Suatu sore, aku
berjalan jauh memutar, melingkari setiap sudut kota yang biasa aku lewati setiap
pulang kerja, lalu berkelok menyasar menembus jalanan lain. Sengaja menghindar,
menjauh dari keramaian, memilih berjalan sendiri, memilih lorong yang sepi. Sekiranya
di lorong sepi aku merasa sendiri, namun nyatanya aku tak sendiri. Dari
kejauhan aku melihat senja yang bertopang dagu sendiri. Melebarkan senyum
simpulnya, mengharapkan balas jasa atas setiap keindahannya. Tapi terkadang
hanya pertanyaan sama yang jadi balasannya, “Mampukah aku bertahan?”
Ada seorang
laki-laki tua, terduduk sendiri di pojokan jalan, yang perlahan menyepi berkawan
sepi. Kedua tangan tuanya, begitu lincah menari di atas lembar putih kertasnya.
Menggambar sesuatu untuk hadiah perpisahan anak kecilnya, menggambar keindahan
senja yang terakhir katanya, senja terakhir sebelum waktu penghakiman tiba.
Penghakiman atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.
“Tapi apa harus begitu?. Kenapa tetap
menerimanya?” begitu tanyaku.
“Mungkin alam semesta sedang berbaik hati
pada saya, memberi keringanan hukuman atas rasa sakit yang saya alami selama
ini.” Begitu jawabnya.
Rasa sakit apa?
Aku tak mengerti, dia pun hanya tersenyum penuh arti.