah mata, Perlahan semua sudut hatiku terasa kalut dan takut. Perlahan tapi pasti, rasa takut itu berubah menjadi perih mengiris,
Akan kupadamkan perlahan-lahan meskipun itu terasa menyiksa, bukannya tak sudi akan keberadaannya namun semua demi semuanya. Semuanya yang aku rasa itu jalan terbaik untuk hidupku dan pula sisa keping hatiku yang engkau nyaris hanguskan dulu. Perlahan dalam gelap, tergenggam dalam pekat yang memikat namun menjebak. Akan kupadamkan nyala api itu, nyala api yang pernah membuatku tersadar dan terbangun, namun setelah itu menghanguskanku nyaris menjadi debu. Tapi itu dulu, sekarang dan nanti semua terasa takkan lagi sama.
Akan kupadamkan perlahan-lahan kemudian, walaupun tak sudi untuk padam tidak dengan rasa benci tetapi dengan rasa cinta yang lebih besar seperti ketika menyalakannya dulu, ketika menyala untuk kali pertama. Satu persatu embun yang tampak aku kumpulkan menjadi satu. Menjadi satu tetes air murni yang nantinya akan kuberikan padamu, untuk memadamkannya seutuhnya. Seutuhnya dan sampai tak tersisa agar nantinya tak kembali seperti sediakala. Kuberikan ia kematian yang mulia agar ia mau pergi dan tidak lagi kembali menghantui hidupku dengan malapetaka.
Terasa sederhana namun begitulah rasa. Rasa lembut yang tersisa dalam sudut hati yang tersisa. Tersisa dari kobaran api yang terlalu menyala, dan nyaris membuatku terbakar menjadi debu. Debu jalanan yang terayun mengikuti arah angin perubahan yang semakin kencang hembusannya. Menuju mana, dan terarah ke siapa itu tak jadi soal. Terpenting keping hati terakhir selalu menjadi yang terakhir.
Disadur dari sebuah UAP karya sang Putu Wijaya.
Api asmara apa api kompor? Jangan dipadamkan mas, ntar emak susah masaknya ih
ReplyDeletekan ada kompor gas?
DeleteYang tersisa adalah yang berguna :)
ReplyDeleteyeahh
DeleteKalau memang nyata-nyata jadi keburukan bagi kita, memadamkan adalah opsi terbaik. Tapi kalau punya kontrol diri kuat, tetap membuatnya menyala bukan masalah berarti.
ReplyDeleteAh ini kenapa saya sok puitis filosofis gini.
yap setuju sama yang ini. selama punya kontrol yang kuat, kita nggak akan terbakar jadi debu... :)
DeleteKemudian nyanyik butiran debu .....
Deleteyeahhh bener sekali saya setuju dengan kalian
Deletepala puyeng kalau baca yang puitis eum,, coba kalau mau padam panggil damkar, itu lebih efektif
ReplyDeletehahaa ya mungkin pangil damkar itu pilihan bijak
Deleteadeuuh ini lagi kenapa ya? makanya jangan maen api. *eh, gagal fokus :P
ReplyDeletehahaha mungkin saya butuh akua
Delete