Pada akhirnya hari itu datang juga. Kamu berdiri sendiri di tengah lobi, di salah satu mall di ibu kota. Siang itu, lobi begitu ramai pengunjung, semua saling berseliweran di depanmu, tidak ada yang mengenalmu, tidak ada yang ingin tahu apa urusanmu. Semua lewat begitu saja, di depanmu, bagaikan ingatan-ingatan yang pada akhirnya menyeretmu sampai ke ibu kota. Ingatan yang menyadarkan, ingatan yang melempar kembali kesadaran yang entah ada dimana. Hingga pada akhirnya, hari itu datang juga. Hari dimana kamu harus merasakan rasa yang begitu kamu takutkan selama ini.
Senin, akhir bulan
Januari, kamu mendapatkan sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Nomor yang
tidak disangka-sangka akan memberimu harapan perihal masa depan yang menjanjikan.
Setidaknya sampai saat itu, dirimu merasakan bahwa Dewi Fortuna sedang berpaling
padamu, dan menawarkan keberuntungan yang ditunggu-tunggu. Seseorang menelponmu
dengan nomor tak dikenal, yang suaranya mengingatkanmu pada tetanggamu. Tanpa
curiga, kamu menyebutkan nama tetanggamu
itu, yang dilanjutkan dengan persetujuan yang melanjutkan pada sebuah
berita. Berita bahagia, atau lebih tepatnya kesempatan langka, begitu pikirmu,
saat itu.
Lewat telepon yang
berdering berulang kali, Dia menawarkan padamu sebuah kesempatan bisnis yang
menurutmu Tidak ada salahnya untuk dicoba.
Semuanya dijelaskan olehnya, perihal jenis, perihal harga, perihal segala tetekbengeknya
bisnis yang ditawarkannya. Semuanya diawali oleh cerita, perihal saudaranya yang
sedang terlilit masalah hutang dengan bank dan tidak membayarkan pinjaman bank.
Alhasil, saudaranya itu terpaksa melelang seluruh asetnya, termasuk toko
elektronik yang dimilikinya. Sampai titik ini, dirimu masih mendengarkan,
sampai kemudian dia menawarkan, sebuah ide untuk membeli asset eletronik yang
ada di toko saudaranya dengan separuh harga, lalu menjualnya lagi dengan harga
normal. Betapa menguntungkannya, pikirmu saat itu, tanpa curiga, kamu setuju
saja.
Entah kenapa, kamu
mudah percaya, dan iya-iya saja. Termasuk ketika orang yang mengaku tetanggamu
itu memberi nomor orang yang juga tak dikenal olehmu. Kamu diminta untuk mengaku
sebagai sodaranya tetanggamu yang asetnya disita oleh bank. Dan, bodohnya, kamu
iya iya saja, seolah di kepalamu yang dipikirkan hanya keuntungan semata.
0852xxxxx509, Ini nomor juragan elektronik di Roxy, begitu katanya.
Telpon saja, dia kenalanku, dia lagi butuh barang elektronik
untuk mengisi lagi tokonya, lanjutnya.
Tanpa curiga, kamu
telpon itu nomor. Tersambung, dan terdengarlah suara seorang lelaki dengan
logat mandarin kental, dia mengenalkan dirinya sebagai Koh A Siong, juragan
elektronik di Roxy, kenalan tetanggamu. Terjadilah percakapan seputar bisnis
yang entah kenapa juga, kamu iya-iya saja, dan seolah tersetir oleh
perbincangan dengan Koh A Siong. Dirimu seperti kerbau yang dicucuk hidungnya,
yang menurut apa saja yang diminta oleh dia. Bolak-balik kamu telpon tetanggamu
dan Koh A Siong, membicarakan perihal harga, membicarakan perihal bisnis, dan
seterusnya.
Sampai pada akhirnya,
Koh A Siong menyimpulkan bahwa dirinya mau pesan beberapa jenis elektronik
dengan total semuanya sampai lebih dua ratus juta. Sedangkan modal awalnya, hanya
seratus dua puluh juta. Selisihnya sekitar delapan puluh juta, lalu dibagi dua
dengan tetanggamu. Hasilnya sekitar empat puluh juta, untuk tiap orang. Yasalam
menguntungkan sekali. Di momen ini, logikamu sudah mati, isi kepalamu sudah
tidak waras lagi. Di kepalamu hanya ada angka-angka keuntungan yang akan
didapatkan. Semua itu membuatmu tidak waspada, sampai pada akhirnya tetanggamu
menelpon lagi, dan mengatakan bahwa modalnya itu kurang sekian belas juta. Lalu,
kamu diminta mencari sisanya itu, dan bodohnya kamu menurutinya. Kamu sampai
rela meminjam uang kepada sodaramu, kepada perusahaan istrimu.
Pada momen ini,
kamu masih belum sadar, kepalamu masih disibukkan oleh informasi-informasi terbaru
yang diberikan oleh tetanggamu dan Koh A Siong. Kepalamu dipaksa mencerna
segala informasi yang ada, tanpa mencurigai perihal nomor rekening yang
diberikan tetanggamu, yang ternyata nomor rekeningnya tidak sesuai dengan nama
tetanggamu. Bedebahnya, tetanggamu berkilah bahwa itu nomor rekening bank milik
bendahara bank yang mengurusi pelelangan bank. Bodohnya lagi, dirimu iya-iya
saja tanpa curiga. Sampai akhirnya dirimu setuju mentransfer uang sekian belas
juta ke rekening tadi. Masih tanpa curiga, dirimu masih sibuk telpon dengan
keduanya. Dan, akhirnya kamu berjanji untuk bertemu di depan lobi salah satu
mall di ibu kota. Kamu menyetujuinya.
Siang itu begitu
panas menyengat, dana kamu begitu semangat. Memacu kendaraan dengan sekencang-kencangnya,
menuju Stasiun KRL terdekat, menuju Ibu Kota. Lewat jam makan siang, dirimu
masih di dalam KRL, dan telponmu berdering, tetanggamu mengabarkan bahwa modalnya
masih kurang tiga juta lagi, lalu kamu diminta untuk mencarikan lagi karena
jika modal tidak mencukupi maka transaksi batal. Dalam kepanikan yang mendadak
kamu menelpon sodaramu untuk meminjam uang lagi, dan mudah saja, sodaramu
memberi pinjaman, tanpa curiga. Lalu, setelah uang terkumpul, lalu kamu telpon
lagi tetanggamu itu untuk mengabarkan bahwa uangnya sudah ada, lalu kamu
diminta untuk lekas mentransfernya ketika sudah sampai di Ibu Kota.
Tak berselang
lama, Koh A Siong menelpon dan menanyakan dirimu sedang apa, lagi dimana, sama
siapa, semalam berbuat apa, lalu kamu menjawab bahwa itu lirik lagu Yolanda. Sialan! Bukan itu maksud saya. Kamu menjawab
bahwa sekarang kamu sedang di perjalanan. Dia menjawab oke-oke, ditunggu ya. Kabar-kabar
saja kalau sudah sampai. Sampai disitu, kamu masih belum curiga. Setelah turun
dari kereta, kamu lekas mengabari tetanggamu itu, bahwa kamu sudah sampai di
Ibu Kota. Dia memintamu untuk lekas mentransfer uang kurangnya tadi karena ini
bendahara sudah menanyakan mau bagaimana. Tanpa pikir panjang, kamu menuju atm
terdekat, dan lekas mentransfer sesuai nominal yang dia minta. Dirimu kemudian
diminta untuk menunggu di depan lobi, salah satu mall di ibu kota.
Sesampainya di depan
lobi, kamu menelpon tetanggamu, lalu kamu diminta menunggu, karena tetanggamu beralasan
sedang mengemas barang-barang yang dipesan Koh A Siong. Tak berselang lama, Koh
A Siong menelponmu, dan menanyakan kamu ada dimana. Masih dalam perjalanan
menjadi alasanmu, terjebak macet, begitu kilahmu. Panik, kamu mengabari
tetanggamu, dan mendapati nomor tetanggamu itu sudah tidak aktif lagi. Berulang
kali, kamu menelpon nomor tetanggamu, tapi hasilnya sama saja, nomornya sudah
tidak aktif. Dicoba lagi, lagi, dan lagi, suara yang sama menjadi jawabannya:
Mohon maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif.
Mohon dicoba sekali lagi.
Kamu berdiri
sendiri di tengah lobi, di salah satu mall di ibu kota. Siang itu, lobi begitu ramai
pengunjung, semua saling berseliweran di depanmu, tidak ada yang mengenalmu,
tidak ada yang ingin tahu apa urusanmu. Semua lewat begitu saja, di depanmu,
bagaikan ingatan-ingatan yang pada akhirnya menyeretmu sampai ke ibu kota. Ingatan
yang menyadarkan, ingatan yang melemparkan kembali kesadaran dan logika yang
tadi entah kemana. Semakin lama kamu menunggu, semakin besar kepanikan yang
tercipta. Dicoba telpon tetanggamu sekali lagi, tapi jawabannya tetap sama
saja, nomornya sudah tidak aktif.
Pada
akhirnya, hari itu datang juga. Hari dimana kamu harus merasakan rasa yang
begitu kamu takutkan selama ini. Kena Tipu. Iya, hari itu kamu
kena tipu.
Uang sekian belas
juta yang kamu pinjam dari sodaramu, dari perusahaan istrimu, sudah dibawa lari
oleh orang yang mengaku tetanggamu. Tanpa membuang tempo, kamu lekas menuju ke
bank terdekat untuk mengabarkan perihal kasus yang menimpamu dan meminta bank
untuk memblokir nomor rekening yang diberi tetanggamu. Namun, bank sudah tutup,
dan satpam bank menjelaskan kepadamu, jika ingin memblokir rekening orang, harus
memiliki suraat laporan dari kepolisian. Dan, ketika kamu di kepolisian, kamu
mendapatkan fakta yang mana akan sangat sulit mengharapkan uangmu kembali.
Karena di kepolisian pun sudah banyak orang mengantri, karena menjadi korban
penipuan juga. Pulang dengan tangan hampa, pulang dengan membawa kesadaran yang
nyata, kesadaran bahwa dirimu baru saja kena tipu.
Kesedihan berubah bentuk, tapi tidak pernah berakhir.
Orang-orang seringkali salah paham akan hal itu. Bahwa katanya, apa yang hilang
akan tetap hilang, dan tidak akan pernah kembali lagi. Seperti halnya ketika
kamu kena tipu. Mereka keliru, ketika kamu kena tipu, maka yang bisa merasakan
itu hanyalah dirimu. Orang lain hanya menyediakan simpati dan empati untukmu,
tapi tidak akan paham apa yang hanya bisa dirasakan olehmu.
Olehmu, yang baru saja kena tipu.